Kalau diantara sesama umat islam sendiri sudah saling berbicara secara tidak utuh begini, maka itu alamat akan sangat membosankan sekali. Rasa kantuk cepat sekali menyerang. Tidak ada rasa sambung, atau tali rahim yang menghubungkan di antara sipembicara dan yang mendengarkannya. Otak kita saling tolak menolak. Saat kita diberitahu oleh si penceramah bahwa saat itu kita sedang tidak baik, tidak khusyuk, tidak bahagia, lalu sipenceramah mengajak kita untuk bertaqwa, untuk khusyu sekarang juga. Maka dada kita langsung berontak menolaknya. Kita ngedumel: “wah sipenceramah ini asal bicara saja”. Dada kita langsung tidak nyaman. Rasa tidak nyaman itu utuh dan bulat menyelimuti tubuh dan dada kita. Sehingga akhirnya pada ceramah-ceramah yang akan datang dia tidak akan datang kalau sipenceramahnya adalah orang dulu yang pernah menasehatinya. Yang muncul kemudian adalah rasa permusuhan, rasa bergolong-golongan diantara sesama muslim.
Pantas saja Allah begitu benci kalau kita begitu. Karena ternyata saat kita berbicara kepada orang lain tentang iman, sementara suasana rasa iman itu tidak ada sama sekali, atau paling tidak belum utuh dan bulat tertanam didalam dada kita, maka sebenarnya saat itu kita tengah berbicara bohong. Seperti yang pernah dilakukan oleh seoran badwi dihadapan Rasulullah:
Orang-orang Arab Badwi itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: “Kami telah tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu… “. (Al Hujuurat 14).
Orang Arab Badwi itu belum berada pada posisi orang yang bersedia untuk diberi DERR oleh Allah…
Lalu…, mana bisa orang yang dadanya sedang gelisah bercerita tentang suasana tenang. Mana bisa orang yang dadanya sedang dipenuhi rasa benci bercerita tentang suasana kasih sayang. Mana bisa orang yang dadanya sedang kebingungan bercerita tentang kepahaman. Mana bisa orang yang dadanya penuh dengan rasa dendam akan bercerita tentang suasana saling memaafkan. Mana bisa orang yang dadanya penuh dengan rasa ingin merusak berbicara tentang rahmat bagi semesta alam. Mana bisa orang yang suasana dadanya sedang penuh dengan rasa keangkuhan: “Ana khairu minhu, aku lebih baik dari dia”, akan berbicara tentang persaudaraan islam (ukhuwah islamiyah). Mana bisa orang yang suasana dadanya masih kotor dan mati, mau bercerita tentang kemahasucian dan kemahalembutan Allah. Mana bisa orang akan bercerita tentang suasana syurgawi, sedang saat itu dadanya sedang dipenuhi oleh suasana neraka. Mana bisa… Dan DAYA yang dipancarkannya pun sungguh tidak enak dan tidak nyaman…
Kalau kita masih saja begitu, kita berkata-kata tentang sesuatu tentang kebaikan islam yang belum kita lakukan secara utuh, itu malah bisa menebarkan benih-benih perpecahan dan rasa permusuhan ditengah-tengah umat. Kita akan menyebarkan DAYA NEGATIF yang kalau diterima oleh orang yang dadanya TIDAK LOS dan TIDAK KOSONG akan mempengaruhinya untuk melakukan hal-hal yang negatif pula. Makanya, sebagai akibatnya seringkali kita lihat orang yang lidahnya sedang menyebut ALLAHU AKBAR, tapi matanya melotot menyeramkan, dia merusak lingkungan, dia menyakiti bahkan sampai membunuh orang lain yang tak berdosa. Sehingga alih-alih dia mengharumkan nama islam, dia malah membuat citra islam jatuh terpuruk sampai berada dititik nadir. Ini seperti susu sebelanga dirusakkan oleh nila setitik. Duh kasihan sekali Rasulullah yang telah bersimbah keringat bercampur darah untuk mengharumkan islam, tapi umat Beliau sendiri malah melepehkannya. Rasulullah mengibaratkan ini seperti seekor babi melepehkan butir-butir mutiara dari mulutnya.
Atau akibat lain yang paling ringan adalah apa-apa yang kita sampaikan itu hanya akan jadi sampah pemikiran saja didalam otak orang lain, yang akan membuat ruwet pola pemikiran mereka. Keruwetan seperti itu pulalah yang akan ditularkannya kepada orang lain. Ruwet berbuah ruwet …
Sungguh dahsyat memang muatan ayat (As shaaf 2-3), ini yang memang ditujukan Allah sebagai peringatan bagi orang BERIMAN untuk berkata-kata. Kalau bagi orang yang tidak beriman, mau bicara apa saja sih… ya silahkan saja…
Namun ayat-ayat yang tegas tersebut janganlah jadi tembok penghalang pula bagi kita untuk berkata-kata tentang islam kepada sesama. Tidak begitu. Itu namanya kita sedang ngambek atau “pundung” seperti anak kecil. Ayat-ayat itu malah seharusnya tambah membuat kita bersemangat untuk minta dituntun oleh Allah, minta diajari oleh Allah, mohon dimengertikan oleh Allah tentang islam, minta didudukkan oleh Allah didalam kursi islam yang utuh. Karena memang yang tahu persis tentang islam adalah Allah dan Rasulnya saja. Ayat as Shaaf 2-3 itu seharusnya akan lebih menggugah kita untuk tetap duduk kokoh menghadap kepada Allah untuk minta diajari-Nya, dan dengan sabar kita akan menunggu DERR demi DERR dari-Nya. Sungguh…, Allah bersama orang yang SABAR…
Begitu juga…, ayat-ayat ini janganlah dengan serta merta membuat kita menjadi begitu bersemangat untuk “menilai” orang lain tatkala kita tidak mampu menangkap makna-makna dari apa-apa yang dia ucapkan kepada kita. Boleh jadi saat itu kitanya yang tengah lalai. Saat itu kita tengah tidak berada pada posisi siap untuk menerima pengajaran yang pada hakekatnya saat itu Allah lah yang sedang mengajari kita lewat lidah orang itu. Kita tidak membuka otak kita, kita tidak mengosongkan cangkir kita, kita tidak melepas keangkuhan kita, kita tidak membuka dada kita saat itu, sehingga kitapun tidak dapat memetik manfaat dari apa-apa yang tengah diajarkan oleh Allah kepada kita melalui lidah orang lain.
Jadi ayat-ayat ini bukan untuk menilai orang lain, bukan… Juga bukan sebagai dasar pema’afan buat diri kita saat kita tidak mampu menangkap makna-makna dari ucapan orang lain kepada kita. Tapi ayat ini lebih untuk menjadi peringatan kepada kita sendiri, agar sebelum kita berkata-kata kepada orang lain tentang islam, sekali lagi tentang islam, haruslah kita telah melakukan apa-apa yang kita katakan itu secara utuh terlebih dahulu. Karena untuk menerima islam itu prosesnya ada tersendiri. Prosesnya unik, yang bukan dari proses berfikir. Tapi dengan cara DERR…
Insyaallah, Shalat Center sedang membangun kembali rasa pertemanan ala peshalat yang utuh itu. Yaitu, generasi peshalat yang cair dan renyah dalam berislam, kemudian berhasil pula mengejawantahnya ditempat kerjanya, berupa hasil fikir yang cemerlang, karya yang berbuah ranum, serta manfaat berkah yang melimpah bagi sesama. Sebuah generasi yang mampu hidup berkelimpahan karena mereka mampu untuk BERIMAN UTUH kepada Allah, Dzat Yang Maha Berkelimpahan. Sehingga akhirnya semua bisa bersaksi dengan utuh: “Asyhadu allailaha illallah…, wa asyhadu annamuhammadan rasulullah…”
Nah… nanti shalat yang seperti ini bisa dinamakan dengan nama apapun juga, seperti shalat yang dzauq, shalat holistik yang mengharmonisasikan kognisi, afeksi, dan motorik. Ah silahkan saja sebut dengan berbagai istilah itu. Saya jadi ingat istilah Pak Haji Slamet Utomo untuk shalat seperti itu, yaitu shalat yang dihayati.
Yang pasti 1000 generasi pertama peshalat utuh itu telah diletupkan dadanya oleh Allah, direstui oleh ustadz Abu Sangkan dan direstui pula dengan do’a dari Pak Haji Slamet Utomo untuk bergerak kepelosok-pelosok Nusantara dan Dunia, untuk membumikan kembali SHALAT yang UTUH. Sebuah mutiara yang nyaris tertutup oleh lumpur kegelapan hati kita.
Wallahu a’lam…. Ya Allah…, hamba mohon maaf andaikan hamba keliru dalam memaknai ayat-ayat-Mu.
Selamat mencoba wahai sahabat-sahabatku…, Singgahlah sejenak untuk mencicipi seteguk DERR…
Singgahlah…
Salam,
Deka 04 September 2009, Jalan Kabel 16, Cilegon.
Read Full Post »