Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Februari, 2014

Dengan IZIN Allah, terjadilah apa yang harus terjadi. Dengan sentuhan-sentuhan peran Iblis, Adam dan istrinya Hawa pun akhirnya memakan “buah terlarang” yang tadinya tidak boleh mereka makan. Begitu memakannya, seketika itu pulalah Adam dan Hawa “terlempar” ke muka bumi untuk memulai tugas dan perannya untuk menjadi cikal bakal bagi lahirnya peradaban umat manusia sampai kepada zaman kita sekarang ini dan di masa-masa yang akan datang.

Dari RAHIM Hawa kemudian lahir pulalah anak-anak Beliau yang nantinya akan menurunkan pula keturunan-keturunannya untuk menjalankan tugasnya masing-masing. Sejak saat itu umat manusiapun berkembang biak, peradabanpun berkembang. Ilmu pengetahuan dan teknologi serta ilmu kedokteranpun berkembang dengan sangat cepat dan mencengangkan. Apa-apa yang tadinya sulit dan tidak mungkin untuk terjadi dan dilaksanakan, menjadi mudah dan mungkin. Makin lama hidup umat manusia yang pada awalnya sangat sulit dan keras menjadi semakin mudah dan nyaman.

Walaupun setting waktu dan lokasinya bisa berbeda-beda, namun peran-peran di panggung sandiwara itu harus tetap berjalan sesuai dengan skenario awal. Harus ada yang berperan untuk peran yang baik, yang jahat, yang kuat, yang lemah, yang sukses, yang gagal, yang gembira, yang sedih, yang bahagia, yang nestapa, dan peran-peran lainnya. Ada peran-peran yang dipermudah dengan jalan ILHAM FUJUR, dan ada peran-peran yang dipermudah dengan jalan ILHAM TAQWA.

Malaikat sudah jelas perannya, yaitu untuk simbol bagi peran yang baik-baik saja. Begitu juga Iblis, perannya sudah selalu mengikuti jalur keburukan dan kekafiran. Mau tidak mau malaikat dan iblis harus begitu. Itulah destiny mereka sampai dengan semua skenario di dalam pertunjukan Sandiwara selesai dipergelarkan. Sampai semua ciptaan natinya suatu SAAT akan kembali Musnah, sehingga yang WUJUD akhirnya hanyalah semata-mata DZAT Yang Maha Agung, DZAT Yang Maha Indah. Sebab Dialah Awal dan Dialah Yang Akhir. Allah…

Peran bintang-gumintang, matahari, bulan, bumi, gunung-gunung, samudera, lembah dan sungai, angin, awan, hujan, tumbuhan dan pepohonan, hewan, dan ciptaan lainnya pun sudah jelas pula. Semuanya hanyalah berperan sebagai penyangga, pemanis, latar belakang, dan tanda-tanda peristiwa untuk setiap skenario yang akan dijalankan oleh pemeran utama, yaitu umat manusia.

Sekarang tinggal kita mencoba untuk memaknai dan memahami peran umat manusia sesuai dengan skenario atau TAKDIR yang telah ditetapkan untuk masing-masing manusia pada zamannya sendiri-sendiri pula. Dengan memahami takdir ini, kita tidak akan pernah lagi berbuat ONAR, GADUH atau MAKAR dengan sesama manusia maupun dengan Allah.

Setelah Adam dan Hawa terzahir, kemudian:
… sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir pula menjadi para Nabi dan Rasul pada zamannya masing-masing. Diantara lebih dari 124.000 Nabi-nabi dan Rasul-rasul, ada dua puluh lima orang yang yang diterangkan di dalam Al Qur’an dan Al Hadist, yang antara lain adalah: Adam, Idris, Nuh,…, Ibrahim, Isma’il, …, Musa dan Harun…, Sulaiman, …, Isa…, dan yang terakhir adalah Nabi Muhammad Saw. Disamping itu ada pula nama Khidir As., yang sangat fenomenal dizaman Nabi Musa As.

Peran yang harus dijalankan oleh semua Nabi dan Rasul itu adalah sama, yaitu untuk mengingatkan kembali umat manusia tentang Dzat Wajibul Wujud yang menjadi sebab musabab terciptanya semua manusia dan semua ciptaan yang ada di Lauhul Mahfuz, sehingga akhirnya mereka pun bisa kembali bermakrifat kepada Allah. Sebab ternyata pada zaman masing-masing Nabi dan Rasul itu, ada pula sebagian besar dari umatnya yang telah ditakdirkan Allah untuk berperan sebagai orang-orang yang LUPA tentang Dzat Wajibul Wujud ini…

Pada sisi lainnya, para Nabi dan Rasul itu memberikan contoh yang sangat pas dan sempurna pula tentang bagaimana seharusnya setiap manusia bersikap dalam menghadapi berbagai cobaan dan penderitaan hidup. Bagaimana sikap mereka untuk sabar, untuk menerima semua takdir yang menimpa mereka. Ada takdir Nabi Nuh yang dihadapkan dengan Anak Beliau yang tidak mau mengikuti Beliau untuk naik keperahu ditengah-tengah banjir bah, sehingga anak Beliaupun meninggal, Ada takdir Nabi Ibrahim yang diberikan perintah oleh Allah untuk menyembelih anak Beliau, Nabi Ismail. Ada takdir Nabi Ayub yang harus mengadapi penyakit kulit yang sangat parah. Ada takdir Nabi Yunus yang hidup sekian lama di dalam perut ikan paus. Ada takdir berliku yang harus dialami oleh Nabi Musa. Ada takdir yang sangat menyengsarakan secara lahiriah yang harus dialami oleh Rasulullah saw dalam kehidupan Beliau.

Namun, dalam menghadapi semua itu, Beliau-beliau hanya berkata: “inna lillahi wainna ilahi rajiun…, semuanya berawal dari Dzat (Allah) dan kembali kepada Dzat (Allah), dzalika taqdirul ‘azizil ‘alim…, sesungguhnya semua ini adalah takdir, ketentuan, dari Dzat Yang Memiliki Mutlak Kegagahan dan Maha Mengetahui”.

Dan selanjutnya, apapun juga yang Beliau-beliau lakukan, semuanya itu semata-mata adalah akibat dari adanya Wahyu atau Ilham, atau petunjuk tentang bagaimana seharusnya Beliau-Beliau bersikap kepada Allah. Makanya Beliau-beliau sangat mudah sekali dalam menjalankan semua kebaikan dan ketaqwaan. Semua itu tanpa usaha, tanpa berpikir, tanpa bersusah payah, tanpa rasa takut dan khawatir.

Sebagai partner, atau teman berperan, tempat kemana Beliau-beliau nanti akan menyampaikan pesan-pesan dan petunjuk dari Allah, dan juga sebagai lawan tanding untuk menggembleng kekuatan dan kesempurnaan Beliau-Beliau itu dalam berbagai keadaan, maka…

… sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi para kafirin, para fasikin, seperti FIR’UN, QARUN, NAMRUD, dan pengikut-pengikut mereka semua. Mereka pun, tanpa ada yang bisa menolaknya, harus menjalankan peran-peran mereka dengan sangat sempurna. Sebab mereka juga akan selalu dicurahkan ILHAM tentang KEFUJURAN. Petunjuk dan tuntunan untuk berbuat FUJUR. Takdir membuat mereka harus berkata-kata dan berbuat kefujuran dengan sangat mudah. “Ana rabbakumul a’la”, kata Fir’aun dengan sangat lancar. Namrud dengan sangat mudah dan pas tersangkut di penyembahan berhala. Qarun dengan sangat tepat dan mudah terhijab dengan hartanya. Abu Jahal dan Abu Lahab dengan sangat lancar dan sempurna menjalankan perannya untuk berbuat jahil kepada Rasulullah saw dan umat islam dizamannya.

Si jahat dengan mudah melenggang kangkung dengan kejahatannya. Si pembunuh begitu mudahnya untuk membunuh sesama manusia. Si pencuri dan si koruptor dimudahkan jalannya untuk mencuri dan korupsi. Bahkan mereka difasilitasi oleh Allah dengan berbagai jabatan, kedudukan, dan ilmu pengetahuan yang nantinya akan memudahkan mereka untuk mencuri dan korupsi itu. Sungguh para pemeran peran antagonis itu menjalankan skenario, yang telah dilekatkan ke batang lehernya masing-masing, dengan begitu pas dan sempurna. Tanpa cacat…

Bersambung

Read Full Post »

Untuk itu, maka:
… sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi Adam, lalu Hawa.

Lalu Malaikat, Azazil (salah satu Jin yang pada awalnya satu peringkat dengan Malaikat), dan Adam pun, menjalankan perannya masing-masing. Menjalankan destinynya masing-masing. Rela atau tidak, mereka harus menjalankan Takdirnya masing-masing.

Adam nantinya harus keluar dari syurga. Ia harus keluar dari alam yang sangat dekat dengan Allah, Karena saat itu Bumi telah menunggunya untuk berperan disana. Dengan sebuah skenario yang sangat sempurna, terjadilah apa yang harus terjadi.

Ketika melihat tampang Adam yang ada didepan mata mereka, …!. Malaikat sempat agak salah baca dan salah dalam menilai Adam. Apalagi takdir Adam sedikit “terbaca” oleh Malaikat, yaitu sebagai si penumpah darah. Tambahan lagi, malaikat tersebut juga merasa ADA. Sebab selama ini mereka merasa telah menjadi makhluk yang sangat patuh kepada Allah. Ya…, malaikat tanpa sadar telah mulai mengaku. Aku yang patuh dan shaleh kepada Allah.

Azazil pun begitu, dia merasa terheran-heran dan tak habis pikir, kenapa didepannya harus ada sosok yang asalnya hanya dari tanah. Sosok yang berbau tanah…, busuk. Azazil “merasa” bahwa dirinya yang dari api, lebih baik dari Adam yang dirinya hanya dari tanah. “Aku lebih baik dari Adam”, katanya meradang.

Ditengah-tengah kegamangan Malaikat dan protes keras Azazil atas keberadaan Adam itu, Dari balik 70 Tirai Nur, Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”, Al Baqarah (2): 30. Lalu Allah menakdirkan Adam untuk mengetahui nama-nama benda, apapun juga. Sebab dengan nama-nama itulah nanti Adam akan membangun peradaban kelak di muka bumi. Adam menyebutkan nama-nama benda yang ternyata tidak sedikitpun diketahui oleh Malaikat dan Azazil.

Malaikat akhirnya sadar bahwa disebalik diri Adam yang terbuat dari unsur-unsur tanah itu, ternyata adalah Dzat Allah sendiri. Dzat-Allah yang terzahir menjadi diri Adam. Karena hanya Allahlah Yang Maha Tahu segala sesuatu dan Maha Bijaksana.

Lalu ketika Allah berfirman: ”“ Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka (malaikat) kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”, Al Baqarah (2): 34.

Malaikat langsung tersujud dan tersungkur begitu menyadari bahwa disebalik diri Adam itu ternyata adalah sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, yang terzahir menjadi diri Adam. Malaikat menyadari hakikat sebenarnya dari Adam, sehingga Ia pun segera bermakrifat kepada Allah. Iapun sujud kepada Adam. Sujud kepada sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, yang terzahir menjadi Adam. Malaikat akhirnya sadar bahwa disebalik diri Adam ternyata hakekatnya sama dengan yang disebalik dirinya sendiri, yaitu semata-mata Dzat-Nya…

Sebaliknya Azazil gagal memahami hakikat diri Adam yang sebenarnya. Ia hanya melihat bahwa hakikat Adam tak lebih dari segumpal TANAH. Ya…, hanya tanah. Sementara ia sendiri “menyangka” bahwa hakikat dirinya adalah dari Api. Ya…, hanya api. Yang terlihat olehnya adalah SIFAT. Dia melihat sifat api dan sifat tanah. Ada dua sifat yang berbeda. Bisa dibahas dan bisa diperbincangkan. Karena ia (Azazil) melihat ada DUA yang exist, ada Tanah dan ada Api, maka segera saja ia akan terperosok untuk membanding-bandingkan kedua-duanya. Ia mengira api lebih baik dari tanah. Iapun berkesimpulan bahwa “ana khairuminhu, saya lebih baik dari Adam. Sebab api lebih baik dari tanah”.

Ia tercover (KAFIR) untuk menyadari bahwa hakikat dirinya sendiri dan diri Adam itu sebenarnya adalah sama, yaitu Dzat-Allah sendiri yang terzahir menjadi dirinya dan diri Adam. Ia gagal dalam berhakikat, sehingga gagal pulalah ia dalam bermakrifat. Ia akhirnya melawan perintah Allah…, yang nantinya akan diikuti pula oleh manusia-manusia yang takdirnya sudah ditentukan Allah untuk sama dengan Iblis. Takdir menjadi orang-orang yang tercover dari memahami hakikat penciptaan yang akan membawa mereka juga gagal dalam bermakrifat kepada Allah.

Lalu Malaikat, Adam, dan Azazil (yang kemudian lebih terkenal dengan nama IBLIS) pun mulailah menjalankan destinynya masing-masing.

Malaikat tetap menjalani takdirnya untuk dapat hidup “dekat” dengan Allah. Selanjutnya Malaikat ini pulalah nanti yang akan menjalankan tugasnya untuk membantu umat manusia dalam memahami tentang kebaikan. Ia akan berperan untuk menjalankan hanya lakon kebaikan saja.

Sementara Iblis pun mulai pula menjalani takdirnya untuk hidup terlempar jauh dari kerajaan Allah. Bahkan untuk sekedar mendengar-dengarkan kabar dari langit saja ia sudah tidak mampu lagi, karena begitu ia mencoba-coba untuk mencuri dengar kabar dari langit, ia segera saja diburu oleh panah-panah api yang akan membakarnya. Ia pun telah bersiap-siap pula untuk menajalankan peran ANTAGONIS nya dihadapan umat manusia. Ia akan berperan pula untuk menjalankan hanya lakon keburukan, kekafiran saja. Ia akan selalu membuat umat manusia untuk menjadi was-was dalam menjalanan hidupnya.

Adampun untuk sementara bisa merasakan hidup dekat dengan Allah. Syurga. Hidup seperti di alam rahim IBU. Apa saja kebutuhan makanan dan buah-buahan, sudah tersedia untuknya. Untuk menambah nikmatnya hidup di dalam Alam Kerahiman Allah itu, Allahpun telah memperlengkapi Beliau pula dengan seorang istri, yaitu Hawa. Sungguh di dalam hidupnya sudah tidak ada lagi rasa takut dan khawatir.

Namun suasana hidup di syorga itu hanya untuk sementara waktu saja. Sebab destinynya yang sebenarnya bukanlah untuk hidup di alam syurga itu. Adam akan diangkat oleh Allah untuk menjadi wakil-Nya, khalifah-Nya, perkakas-Nya dalam membentuk peradaban umat manusia di muka bumi. Untuk pengangkatan itu, hanya tinggal sebuah skenario saja lagi yang harus tersaji di layar sandiwara kehidupan…

Bersambung…

Read Full Post »

Memahami TAKDIR atau PERAN…

Kalau kita tidak paham tentang makna dari TAKDIR atau PERAN, maka kita akan selalu BERTENGKAR, RIBUT, BERSELISIH, BERBANTAHAN, CEKCOK, BERKELAHI, dan GONTOK-GONTOKAN, baik dengan sesama manusia maupun dengan Allah.

Pertama, mari kita lihat bagaimana proses terjadinya pertengkaran diantara sesama manusia:

Berbeda pendapat ataupun hanya sekedar berbeda kalimat-kalimat saja, telah membuat umat manusia ini begitu terkotak-kotak. Yang satu menyalahkan yang lain, yang lain mencela dengan tak kalah sengitnya. Apalagi kalau sudah berbeda bangsa, agama, dan kepercayaan, teruk sekali. Sejarah panjang umat manusia telah membuktikannya dengan telak bahwa perbedaan-perbedaan itu ternyata bisa nyawa yang jadi taruhannya.

Yang paling terasa adalah kalau ada sesuatu label yang bisa kita lekatkan kepada diri kita sendiri, yang biasanya sering kita sebut sebagai milikku, aliranku, kepahamanku, ilmuku, hartaku, anakku, istriku, suamiku, jabatanku, dan atribut-atribut kita yang lainnya, yang kemudian saling bersinggungan dengan orang lain yang juga mengakui hal yang sama sebagai milikmya. Ribut dan gaduh antara kita yang saling mengaku itu sangatlah parah sekali. Kawan bisa jadi lawan, guru bisa jadi musuh, murid bisa jadi saingan, anak pecah hubungan dengan orang tua, diantara sesama saudara jadi bercerai berai, atasan menganiaya bawahan, bawahan menipu atasan, aparat dan kelengkapan negara menghisap darah rahyat, dan rakyatpun menggelepar penuh caci maki dan murka.

Kedua, pertengkaran kita dengan Allahpun tidak kalah sengitnya. Sejuta kata kenapapun membubung tinggi memenuhi angkasa sebagai tanda bahwa kita saat itu sedang protes terhadap kejadian-kejadian yang ada disekitar kita, atau peristiwa yang tidak enak yang langsung menimpa diri dan keluarga kita. Bahkan jejaring sosial pun penuh dengan berbagai status dan artikel yang berisikan kegalauan, kegundahan, dan penuh dengan tanya “kenapa”.

Misalnya, Kenapa gunung ini meletus?, kenapa terjadi gempa?, kenapa ada tsunami?, kenapa harus banyak yang mati terbunuh?, kenapa ada perang?, kenapa anak kecil harus mati?, kenapa banyak wanita harus mati?, kenapa rumahku terbakar?, kenapa aku sakit?, kenapa anakku menderita?, kenapa pasanganku kabur?, kenapa orang tuaku meninggal?, kenapa bangsaku kacau?, kenapa pejabat di negaraku banyak yang korup?, kenapa aku miskin?, kenapa aku harus menderita?, kenapa begini?, seharusnya kan begini..?!, kenapa begitu?, seharusnya kan begitu..?!. Kenapa…?, Kenapa…?. Kenapa … Haa?.

Begitulah kejadian-kejadian yang akan kita hadapi dan sikap yang akan kita ambil selama hidup kita kalau kita tidak paham tentang Takdir dan Peran yang telah Allah tetapkan kepada SELURUH MAKHLUK-Nya di dalam Kitab Yang Nyata (LAUHUL MAHFUZ).

Bahwa semua kejadian itu dan apapun serta siapapun yang terlibat di dalamnya hanyalah SANDIWARA ALLAH belaka. “Sesungguhnya kehidupan di dunia ini hanyalah PERMAINAN dan SENDA GURAU belaka…”, Muhammad (47): 36.

Tapi, Sandiwara, permainan, dan senda gurau itu begitu sempurnanya, sangat sempurna, sehingga para pemainnya tidak sedikitpun yang menyadari bahwa mereka sebenarnya hanyalah sekedar pemeran atau aktor saja untuk peran-peran tertentu yang telah Allah tetapkan untuk mereka di dalam Lauhul Mahfuz.

Namun, sungguh beruntunglah orang-orang yang menyadari dan mengetahui bahwa semua itu hanyalah senda gurau Allah belaka. “… Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?, Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”, Az Zumar (39): 9. Bahwa: “Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya…”, Al Isra (17): 13.

Betapa tidak sandiwara, sejak Allah berkata “KUN…”, Allah telah membuka layar kehidupan yang di dalamnya Dia akan bersandiwara kepada Dzat-Nya yang sedikit, sehingga kemudian dari Dzat-Nya yang sedikit itu terzahirlah berbagai CIPTAAN dengan perannya masing-masing, yang harus dijalankan oleh ciptaan itu sesuai dengan SCRIPT, Skenario, atau TAKDIR yang telah ditentukan untuknya.

Setiap pemeran dari peran itu telah diberikan hak dan tanggung jawabnya untuk ia pikul; telah diberikan waktu dan ruangnya untuk ia mengada; telah disediakan fasilitas dan peralatannya untuk ia beraktifitas; telah dibuatkan KEMUDAHAN agar ia bisa menjalankan perannya itu dengan Mudah; dan telah disiapkan pula berbagai cipta dan rasa agar ia bisa berperan dengan TOTAL.

Kun…, saat Dia berfirman kepada sedikit dari Dzat-Nya Yang Maha Agung, maka tertulislah sebuah RENCANA INDUK yang sangat Sempurna, rencana yang tidak ada sedikitpun yang terlupakan, rencana yang tidak bisa berubah sedikitpun dari awal sampai akhir. Rencana Maha Sempurna (Lauhul Mahfuz) yang sudah berjalan dan tinggal menunggu waktu saja lagi untuk terzahir.

Demi Masa…, Wal ‘ashri…, seiring berjalannya waktu, maka terzahir dan terjadilah apa-apa yang harus terzahir dan terjadi…

… sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi 70 Lapisan Tirai Nur, yang akan menirai Dzat-Nya Yang Maha Agung, agar nantinya semua Ciptaan di dalam tirai itu tidak hangus terbakar saat terpandang Dzat.
… sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi Arasy…
… sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi Lapisan Air di bawah Arasy…
… sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi Sidratul Muntaha…

… sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi Ruh Muhammad yang diletakkan oleh Allah di Sidratul Muntaha, sambil Ruh Beliau itu menungu proses penzahiran 7 lapis Langit dan bumi, tempat dimana Beliau nantinya TERLAHIR untuk menjadi Rahmat bagi seluruh langit dan Bumi itu.

… sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi Malaikat, dan juga Jin Azazil (yang nantinya akan berperan sebagai Iblis)

… sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi 7 lapis langit dan bumi.
… sedikit dari Dzat-Nya yang sedikit, terzahir menjadi segala isi dan perlengkapan yang berada diantara langit dan bumi itu untuk menunggu penzahiran manusia pertama, Adam. Terzahirlah menjadi galaksi-galaksi, bintang-bintang, matahari, planet, bumi, gunung-gunung, lautan, pepohonan, dan berbagai binatang serta hewan.

Sesuai dengan TAKDIRNYA masing-masing, Tirai Nur telah menjalankan perannya dengan sempurna, begitu juga Arasy, lapisan Air di bawah Arasy, Sidratul Muntaha, 7 lapis langit, bumi berserta isi dan perlengkapan yang ada diantara keduanya. Semuanya berjalan begitu sempurna.

Setelah itu, tinggal sekarang menunggu MASA penzahiran pemeran-pemeran utama yang akan meramaikan panggung sandiwara yang salah satu lokasinya adalah di BUMI. Ya Bumi…

Bersambung

Read Full Post »

MEMBAHAS DZAT ?, HOW COME

Kalau sudah sampai di hakikat, yaitu memahami DZAT sebagai unsur azasi dari semua ciptaan, maka kita tidak bisa lagi membahas Dzat itu untuk kita cari-cari hakikat-Nya yang lebih lanjut. Tidak bisa. Kita akan langsung saja Bermakrifat bahwa Dzat itu menamakan Diri-Nya dengan sebutan: “Allah…”. Kita langsung Bermakrifat kepada Allah…, Makrifatullah…

Kalau Dzat-Nya masih bisa dibahas, dan dipertentangkan, maka itu artinya kita masih belum sampai pada hakikat yang sebenarnya. Artinya, kita masih berada pada tatanan Sifat. Dan kita pasti akan ramai dalam perdebatan.

Untuk Dzat-Nya, kita hanya cukup beriman bahwa Dia:

Tidak serupa dan seumpama apapun juga
Tidak Berhuruf
Tidak Berbunyi
Tidak Berwarna
Tidak Berbentuk

Laisa kamistlihi syai’un…

Kalau masih ngotot untuk membahas-bahas Dzat-Nya, maka pastilah kita segera akan jatuh ke dalam jurang kesesatan. Dan tentu saja itu adalah jalan yang penuh dengan Kesulitan dan Penderitaan. Pasti…

Sebenarnya, setelah bermakrifatullah, setelah kita sudah tahu bahwa hakikat dari semua ciptaan ini adalah Dzat Allah, maka kita tinggal MENGINGAT-INGAT DZAT-NYA itu (Dzikrullah, Waspada, Khasyaf), baik ketika kita SHALAT maupun DI LUAR SHALAT. Kita INGAT ketika kita memandang semua yang terpandang. Kita WASPADA ketika kita mendengar semua yang terdengar. Kita KHASYAF ketika kita merasakan semua yang terasa. Kita TIDAK LALAI untuk mengingat bahwa DISEBALIK semua itu ada Dzat-Nya yang Wajibul Wujud. Selain dari Dzat-Nya tidaklah wujud. Fana.

Bahkan kita akan tetap ingat dan waspada kepada Dzat-Nya di setiap bencana yang menghadang, derita yang menghimpit, bahagia yang membuncah, sedih yang menggigit, tangis yang mengharu biru, darah yang menganak sungai, dang tangis yang menyobek angkasa, bahwa semua itu terjadi karena Takdir atau peran yang telah Dia tetapkan kepada Sedikit dari Dzat-Nya untuk terjadi menjadi segala peristiwa dan kejadian.

Jadi apapun juga yang ada didepan kita, ketika kita masuk ke PINTU INGATAN, maka yang teringat oleh kita adalah DZAT-NYA. Saat kita sudah bisa untuk selalu ingat kepada Dzat-Nya dalam keadaan apapun juga, baik di dalam shalat maupun diluar shalat, maka kita disebut sebagai orang yang sudah selalu ingat kepada Allah, Dzikrullah. Dan rasa ingat itu akan bertambah dan bertambah seiring dengan perjalanan waktu.

Karena kita sudah SELALU INGAT dengan Dzat-Nya, Dzikrullah, ketika kita menyebut Nama-Nya (Allah); ketika kita berucap subhanallah, alhamdulillah, laa ilaha illallah, Allahu Akbar; ketika kita rukuk dan sujud untuk menghormat dan memuja Allah; ketika kita berdo’a kepada Allah, maka ucapan-ucapan dan aktifitas kita itu sudah bisa disebut sebagai ucapan dan aktifitas orang yang sudah BERIMAN kepada Allah. Artinya, ingatan, kewaspadaaan, dan khasyaf kita dengan ucapan-ucapan dan aktifitas yang kita lakukan sudah berada pada tatanan yang sama, sudah SINKRON. Yaitu dalam rangka untuk MENGAGUNGKAN dan MENGINDAHKAN DZAT-NYA yang memang MAHA AGUNG dan MAHA INDAH.

Akan tetapi ketika kita menyebut Nama-Nya (Allah); ketika kita berucap subhanallah, alhamdulillah, laa ilaha illallah, Allahu Akbar; ketika kita rukuk dan sujud untuk menghormat dan memuja Allah; ketika kita berdo’a kepada Allah, INGATAN kita saat itu malah sedang berkelana dan melanglangbuana kepada berbagai CIPTAAN dan PERMASALAHAN yang sedang kita hadapi, maka kita disebut sebagai ORANG MUNAFIK. Orang yang sedikit sekali mengingat Allah. Orang yang RIA. Orang yang akan melakukan semua ucapan-ucapan dan perkerjaannya itu dengan malas-malasan. Pak Ogah…

Selanjutnya, kalau kita dengan SENGAJA mengingat SESUATU yang lain dari selain Dzat-Nya ketika kita berucap subhanallah, alhamdulillah, laa ilaha illallah, Allahu Akbar; ketika kita rukuk dan sujud untuk menghormat dan memuja Allah; ketika kita berdo’a kepada Allah, maka kita disebut sebagai orang yang TERSESAT. Artinya kita tersesat dalam bermakrifat. Kita tercover (KAFIR) dalam memahami HAKIKAT yang sebenarnya. Sudah barang tentu cara-caranya yang akan kita dapatkan akan jadi rumit dan sulit, dan hasilnya juga akan begitu-begitu saja.

Sebab kalau kita benar dalam bermakrifat, artinya kita bermakrifat kepada Allah, makrifatullah, maka cara-cara yang akan kita tempuhpun pastilah mudah, dan hasilnya juga akan sangat menakjubkan. Sebab, dalam setiap peristiwa, kita akan selalu melihat dengan gamblang sebuah hubungan timbal balik yang sangat jelas antara Dzat-Nya > TAKDIR > dan Seluruh Ciptaan Yang terzahir (LAUHUL MAHFUZ).

Dengan mudah kita akan melihat sistem tertutup DI DALAM LAUHUL MAHFUZ, Di dalam Setitik kecil Dzat-Nya:

Dzat-Nya ( Yang Batin) > TAKDIR > Dzat-Nya (Yang Zahir), begitupun sebaliknya,
Dzat-Nya (Yang Zahir) > TAKDIR > kembali menjadi Dzat-Nya ( Yang Batin)

Bahwa SETIAP CIPTAAN terzahir dari Dzat-Nya (Yang Batin) karena TAKDIR atau PERAN yang telah ditetapkan untuknya. Kalau peran atau takdir itu sudah selesai dijalankan oleh ciptaan tersebut, maka ia pun kembali menjadi Dzat-Nya (Yang Batin). Musnah…!. Sebab hanya Dzat-Nya lah Yang Awal dan Yang Akhir.

Ia tidak bisa keluar atau menghindar sedikitpun dari takdir yang telah dikalungkan atau diikatkan pada “lehernya”. Rela atau tidak, setiap ciptaan akan menjalani destinynya sendiri-sendiri sesuai dengan takdir, skenario, dan peran yang telah ditetapkan untuknya. Dan takdir itu bekerja tanpa ampun…, walau pada hakikatnya itu terjadi pada Dzat-Nya sendiri…

Bersambung

Read Full Post »

PENGAKUAN

DARI SISI ALLAH, Dia berhak mengaku apa saja kepada kita, hatta kepada setiap makhluk ciptaan-Nya sekalipun. Karena memang hakikat dari semua ciptaan itu adalah sebagian kecil dari Dzat-Nya Sendiri, Dzat Yang Maha Agung. Ini bisa diibaratkan seperti kita mengakui jari kelingking kita adalah diri kita sendiri. Ketika seseorang memukul jari kelingking kita itu, kita berhak berkata kepadanya: “kenapa engkau pukul aku?, jari kelingkingku ini adalah aku”. Kita juga berhak berkata kalau kepala kita adalah kita. Ketika seseorang memegang kepala kita, kita akan berkata: “kenapa engkau pegang aku?”. Dan seterusnya.

Karena Dzat-Nya Meliputi segala sesuatu, Maka Allah berhak berkata:

Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar tetapi Allah-lah yang melempar… (Al Anfaal 8: 17)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah – radhiyallahu ‘anhu – ia berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-. telah bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi salah seorang wali-Ku, maka Aku telah mengumumkan peperangan kepadanya, dan tidaklah seorang hamba mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu pekerjaan yang lebih Aku sukai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku tidak henti-hentinya mengerjakan amalan-amalan sunnah (melengkapi amalan-amalan fardhu) sehingga Aku mencintainya, dan jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, dan penglihatannya yang dengannya ia melihat, dan tangannya yang dengannya ia melakukan pekerjaan, dan kakinya yang dengannya ia melangkah, dan jika ia meminta niscaya Aku kabulkan, dan jika ia mohon perlindungan niscaya Aku akan melindunginya, dan tidak pernah Aku enggan sedikitpun terhadap pekerjaan yang Aku lakukan seperti keengganan-Ku ketika mencabut nyawa orang yang beriman, ia membenci (kesulitan) dalam menghadapi kematian, sedangkan Aku tidak suka menyiksanya (ketika ajalnya datang menjelang).” (HR. Bukhari).

Allah berhak berkata kepada orang-orang yang Dia CINTAI:
• Pendengaranmu adalah pendengaran-Ku
• Penglihatanmu adalah Penglihatan-Ku
• Tahumu adalah Tahu-Ku
• Hidupmu adalah Hidup-Ku
• Gerakmu adalah Gerak-Ku
• Ruhmu adalah Ruh-Ku
• Hatimu adalah Hati-Ku
• Tanganmu adalah Tangan-Ku
• Kakimu adalah Kaki-Ku.

Hanya Dia sajalah yang berhak untuk berkata seperti itu.

SEBALIKNYA, DARI SISI MANUSIA, tidak satu orang manusiapun yang berhak untuk mengatakan kata-kata yang sama kepada siapapun.

Sehingga orang yang beriman dan dicintai oleh Allah, TIDAK akan pernah mengaku WUJUD kepada sesama manusia. Ia hanya akan berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…, Subhanallah, Alhamdulillah, laa ilaaha illallaah, Allahu Akbar, Laa haula wala quwwata illabillah…!.

Ia hanya akan berkata:
Allahlah Yang Maha Besar…
Allahlah Yang Maha Suci…
Allahlah Yang Maha Tahu…
Allahlah Yang Maha Melihat…
Allahlah Yang Maha Mendengar

Ia hanya akan berkata:
Allahlah pemilik diri-ku
Allahlah pemilik ruh-ku
Allahlah pemilik anak-ku
Allahlah pemilik istri/suami-ku
Allahlah pemilik harta-ku

Tidak ada satupun yang bisa ia akui sebagai miliknya. Sebab begitu ia mau mengaku-ngaku maka segera saja ia terkejut melihat, dengan hatinya, bahwa ternyata Dzat Wajibul Wujudlah disebalik semua yang ingin ia akui sebagai miliknya itu. Sehingga lidahnyapun kelu. Ia hanya terdiam tanpa sempat berkata-kata sepatah katapun untuk mengaku…

Akan tetapi, orang-orang yang terhijab dari bermakrifatullah, akibat salah dalam memahami hakikat dirinya sendiri, seperti dalam paham Wahdatul Wujud, Nur Muhammad, Insan Kamil, dan Rabithah Mursyid yang telah dibahas sebelumnya, maka keliru pulalah mereka bermakrifat, sehingga mereka akan sering berkata-kata SYATAHAT. Dari mulut mereka munculnya pengakuan-pengakuan ketika mereka mengalami ekstasis, bahwa mereka adalah Allah:

• akulah Al Haq…
• Siti XXXXX tidak ada, yang ada adalah Allah…
• akulah Tuhan…
• yang ada dalam jubahku adalah Allah…
• subhani… subhani …
• Jadilah aku Maha Kuasa atas segala sesuatu…
• aku adalah Aku…
• Dia adalah aku, aku adalah Dia…
• engkau adalah Engkau…

Itu semua terjadi karena mereka keliru dalam memahami HAKIKAT semua ciptaan. Allah dikira Alam, Alam dikira Allah. Wahdatul Wujud. Sehingga diri sendiripun kemudian dikira Allah. Manusia lainpun dikira Allah. Manusia lain dikira Anak Allah. Allah dikira banyak. Satu dalam ramai… ramai dalam satu.

Bersambung

Read Full Post »

Dzat-Nya Yang sedikit itu kemudian terzahir menjadi Dimensi Ruang dan Waktu yang sangat terukur bagi-Nya, yang akan dihuni dan diisi oleh semua Ciptaan yang ada di dalamnya.

Untuk dimensi Ruang, besarnya ruangan yang terzahir itu sangatlah besar sekali. Mulai dari 70 Tirai Nur; Arsy; Air yang sangat Masiv; dan Sidratul Muntaha, sampai dengan 7 Lapis Lagit; Bumi & Alam Semesta Raya yang bisa terobservasi oleh Ilmu Pengetahuan (Observable Universe).

OBSERVABLE UNIVERSE itu memuat JUTAAN Supercluster yang SALAH SATU CLUSTERNYA adalah LOCAL SUPERCLUSTER; Salah satu Supercluster dalam Local Supercluster itu adalah VIRGO SUPERCLUSTER yang memuat Jutaan Galactic; Salah satu Galactic yang ada di Virgo Supercluster itu adalah LOCAL GALACTIC GROUP yang memuat jutaan Galaxy; Salah satu Galaxy yang ada dalam Local Calactic Group ini adalah MILKY WAY GALAXY yang memuat Jutaan Solar Interstellar Neighborhood; Salah satu Solar System yang ada dalam Solar Intersteelar Neighborhood ini adalah Solar System yang kita huni saat ini yang didalamnya ada plannet-planet yang salah satunya adalah BUMI.

Bagi kita, ukuran Ruang untuk Observable Universe ini saja sudah tak terperikan besarnya. Ukurannya bukan lagi dalam Kilometer, tapi sudah dalam Jutaan tahun perjalanan Cahaya. Belum lagi ukuran ruang dari Sidratul Muntaha, lalu Lapisan Air Dibawah Arsy, lalu Arasy sendiri, lalu 70 Tirai Cahaya. Sungguh tak terpikirkan oleh kita besarnya. Dan semua itu terzahir hanya dari SEDIKIT Dzat-Nya dari Keseluruhan Dzat-Nya Yang Maha Besar. Itu berasal dari sedikit Dzat-Nya yang seukuran setetes air didalam lautan yang luas, seukuran sebutir pasir dipadang pasir yang luas, seukuran bulan purnama di dalam Observable Universe.

Untuk Dimensi Waktu, Kurun Waktu sejak dari Allah bersabda KUN, sampai dengan terciptanya 70 Tirai Nur; Arsy; Air yang sangat Masiv; dan Sidratul Muntaha, sangatlah LAMA SEKALI. Al Qur’an dan Al Hadist tidak bercerita tentang berapa lamanya proses pembentukannya. Al Qur’an hanya bercerita tentang lama proses pembentukan 7 Lapis Lagit; dan Bumi & Alam Semesta Raya yang bisa terobservasi oleh Ilmu Pengetahuan (Observable Universe). Yaitu 2 Fase untuk penciptaan 7 Lapis Langit, dan 6 Fase untuk Penciptaan Bumi dan Kelengkapannya. Totalnya sekitar 8 Fase yang masing-masing Fase itu seukuran 2 Billion tahun.

Jadi untuk proses penciptaan 7 Lapis langit dan Bumi beserta Observable Universe itu adalah sekitar 16 Billion Tahun. Itu belum lagi waktu yang dibutuhkan dalam proses penzahiran Kiamat, Kehidupan di alam Akhirat, Kehidupan di Syurga dan Neraka. Dimana keabadian di dalam Neraka dan Syurga itu adalah selama masih ada Langit dan Bumi yang baru yang diciptakan Allah setelah Kiamat Pertama. Sungguh…, durasi waktu untuk kesemuanya itu tak terukur oleh pikiran kita.

Mau tidak mau kita akan berhenti berpikir tentang Dimensi Ruang dan Waktu atas kebesaran, ketinggian, dan keluasan Lauhul Mahfuz ini. Dan itupun barulah berasal dari sedikit dari Dzat-Nya.

Maka dengan Ilmu, tanpa kita harus MENUNGGU-NUNGGU ilham atau wisik, atau apapun jugalah namanya yang sering ditunggu-tunggu oleh pelaku meditasi dan dzikir-dzikir tertentu, yang entah kapan kita dapatkan, kitapun akan segera Bermakrifat kepada Kemahabesaran Allah, Kemahaluasan Allah, Kemahatinggian Allah.

Kita akan bisa bermakrifat sekarang juga. Bukan dengan menunggu-nunggu apa yang katanya ILHAM, berupa perkataan-perkataan: “Akulah Allah…, Akulah Yang Maha Besar, dan perkataan-perkataan lainnya seperti yang selama ini dicari-cari dan ditunggu-tunggu oleh para pemraktek meditasi dan dzikir-dzikir tertentu.

Allah…,

maka Dia berhak MENGAKU kepada kita:

Dzat-Nya adalah Wajibul Wujud. Yang Tiada Permulaan dan Tiada Akhir
Dialah Dzat Yang Awal, Yang Maha Indah.

Dari Sedikit Dzat-Nya, terdzahirlah Semua Ciptaan,
Oleh karena itu Dialah Yang Dzahir

Hakikat disebalik semua ciptaan, adalah Dzat-Nya, yang tidak terlihat oleh mata,
Maka Dialah Yang Batin.

Dari Dzat-Nya lah tercipta segala sesuatu di Lauhul Mahfuz,
Maka Dialah yang Maha Meliputi segala sesuatu.
Dzat-Nya ada dimana-mana, disetiap ciptaan-Nya
Dzat-Nya bersamamu dimanapun kamu berada.
Dzat-Nya lebih dekat dari urat lehermu

Karena Dzat-Nya Meliputi Lauhul Mahfuz, maka:
Dialah Yang Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengawasi, Maha Mengetahui, Yang Maha Berkuasa atas segala apapun juga yang berada di dalam Lauhul Mahfuz itu.

Karena Lauhul Mahfuz adalah ciptaan, padahal segala sesuatu selain Dzat-Nya akan musnah, maka ketika semuanya sudah musnah, yang akhir hanyalah Dzat-nya,
Sungguh Dialah Yang Akhir.

Dialah Yang Awal dan Dialah Yang Akhir.

Dengan memahami Hakekat semua Ciptaan ini adalah berasal dari sedikit dari Dzat-Nya, maka dengan mudah pula kita akan bermakrifat kepada Allah:

Tidak ada siapapun yang tahu bagaimana rupa Allah swt. Tidak Ada sesuatu pun serupa dengan Dia (Asy Syura 42: 11)

Tidak ada seorangpun yang seumpama dengan Dia (Al Ikhlas 112: 4)

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata (Al Anaam 60: 103)

Nah…, Allah yang seperti inilah yang harus kita INGAT (Dzikiri) setiap saat, baik di dalam shalat maupun diluar shalat, seperti kita mengingat orang tua kita (al Baqarah 200).

Kalau kita sudah bisa ingat kepada Allah yang sebenarnya, yang hakiki seperti ini, maka pastilah Allah akan menyambut rasa ingat kita itu dengan menurunkan Riqqoh kedalam dada kita, sebagai tanda bahwa Diapun telah mengingat kita.

Selanjutnya adalah proses petunjuk, pengajaran, pemberitahuan dari Allah tentang hal-hal yang kita butuhkan sesuai dengan takdir atau lakon atau peran yang sedang dan yang akan kita mainkan di dalam fungsi kekhalifahan kita di muka bumi ini. Proses inilah yang disebut sebagai proses turunnya Ilham kepada kita, yaitu Allah berkenan membukakan sedikit lebih awal rahasia-rahasia atas peristiwa-peristiwa yang akan kita alami atau orang lain alami beberapa waktu kemudian. Atau jawaban-jawaban yang tidak kita sangka-sangka atas persoalan-persoalan yang sedang kita hadapi saat ini atau yang akan kita hadapi dikemudian hari. Karena memang hakekatnya semuanya sudah terencana dengan sangat matang dan sempurna di dalam kitab yang nyata Lauhul Mahfuz. Dan Allah berkenan membukakannya sedikit lebih awal kepada kita. Pengungkapan itupun terjadi karena Rahmat dan Kasih Sayang-Nya kepada kita. Bukan karena kehebatan kita. Itu karena kita telah bersedia untuk menjadi abdi-Nya, pesuruh-Nya, alat Perkakas-Nya untuk memakmurkan bumi ini, sehingga Diapun berkenan membekali kita dengan fasilitas-fasilitas yang akan kita butuhkan dalam menjalankan tugas kita itu…

Lalu kita mau mengaku apa dihadapan Allah?. Masihkah kita bisa mengaku dihadapan-Nya??.

Bersambung

Read Full Post »

Paham DZATIYAH.

Ada sebuah alternatif paham lain untuk memahami HAKIKAT seluruh ciptaan ini yang akan membawa kita dengan mudah BERMAKRIFAT kepada Allah, MAKRIFATULLAH. Yaitu paham Dzatiyah atau Lauhul Mahfuz dengan manafakuri perjalanan Isra’ dan Mi’raj Nabi. Bahwa Beliau diperjalankan menembus 7 lapis langit bertemu dengan Nabi-nabi terdahulu. Kemudian Beliau naik ke Sidratul Muntaha. Lalu Naik ke Arasy yang berada diatas Air, dimana Malaikat Jibril sudah tidak mampu lagi untuk masuk kedalamnya. Lalu diakhir Arasy itu, dibalik 70 Tabir Nur-Nya, Rasulullah berbicara langsung dengan Allah. Beliau berbicara dengan Allah dibalik TABIR…

Dan dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj inilah kita nantinya akan keluar dengan sebuah pandangan tersendiri tentang HAKEKAT dari SEMUA Ciptaan ini:

Bahwa SELURUH Ciptaan ini HAKEKATNYA adalah berasal dari SEDIKIT dari Dzat Allah yang terzahir menjadi SELURUH Ciptaan. Ya…, hanya sedikit, hanya seukuran setetes atau setitik air ditengah samudera raya, hanya seukuran sebutir pasir ditengah-tengah padang pasir yang sangat luas, sajalah dari Dzat Allah yang Maha Besar, yang terdzahir menjadi SELURUH Ciptaan.. Ya…, hanya SEDIKIT Dzat Allah yang terdzahir menjadi SELURUH Ciptaan.

Pada awalnya hanya Dzat Allah saja Yang Wujud. Dzat Yang Maha Agung, Dzat Yang Maha Indah. Dialah Dzat Yang Awal yang tiada Awal. Yang lain selain Dzat-Nya tidaklah wujud. Saat itu KETIADAAN pun tidak wujud. Kalau kita mengatakan saat itu sudah ada KETIADAAN, maka seketika itu juga kita sudah tidak bertauhid lagi. Sebab disamping WUJUD Dzat-Nya ada pula WUJUD Ketiadaan. Tidak begitu. Tauhid mensyaratkan Yang Wujud saat itu hanyalah Sang Wajibul Wujud, yaitu Dzat Yang Maha Indah, yang menyebut Diri-Nya Sendiri dengan sebutan Allah.

Dia ingin dikenal dan disembah, maka Dia Ciptakan sebuah Skenario SANDIWARA Kolosal yang sangat indah dan maha hebat, yang peran dari masing-masing aktor atau pelakonnya sudah ditentukan sejak dari awal. Nanti akan ada yang berperan sebagai Malaikat, Iblis, Manusia, Jin, berikut dengan segala Sifat-sifatnya masing-masing. Siapa yang akan berperan sebagai aktor utama, peran pembantu, teknisi, pengatur laku, pengatur cahaya, dan para pemeran peran-peran yang lainnya. Sudah ditentukan pula lokasi, tempat, hiasan panggung, dan segala tambahan pemanis lainnya berupa hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, gunung dan lembah. Sudah ditulis peristiwa-peristiwa yang akan dialami oleh masing-masing pemeran itu sejak dari awal sampai akhir dari sandiwara itu, the end. Sungguh semua itu adalah SANDIWARA belaka bagi Allah.

Akan tetapi, yang sangat menakutkan bagi bagi para pemeran masing-masing peran itu adalah bahwa sandiwara itu adalah kejadian benaran. Kalau sakit, sakitnya benaran, terluka dan berdarah-darah. Kalau mati, matinya benaran. Kalau bunuh-bunuhan (perang), perangnya benaran. Hancur, terbakar, terluka, mati. Kalau setting peristiwanya adalah ada gunung meletus, gempa bumi, tsunami, topan badi, dan bencana alam lainnya, maka bencananya benaran. Hancur, porak poranda, luluh lantak, mati. Kalau peran baik, baiknya benaran. Kalau jahat, jahatnya benaran. Semua itu bagi si pemeran akan ada rasanya. Ada enak, sakit, bahagia, duka, sedih, takut, marah, benci, sayang, cinta. Semuanya terasa benaran.

Namun syukur alhamdulillah bahwa Allah juga telah menurunkan petunjuk-Nya tentang bagaimana caranya agar kita sebagai pemeran yang sedang menjalankan peran kita itu tidak merasakan takut dan khawatir sedikitpun dalam kita menjalankan tugas kita itu. Tentang ini akan kita bahas pada bagian tersendiri.

Untuk sebagai pertanda bahwa Sandiwara itu sudah dimulai, Allah pun berkata “KUN” kepada SEDIKIT dari Dzat-Nya yang besarnya terhadap keseluruhan Dzat-Nya hanya laksana “bulan” yang mengambang dilangit yang luasnya tak terbatas. Lalu dengan KUN, Dzat-Nya yang sedikit itu terdzahir menjadi sebuah SISTEM Yang TERTUTUP, Panggung Sandiwara Maha Besar, yang berisikan SELURUH Ciptaan didalamnya

KUN…, maka antara Dzat-Nya Yang diluar (Yang Sangat Besar, AKBAR) dengan sedikit Dzat-Nya yang ada di dalam sistem tertutup itu dibatasi oleh TIRAI CAHAYA. Tirai cahaya ini berguna untuk melindungi semua ciptaan yang tardzahir (dari sedikit Dzat-Nya) di dalam sistem tertutup itu agar tidak musnah terbakar ketika ia terpandang kepada Dzat-Nya yang diluar sistem tertutup itu, Dzat Yang Maha Agung.

“Tirai-Nya adalah Nur, dan seandainya terangkat pastilah keagungan Dzat-Nya akan membakar makhluk yang terpandang oleh-Nya”. Terjemahan Shahih Muslim Bk. 1, 228 (1994).

“Malaikat Jibril a.s berkata bahwa ada 70 tirai Nur yang meniraikan Dzat. Dan sekiranya dia mendekati tirai Nur yang pertama saja, dia akan binasa”. Al Hadist (Miskatul Masabih) Vol 4. 226 (1994)

Kemudian di dalam sistem tertutup itupun terciptalah sebuah Perencanaan Yang Sangat Agung. Perencanaan Yang Maha Detail, terhadap serba-serbi dari semua ciptaan yang akan menghuni sistem tertutup itu. Rencana itu meliputi semua detail dari kejadian dan peristiwa yang akan dialami dan dilalui oleh setiap ciptaan (mulai dari yang terkecil maha kecil, sampai kepada yang terbesar maha besar) dalam dimensi RUANG atau UKURAN dan dimensi WAKTU. Apa-apa yang akan terjadi, dimana akan terjadinya, dan apa hikmah yang terkandung di sebalik setiap kejadian yang akan menimpa setiap ciptaan itu sudah tertulis dalam sebuah KITAB RENCANA YANG MAHA SEMPURNA yang disebut sebagai LAUHUL MAHFUZ.

Rencana itu sudah lengkap memuat setiap pergerakan, baik penciptaan dan penghancuran, dari setiap ciptaan yang terjadi di Lauhul Mahfuz itu mulai dari sejak awal sampai dengan akhirnya. Karena Lauhul Mahfuz itu adalah ciptaan, maka ia pastilah ada awalnya dan ada pula akhirnya. Sebab yang abadi hanyalah Dzat Allah semata-mata, baik Dzat-Nya Yang di dalam sistem tertutup itu maupun Dzat-Nya yang diluar sistem tertutup itu.

KUN, maka terciptalah sebuah Plan (lauhul Mahfuz) yang fungsinya mirip dengan Skenario dalam sebuah Film. Isinya adalah rencana tentang detail WAKTU dan RUANG bagi terjadinya peristiwa-peristiwa. Di dalam Plan itu sudah tertera pula dengan jelas dan lengkap tentang bagaimana DZAT-Nya yang akan terdzahir menjadi APA dan SIAPA untuk berperan dan melakukan APA. Rencana itu itu juga sudah merinci magnitute (besarnya, ukurannya, tingkatnya, jaraknya, jangkauannya, kepentingannya, luasnya, kekejamannya, kejahatannya, kelembutannya, tahapannya, tarafnya, babaknya, pentas dan panggungnya, pangkatnya, deretannya, perubahan-perubahan suasananya, hikmahnya, dan sebagainya) atas setiap peran dari Apa dan Siapa itu. Rencana itu sudah lengkap sekali, dan tidak ada satu detailpun yang terlupakan. Rencana itu tidak akan pernah berubah. Nanti pada bagian Lauhul Mahfuz kita akan membahas tentang Skenario Penciptaan ini lebih detail lagi.

KUN, terpampanglah sebuah rencana besar dari sedikit Dzat-Nya yang berada di dalam sistem tertutup itu (Lauhul Mahfuz) untuk terdzahir menjadi: 70 Tirai Nur, Arasy, Air yang Masiv, Sidratul Muntaha, Ruh Muhammad, 7 Langit dan Bumi beserta segala isi diantara keduanya yang salah satunya adalah umat manusia, Penghancuran dan Pemusnahan kembali Langit dan Bumi beserta isi diantara keduanya berupa peristiwa KIAMAT, diciptakannya kembali langit dan bumi yang baru, peristiwa berbangkitnya seluruh manusia di alam Mahsyar, peristiwa berbarisnya seluruh umat manusia menuju Hisab, tentang siapa orang-orang yang SEDIKIT diantara seluruh umat manusia ini yang akan menempuh jalan berhisab yang dimudahkan, tentang siapa-siapa yang akan menerima kitab amalannya dari kanan, dan siapa yang akan menerima kita amalannya itu dari kiri, tentang siapa-siapa yang akan diberi SYAFA’AT oleh Rasulullah saw, lalu siapa-siapa yang akan berlama-lama di dalam Neraka, dan siapa-siapa pula yang akan berlama-lama di Syurga bersama Rasulullah beserta Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang lainnya serta orang-orang Shaleh dari segala zaman, tentang Telaga atau Sungai Kehidupan yang akan mencelup para penghuni neraka sehingga mereka keluar dari neraka itu dengan muka berseri-seri untuk kemudian masuk ke dalam syurga, tentang bagaimana semua malaikat, iblis, manusia, dan jin akhirnya akan kekal didalam syurga selama masih ada langit dan bumi, kecuali kalau Allah berhendak lain. Sebab segala ciptaan pastilah akan hancur, Yang Abadi hanyalah Dzat-Nya saja. Lauhul Mahfuz adalah Ciptaan, dan pastilah ia akan musnah.

Semua ciptaan-Nya pasti akan musnah kembali apabila Allah membuka 70 Tirai Nur-Nya kepada segala ciptaan-Nya itu yang berada di dalam Lauhul Mahfuz. Jika tirai terbuka, maka Lauhul Mahfuz pun kembali SIRNA menjadi Dzat-Nya, karena memang HAKIKAT dari semua ciptaan itu hanyalah sedikit saja dari Dzat-Nya yang Maha Besar dan Maha Agung. Sehingga akhirnya yang tinggal hanyalah Dzat-Nya semata-mata. Dialah Dzat Yang Awal dan Dia pulalah Dzat Yang Akhir. Selain Dzat-Nya pastilah hancur lebur dan sirna.

Sahabat saya “Kidung Alam” telah mengulas karakter dari sistem tertutup itu dari sisi ilmu alam dengan sangat sederhana:
“Dalam sebuah sistim tertutup, jumlah keseluruhan energy adalah tetap. Atau lebih dikenal dengan istilah: Energy tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan, dan juga materi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan. Yang terjadi hanyalah perubahan bentuk saja.

Jadi kalau alam semesta dianggap sebuah sistem tertutup, maka apapun yang ada di alam ini adalah tetap. Kecuali suatu entitas yang berada di luar sistim, yang bisa menambah dan menguranginya.

Demikianlah dengan pengandaian sederhana, maka Dzat Allah pastilah ada yang berada di dalam sistem (alam semesta) dan juga ada di luar sistem. Allah is everywher and nowhere. Allah ada di luar dan ada di dalam, meliputi semuanya.
Dengan memahami keberadaan Dzat Allah di dalam dan diluar system Alam Semesta Ciptaan Allah ini, maka memahami postulat ahli ilmu alam akan dengan mudah diterima. Namun bila tidak memahami Dzat yang di luar sistem ini, maka memahami postulat ahli ilmu alam ini akan menjadi tidak masuk akal”.

Dengan memahami Hakekat semua ciptaan seperti ini, maka tanpa rumit-rumit, kita tinggal selangkah saja lagi untuk bermakrifat kepada Allah, Makrifatullah…

Bersambung

Read Full Post »

Paham Rabithah Mursyid.

Dalam paham ini, ada sekelompok orang yang mengaku atau dianggap sebagai sosok yang punya otoritas atau silsilah ilmu yang berasal dari gurunya, guru dari gurunya, buyut gurunya dan guru-guru yang seterusnya yang konon akhirnya tersambung kepada Rasulullah saw. Sebutan untuk guru itu biasanya adalah Syekh atau Mursyid. Mursyid yang terbaik biasanya disebut sebagai Mursyid Kamil Mukamil yang Waliyyam Mursyida, yang dapat memberi petunjuk. Hanya dengan bantuan Mursyid inilah seseorang baru bisa meningkatkan taraf pencapaian rohaninya ketingkat yang lebih tinggi, sampai kemudian terbukanya pintu Makrifatullah kepadanya. Cara-cara yang dibawa oleh Mursyid itulah kemudian yang dikenal dengan nama Tarekat. Saat ini jumlah tarekat sangatlah banyak, masing-masing dengan ciri-ciri khasnya sendiri-sendiri.

Kalau kita bersedia untuk masuk kedalam sebuah tarekat dan berkenan mengikuti seorang Mursyid, terlebih dahulu kita harus mau berbai’at kepadanya. Bai’at itu biasanya dengan syarat-syarat tertentu, mulai dari yang ringan seperti sekedar bersalaman tangan, sampai dengan syarat-syarat yang lebih berat seperti mandi kembang di tengah malam yang sangat dingin, dan menyediakan berbagai syarat tambahan lainnya, tergantung pada tarekat mana yang akan kita masuki.

Selesai berbai’at, maka barulah kita akan diberitahu latihan-latihan atau riadah-riadah yang harus kita lakukan. Kita akan diberikan talkin dzikir-dzikir tertentu oleh Sang Mursyid untuk kita wiridkan dengan jumlah tertentu setiap habis shalat, setiap waktu, setiap hari. Jumlahnya bisa puluhan ribu sekali putaran.

Sebelum dzikir dilakukan, maka kita sebagai murid harus terlebih dahulu melakukan prosesi Rabitah Mursyid , yaitu kita membayangkan wajah Sang Mursyid yang ada didepan kita sambil kita memejamkan mata. Kita berkonsentrasi kepada wajah Sang Mursyid. Lalu beliau akan menyebutkan silsilah ajaran tarekat tersebut sampai nantinya berujung pada Rasulullah saw. Dengan harapan saat itu juga terjadi sambungan rohani antara kita dengan Sang Mursyid, dan dengan Mursyid-Mursyid lainnya sebelum guru kita, lalu tersambung sampai kepada Rasulullah saw. Setelah itu barulah kita mambaca wirid-wirid yang diperintahkan. Setiap mau berdzikir harus begitu…, membayangkan wajah guru mursyid kita terlebih dahulu…, rabitah mursyid.

Pada tarekat tertentu, proses awal dari dzikir/wirid itu bisa pula dilakukan ditempat-tempat khusus yang disebut sebagai tempat SULUK. Lamanya bisa sebulan dengan lebih dan kurangnya. Kita berdzikir di dalam kelambu yang sudah dilengkapi dengan kasur dan bantal. Selama proses itu kita harus berdzikir di dalam kelambu itu dengan jumlah tertentu, termasuk melakukan shalat-shalat sunnah. Kita hanya keluar dari kelambu itu saat shalat wajib dan mandi saja. Sedangkan makan dan minum, dengan menu makanan yang sangat sederhana, tetap kita lakukan di dalam kelambu tempat suluk itu. Sang Mursyid akan mengawasi hasil-hasil yang kita dapatkan dalam berdzikir itu dengan teliti.

Dzikir pertama yang harus kita lakukan biasanya adalah dzikir JAHAR (LISAN), laa ilaha illallah, atau Allah-Allah, sekian ribu kali. Bisa pula saat kita mengucapkan dzikir jahar itu kita berkonsentasi kepada Lathaif-lathaif yang ada disekitar dada kita, mulai dari Lathifatul Qalbi, yang ada didekat jantung (2 jari dibawah susu kiri, 2 jari lagi kearah tengah dada ), sampai dengan lathaif lainnya seperti Latifatul Roh, Latifatul Sirri, Latifatul Khafi, Latifatul Akhfa, Latifatun Nafsun Natiqah, dan Latifatul Kullu Jasad. Fungsi Lathaif ini mirip dengan fungsi CAKRA dalam meditasi dari India.

Setelah Dizikir Jahar ini dilakukan sehari atau dua hari, dengan irama yang sangat monoton, dan dalam keadaan fisik yang mulai lelah dan lemah, maka pada suatu tahap, kita mulai merasakan getaran-getaran menyelimuti tubuh kita. Tidak jarang kita akan menangis histeris sampai tubuh kita bergetar hebat. Kadang-kadang gerakan tubuh kita itu liar dan tidak beraturan. Keadaan ini bisa berlangsung cepat dan bisa pula berlangsung sehari atau dua hari. Diakhir getaran itu biasanya ada yang seperti mau naik dari ulu hati kita keatas. Saat dorongan itu muncul, kita akan berkata HU atau HAK secara berulang ulang. Kemudian setelah itu kita akan menjadi tenang untuk beberapa saat.

Saat tenang itulah kemudian kita melanjutkan dzikir kita dengan Dzikir Qalb, yaitu dengan cara menyebut Nama Allah di dalam hati, Latifah Qalbi. Lidah dinaikkan kelangit-langit, dan ucapan Allah di tumpukan kedalam Qalbu tanpa bersuara sedikitpun. Dzikir Qalbi inipun harus kita lakukan secara berulang-ulang dalam waktu yang lama. Berhari-hari.

Sampai kemudian kita bisa melakukan Dzikir Sirr atau Dzikir Wuquf, disini sudah tidak ada lagi bacaan yang kita baca. Kita hanya tetap menjaga hati/ Qalbu kita kepada Allah. Sampai Allah membukakan kepada kita rahasia-rahasia kedekatan kita dengan Allah seperti:

• Muraqabatul Itlak (muthlak): Meyakini dilihat oleh Allah, Meyakini perkataan kita didengar oleh Allah, Pasti kelakuan kita diketahui oleh Allah.
• Muraqabatul Ahdyatul Af’aal; Mengintai dengan hati sanubari kepada A’faal Allah (Keesaan perbuatan Allah) sambil menunggu limpahan karunia Allah (faid pertama).

• Muraqabatul Ma’iyyah; mengintai dengan mendalam makna Allah bersama dengan kita; menanti faid ke dua (limpah karunia Allah) di 4 lataif: Latifatur Roh, Latifatuus Sir, Latifatul Khafi, Latifatul Akhfa.

• Muraqabatul Aqrabiyyah; mengintai bahwa Allah memberi kehampiran zat-Nya kepada hamba yang dikasihinya; menanti limpahan ke-3 pada Nafsu Radhiyah.

• Muraqabatul Abdiyyatuzzat; mengintai Zat Allah yang Maha Esa; menanti limpahan ke-4 pada nafsu Mardiyyah pada kejadian air, api, angin.

• Muraqabatuzzzaati sharf wal bahri; mengintai zat Allah semata-mata; menanti limpahan pada nafsul ‘ubudiyah pada unsur tanah.

Setelah selesai dan matang dalam Dzikir Jahar, Dzikir Qalb, dan Dzikir Sirr dan sudah pula mencapai tingkatan Muraqabah kepada Allah, maka barulah kita bisa setapak demi setapak memasuki berbagai maqam Makrifatullah seperti:

• Maqam Musyahadah; dapat nikmat hati merasakan berpandang-pandangan dengan Allah.

• Maqam Muqabalah; dapat nikmat hati merasakan berhadap-hadapan dengan Allah.

• Maqam Mukasyafah; dapat nikmat hati merasakan melihat kepada ‘alamulgaibul gaib atau rahasia Allah.

• Maqam Mukafahah; dapat nikmat hati merasakan berkasih-kasihan dengan Allah.

• Maqam Fanaafillah; dapat nikmat hati merasakan lenyap pada mengenal Allah.

• Maqam Baqaabillah; dapat nikmat hati merasakan berkekalan beserta Allah, kekal abadi beserta dengan Allah.

Hasil Muraqah dan Maqam-maqam ini sangat tergantung kepada paham apa yang kita anut ketika kita mulai masuk dan berdzikir dalam sebuah aliran tarekat. Kalau tarekatnya berpaham Wahdatul Wujud, maka hasilnya adalah seperti yang telah diterangkan dalam Paham Wahdatul Wujud. Kalau Tarekatnya berpaham Nur Muhammad, maka hasilnya juga akan berbeda. Begitu juga dengan yang berpaham Insan Kamil. Hasilnya masing-masing punya karekateristiknya masing-masing pula.

Cuma saja bagi orang awam, untuk mencapai tingkatan seperti ini alangkah sulitnya. Sulitnya poooll (full). Sibuknya poooll. Lamanya pun poooll. Sehingga dari sekian banyak yang ikut dalam praktek tarekat itu, rasanya hanya Mursyidnya sajalah yang akan bisa mendapatkan Maqam-maqam tersebut. Yang lainnya banyak yang tidak kuat. Patah ditengah jalan. Bahkan ada yang menjadi tidak waras, atau paling tidak ia terjerumus masuk kedalam alam khayalan. Karena ia terlalu lama menunggu sesuatu yang tidak jelas. Menunggu tanda-tanda kewalian, menunggu keajaiban, yang kadangkala bisa sampai belasan tahun lamanya…

Kalau kita berhasil mencapai tingkatan Makrifatullah seperti diatas, maka kitapun akan diberi ijazah oleh Sang Mursyid kita. Kitapun dianggap sudah berhak pula mengembangan Tarekat itu melalui sanad kita sendiri. Kita akan ditalqin kembali untuk menjadi seorang Mursyid. Lahirlah mursyid yang baru yang nantinya akan mengajarkan ilmu ini kepada masyarakat sesuai dengan apa-apa yang telah kita dapatkan.

Kalaulah di zaman Rasulullah dan para Sahabat Beliau dahulu Islam ditawarkan kepada umat dengan cara-cara yang sulit begini, barangkali tidak akan banyak orang yang akan menerimanya. Seperti kita menjual barang disebuah warung, tapi barang yang kita jual itu nantinya akan menyulitkan orang yang membelinya. Tutup itu warung kita. Tidak akan ada orang yang membelinya. Tapi saat di zaman Rasulullah itu akhirnya orang berbondong-bondong masuk Islam. Karena Islam yang Beliau tawarkan memang sangat mudah. Iman-Islam-Ihsan, lalu berlomba-lombalah menuju kebaikan sebagai fungsi ke kekhalifahan kita masing-masing di muka bumi ini. Yaitu untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, sesuai dengan kapasitas kita masing-masing yang telah ditakdirkan oleh Allah.

Lalu adakah Alternatif paham lain yang lebih kuat dan gamblang dalam kita belajar dan memahami HAKIKAT seluruh ciptaan ini, yang akan membawa kita BERMAKRIFAT kepada Allah ?. MAKRIFATULLAH. Yang caranya sederhana, tidak rumit dan sulit. Caranya mudah saja. Dan itupun sesuai pula dengan hukum-hukum alam yang sudah berkembang saat ini.

Sebab untuk belajar selama belasan tahun seperti diatas alangkah sulitnya. Umur kita sangat pendek. Bagaimana jadinya kalau kita meninggal sementara kita belum mengenal Allah?. Bagaimana kita mau shalat sementara kita belum kenal dengan Allah yang akan kita sembah dan kita ingati selalu, baik di dalam shalat maupun diluar shalat.

Jawabannya ada…, Ya…. ada…

Bersambung

Read Full Post »

Paham Insan Kamil

Paham insan kamil ini juga bertumpu kepada paham Nur Muhammad, tapi dalam pola yang berbeda. Disini, kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber-tajalli secara sempurna melalui hakikat Nur Muhammad (al-haqiqah al-Muhammadiyah). Hakikat Muhammad (nur Muhammad) merupakan wadah tajalli Tuhan yang sempurna dan merupakan makhluk yang paling pertama diciptakan oleh Tuhan. Kemudian dari Nur Muhammad inilah tercipta seluruh ciptaan yang lainya. Oleh sebab itu Nabi Muhhammad disebut juga sebagai Insan Kamil. Manusia sempurna dan paripurna.

Inti paham ini adalah, bahwa kemudian, seseorang bisa pula mencapai derajat Insan Kamil ketika Ruh Nabi Muhammad saw bisa menyerap atau menyusup kedalam kedalam tubuhnya.Begitu diyakininya Ruh Muhammad telah menyusup kedalam dirinya, maka diapun dianggap sudah menjadi Insan Kamil. Biasanya yang bisa mencapai taraf Insan Kamil ini adalah guru-guru tarekat, dan Syech-Syech tertentu saja, yang dianggap oleh para muridnya sebagi wali Allah.

Penganut paham ini meyakini bahwa tegaknya alam ini oleh keberadaan Insan Kamil ini. Dan alam ini akan tetap terpelihara selama Insan Kamil (manusia sempurna) ini masih ada. Insan Kamil atau hakekat Muhammad lalu menjadi sumber dari seluruh hukum, kenabian, semua wali atau individu manusia sempurna. Wah sekali.

Cuma saja yang sungguh mengherankan adalah bagaimana bisa Ruh Nabi Muhammad yang suci dan maksum itu bisa menyusup kedalam jasad manusia biasa yang sudah tentu banyak dosa, kotor, dan jauh dari kemuliaan ini?. Tidak ada satupun dalil yang berasa dari Nabi ataupun Al Qur’an yang mendasari konsep dari paham ini. Makanya kata-kata yang sangat diperhatikan oleh penganutnya adalah kata-kata guru atau syechnya yang membawa paham ini.

Untuk bisa memahami dan mengalami sendiri realitas dari konsep Wahdatul Wujud, Nur Muhammad, dan Insan Kamil ini sangatlah sulit sekali. Kita memerlukan bantuan dari orang-orang yang mengaku punya otoritas untuk itu. Dia adalah orang-orang yang sudah duduk di maqam yang sangat wah itu, seperti maqam Wahdatul Wujud (Ittihad, Hulul, Baqa dan Fana Billah, Syatahat), atau maqam Nur Muhammad, atau maqam Insan Kamil (kesusupan Ruh Nabi Muhammad).

Untuk urusan inilah kemudian muncul konsep perantara, yaitu pribadi-pribadi yang disebut sebagai MURSYID, yang Kamil Mukamil pula. Mursyid inilah nantinya yang berperan untuk mengantarkan ruhani kita ke maqam-maqam yang lebih tinggi sampai ke maqam bersatu dengan Allah, Nur Muhammad, atau Insan Kamil. Dan inilah kemudian yang akan melangengkan paham berikutnya, Paham Rabitah Mursyid, sampai sekarang.

Bersambung

Read Full Post »

Paham Nur Muhammad

Paham Nur Muhammad ini juga tidak kalah rumitnya kalau kita membaca dari buku-buku yang banyak beredar saat ini. Padahal intinya sederhana saja. Bahwa sebelum Allah swt berfirman “Kun”, SEPARUH (SETENGAH) dari Roh atau Nur-Nya menjadi Roh ataupun Nur Muhammad. Maka apabila kemudian Allah swt berfirman “Kun”, Allah menujukan Sabda-Nya itu kepada Roh ataupun Nur Muhammad. Dan dari Nur Muhammad itulah kemudian semua ciptaan tercipta. Maka dengan begitu Roh ataupun Nur Muhammad boleh dikatakan sebagai Unsur Hakiki ataupun HAKIKAT dari semua ciptaan.

Dilihat dari sisi ilmu Tauhid, paham ini sudah keluar dari Tauhid. Sebab ketika Allah mulai mencipta dengan sabda KUN, saat itu “sudah ada” dua wujud yang ada. Ada Allah dan ada Nur Muhammad. Allah bersabda KUN kepada Nur Muhammad, lalu kemudian seluruh Nur Muhammad pun berubah menjadi seluruh Ciptaan.

Padahal tauhid mensyaratkan bahwa Wujud Yang Awwal, wujud yang ada sebelum Allah berkata KUN, hanyalah semata-mata Dzat Allah Yang Maha Indah, Dzat Dia Yang Maha Agung. Dzat Wajibul Wujud. Dzat Semata Wayang. Ketiadaan saja tidak boleh ada atau exis saat itu. Ciptaan walau sekecil apapun juga tidak boleh ada, apalagi kalau ada wujud yang lain yang sebanding besarnya dan serupa dengan dia yaitu Nur atau Roh Muhammad. Mau tidak mau, kalau ingin bertauhid tentunya, Nur Muhammad inipun haruslah tidak ada. Wajib tidak ada. Kalau masih ada maka kita akan kehilangan tauhid kita kepada Allah. Karena menurut paham ini Allah telah membelah Diri-Nya menjadi dua bagian. Separuhnya tetap menjadi Diri-Nya dan separuhnya lagi menjadi Nur Muhammad. Lalu kepada separuh Diri-Nya yang sudah menjadi Nur Muhmmad itulah Dia berfirman KUN. Sehingga kemudian dari Nur Muhammad itulah terciptanya semua ciptaan.

Dengan begitu, peran Nur Muhammad menjadi sangat sentral dan penting sekali. Sebab paham ini mensyaratkan bahwa HAKIKAT, ESENSI, UNSUR ASASI dari semua ciptaan ini adalah Nur Muhammad. Kalau begitu, kita mau BERMAKRIFAT kepada apa dan siapa??. Kepada Muhammad kah atau kepada Allah kah?.

Pastilah kita tidak akan pernah bisa bermakrifat kepada Allah, sebab kita masih belum berada pada tatanan Hakikat yang sebenarnya dari semua ciptaan ini. Nur Muhammad masih bisa dipertentangkan, masih bisa diperdebatkan. Kita masih harus mencari-cari Nur Muhammad itu di dalam WIRID kita yang banyaknya bisa ratusan ribu kali dengan “menyebut-nyebut” (baik jahar maupun sirr) beberapa kalimat thayyibah seperti tasbih, tahlil, tahmid, dan takbir. Kemudian dalam wirid itu bisa pula ditambah-tambahi dengan kalimat-kalimat lainnya yang diijazahkan oleh guru atau mursyid yang mengajarkannya kepada kita.

Kira-kira tepatkah kalau saat kita melakukan wirid itu, yang isinya memuja-muji Allah, tetapi di dalam niat kita, di alam ingatan kita, dalam makrifat kita, malah kita sedang mengharap-harapkan munculnya Nur Muhammad yang terang benderang di depan mata (mata hati) kita?. Dan itupun harus kita lakukan berlama-lama, bahkan bisa bertahun-tahun. Kita akan menjadi sibuk tak karuan. Tapi tujuannya adalah agar kita bisa melihat Nur Muhammad. Banyak akhirnya kita yang patah ditengah jalan. Kita menyerah dan akhirnya merasa masa bodoh. Karena memang sulit sekali untuk melakukannya. Hanya orang-orang yang selevel Mursyid saja yang katanya bisa mencapai tingkatan ini. Orang awam mana bisa.

Padahal tentang posisi Nabi Muhammad sendiri Allah sudah mewanti-wanti di dalam Al Qur’an:

Dia mendapatimu (Muhammad) sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberikan petunjuk (Ad Dhuha 93: 7)

Katakanlah, “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku (Muhammad) ini hanya seorang manusia yang menjadi Rasul?”, (Al Israa’ 17: 93).

Dan sekiranya aku (Muhammad) mengetahui yang ghaib tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan (Al A’raaf 7: 188)

Dan banyak sekali ayat-ayat al Qur’an dan Al Hadist yang menyatakan bahwa Beliau hanyalah Rasul dan Pesuruh Allah. Tidak Lebih dari manusia biasa seperti kita, hanya saja Beliau diberi Wahyu oleh Allah. Bahkan ketika Rasulullah wafat dan banyak diantara sahabat yang tidak mempercayainya, sayyidina Abu Bakar ra berkata: “Siapa yang menyembah Muhammad, ketahuilah Muhammad sudah wafat. Tetapi siapa yang menyembah Tuhan Muhammad, maka Dia (Allah) kekal abadi”.

Walaupun beliau memang diturunkan oleh Allah kemuka bumi ini sebagai Rahmatan lil ‘alamiin, tapi maknanya bukanlah dengan Beliau menjadi Nur Muhammad. Bukan. Nanti pada bagian yang lain kita akan lihat bagaimana fungsi Beliau sebagai Rahmatan Lil ‘Alamiin ini dengan lebih dalam.

Bersambung

Read Full Post »

Older Posts »