Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Desember, 2018

“Sekarang dengarlah anakku, kamu itu bisa datang dan kembali kepada Allah dalam dua keadaan, yaitu datang dengan sukarela atau dengan dipaksa”.

 

“Ayah akan terangkan dulu kepadamu bagaimana datang kepada Allah itu dengan cara dipaksa. Namun sebelumnya jawablah pertanyaan ayah ini dengan jujur. Setiap kali kamu mengalami permasalahan apa yang kamu lakukan?”. Tanya ayahnya penuh selidik.

 

“Ananda berusaha MEMIKIRKAN masalah itu, lalu MEREKA-REKA apa penyebabnya, setelah itu ananda melakukan berbagai USAHA untuk keluar dari permasalahan itu”, jawab sang anak dengan penuh semangat.

 

“Bagus, kamu sudah melakukan apa yang disebut orang sebagai metoda ilmiah dalam menyelesaikan permasalahanmu. Akan tetapi bagaimana kalau permasalah kamu itu bukannya selesai, malah semakin hari menjadi semakin berat. Apa yang kamu lakukan?”.

 

“Ananda akan pikirkan dan renungkan berjam-jam, atau bahkan berhari-hari, bagaimana jalan keluar dari permasalahan yang Ananda hadapi itu. Atau Ananda akan MENCARI BANTUAN kepada orang lain yang ananda anggap bisa membantu Ananda dalam melihat permasalah yang Ananda alami dengan lebih baik. Ananda akan tanya orang-orang, Ananda akan membaca berbagai referensi atau pelajaran-pelajaran yang pernah Ananda dapatkan sebelumnya. Pokoknya Ananda akan BERUSAHA SEKUAT TENAGA mencari jalan penyelesaian masalah yang Ananda hadapi”, tambah sang Anak dengan berapi-api.

 

“Tambahan lagi Ayah, Ananda akan berdoa kepada Allah setiap habis shalat dan juga ketika pembukaan rapat dengan teman-teman Ananda untuk membahas permasalahan itu. Ananda selalu berdoa seperti itu”.

 

“Bagus, kita berhenti dulu membahas tentang bagaimana kamu menghadapi permasalahan hidup kamu. Ayah akan lanjutkan pertanyaan ayah tentang bagaimana kalau kami menghadapi SAKIT”.

 

“Kalau kamu tiba tiba sakit, misalnya kaki kamu terinjak batu kerikil, atau benda keras lainnya, atau bahkan paku, apa yang kamu lakukan?”.

 

“Ananda secara otomatis akan mengangkat kaki ananda untuk MENJAUH dari batu kerikil, benda keras, atau paku yang mengenai kaki Ananda itu, mungkin Ananda akan sedikit berteriak karena kaget. Setelah itu ya…, Ananda akan obati kaki Ananda kalau kaki itu luka. Setelah itu Ananda akan lebih berhati-hati lagi kalau berjalan, agar kejadian itu tidak terulang dimasa yang akan datang”.

 

“Sungguh logis sekali jawabanmu wahai anakku. Tetapi pernahkan kamu mengalami kesakitan yang sangat sakit dan berlangsung dalam waktu yang lama?. Duduk sakit, berdiri sakit, tidurpun sakit”.

 

“Pernah ayah. Ananda pernah merasakan sakit Asam Urat di kaki Ananda. Sakitnya terus menerus. Dipijakkan sakit, diangkat sakit, serba sakit yang tidak berhenti”.

 

“Bukankah kamu ingin segera menjauh dari kakimu yang sakit itu”, tanya ayahnya.

 

“Betul Ayah. Ananda seperti ingin pergi dan menjauh dari kaki Ananda yang sakit itu. Apa yang aneh dari itu Ayah?. Kan biasa saja itu?”, tanyanya dengan agak terheran-heran.

 

Ayahnya Cuma tersenyum mendengar pertanyaan itu. Lalu ayahnya bertanya lebih lanjut.

 

“Kamu tentu pernah kehilangan sesuatu yang sangat kamu cintai, yang sangat kamu harap-harapkan?”

 

“Tentu saja ayah, tapi…, kalau diceritakan disini tentu kurang elok Ayah”, katanya seperti memelas.

 

“Ya…, Ayah mengerti. Ayah cuma ingin tahu apa yang kamu lakukan ketika kamu mengalami peristiwa itu”.

 

“Ananda seketika itu juga mencoba memikirkan tentang kenapa permasalah itu datang kepada Ananda. Ananda bertanya-tanya, kenapa ibadah-ibadah dan doa-doa ananda selama ini seperti tidak ada artinya buat menghalangi cobaan yang Ananda alami itu”.

 

“Ananda bertanya-tanya: Kenapa ya Allah?, bukankah saya sudah begitu baik dalam beribadah, dan sebagainya. Berbagai pikiran seperti masuk membanjir minda Ananda”.

 

“Dengan mudah Ananda menetapkan bahwa Allah barangkali sudah tidak adil kepada Ananda. Atau mungkin saja Allah marah kepada Ananda. Dan akibatnya Ananda malah jadi tambah stress dan tidak bisa tidur memikirkannya”.

 

Kok bisa begitu ya Ayah?, tanyanya dengan penuh keingintahuan.

 

“Kamu nampak tak, bahwa ketika kamu menghadapi masalah seperti kehilangan sesuatu yang kamu cintai itu, sama halnya dengan ketika kamu mengalami sakit yang berkepanjangan dulu, kamu juga ingin lari dari masalah kamu itu”.

 

“Saat itu kamu seperti berusaha naik dan masuk ke dalam minda kamu. Kamu mencari kalau-kalau ada jawaban permasalahanmu itu di dalam mindamu itu. Engkau memikirkannya, engkau berharap agar beban yang membuatmu kepikiran terus bisa hilang lenyap. Bahkan saat itu engkau seperti bisa FOKUS berdoa meminta pertolongan kepada Allah”.

 

“Semakin berat permasalahanmu, maka kamu bisa semakin fokus dalam berdoa itu. Kamu seakan-akan ingin keluar dari dalam tubuhmu, keluar dari dalam dadamu yang terasa sempit, keluar meninggalkan segala permasalahanmu. Kamu juga memejamkan mata kamu dalam berdoa itu. Kamu bahkan seperti ingin keluar dari dalam kepalamu yang sedang dipenuhi oleh berbagai pikiran itu dan ingin naik keatas melampaui ubun-ubunmu. Dengan keadaan seperti itu, saat itu kamu juga merasa bahwa kamu seakan-akan bisa sangat dekat dengan Allah, sehingga kamupun lama-kelamaan menjadi agak tenang dan rileks. Bukankah begitu yang kamu alami?”, tanya ayahnya sambil tersenyum.

 

Ia tetap hanya diam saja, tidak menjawab. Tetapi ia sambil berusaha memahami keterangan Ayahnya yang ia heran seperti bisa membaca alam pikirannya.

 

Ia lalu teringat kepada pengarang-pengarang buku-buku populer yang pernah ia baca. Misalnya, Eckhart Tolle (ET), pengarang buku “The Power of Now”, yang konon bukunya sangat terkenal di seluruh dunia. ET menulis tentang bagaimana ia bisa keluar dari “kepedihan psikologis” selama bertahun-tahun dan menemukan kenyataan bahwa semua permasalahannya itu ternyata hanyalah bermuara di dalam pikirannya. Pada puncak penderitaan dan kepedihannya, ia ingin mati atau bunuh diri. Akan tetapi saat ia merasa sangat tidak berdaya, sangat tidak bisa berpikir, maka saat itu pulalah ia seperti terlepas dari pikirannya. Ia seperti berada pada suatu keadaan yang ia sebut sebagai waktu sekarang, NOW. Ia malah seperti mendapatkan pencerahan di puncak kepedihan psikologisnya itu. Saat ia sudah tidak merasa punya harapan, tidak punya tempat bergantung lagi. Lalu ia tertidur dalam kelelalan psikologis. Dan dalam masa itulah ia seperti bisa terbebes dari segala permasalahannya.

 

Prof. Dr. Hamka pun, di puncak penderitaan Beliau saat Beliau dipenjara, malah Beliau berhasil menulis tafsir yang sangat fenomenal, yaitu Tafsir Al Azhar. Begitu juga dengan para penemu dalam bidang science dan teknologi, umumnya mereka adalah orang-orang yang tidak dihargai, dilecehkan, dan dipandang sebelah mata oleh lingkungan mereka. Tetapi dalam kepedihan mereka itu, mereka malah menemukan hal-hal baru yang akan mengubah peradaban manusia.

 

Begitu juga dengan berbagai tradisi ilmu beladiri, kesaktian, perdukunan, dan motivator-motivator terkenal lainnya, mereka juga pada permulaannya kalau tidak mengalami penderitaan psikologis yang panjang, atau bisa pula melalui proses penyiksaan dan menyakiti diri sendiri dengan berbagai cara dan metoda latihan kanuragan ataupun dzikir-dzikir dalam waktu yang lama, dan di tempat-tempat yang jauh dan sulit untuk dicapai.  Untuk mendapatkan ilmu-ilmu itupun, dikabarkan seorang murid juga harus mau diperlakukan oleh gurunya sedemikian rupa sehingga sang murid benar-benar merasa sudah tidak punya harga diri dan merasa sangat tidak berdaya dihadapan gurunya itu. Setelah itu barulah ia diberikan ilmu-ilmu, tapi sebatas ilmu yang menurut gurunya masih bisa menjaga marwah gurunya didepan muridnya itu. Tepatnya, tidak semua ilmu dari guru itu yang diturunkannya kepada muridnya.

 

Bahkan peristiwa bencana alam, peperangan, kecelakaan, pembunuhan, kematian, dan sebagainya, banyak pula yang menjadi awal titik balik bagi seseorang untuk menjadi lebih baik lebih beriman, lebih sabar, dan lebih berkasih sayang dari yang sebelum-sebelumnya.

 

Ia seperti melihat suatu kesamaan pola yang entah apa itu namanya. Ada permasalahan berat, ada cobaan, ada penderitaan, ada kepedihan psikologis, ada ketidakberdayaan, ada ketidakmampaun berpikir dan berlogika, lalu pada puncaknya ada orang yang bisa mendapatkan pencerahan, ada juga yang bisa menjadi pingsan ditengah ketidak berdayaannya, dan ada pula yang bisa langsung meninggal karena tubuhnya sudah tidak sanggup lagi untuk mengatasi penderitaannya itu.

 

Matanyapun berbinar mengingat kesamaan pola-pola tersebut, lalu ia bertanya kepada ayahnya:

 

“Kalau begitu Ayahanda, apa hubungnya antara permasalahan yang sangat berat, bencana alam yang bertubi-tubi, peperangan yang menyebabkan tekanan kepedihan psikologis yang sangat besar, dan penyiksaan fisik, dengan pencerahan yang sepertinya datang pas saat-saat mereka berada pada posisi sangat berputus asa dan merasa tanpa harapan sedikitpun?”, tanyanya kepada Ayahnya dengan penuh antusias.

 

Bersambung

Read Full Post »

“Sekarang coba kamu lihat anak lelaki kecil berumur dua tahun yang sedang berjalan dengan ibu bapaknya itu”, kata Ayahnya menunjuk seorang anak lelaki berpakaian bagus yang sedang melintas bersama kedua orang tuanya di depan mereka yang tengah asyik menyeruput secangkir kopi yang sudah mulai habis mereka minum.

 

“Lihatlah, anak itu sesekali kelihatan meronta untuk bisa lepas dari pegangan tangan ibunya. Ia seperti ingin menjauh dan lari dari orang tuanya. Ia ingin mengarungi kehidupannya sendiri. Karena ia merasa sudah bukan seorang bayi lagi. Ia merasa sudah menjadi seorang anak kecil yang sudah bisa berjalan sendiri, dan ia sudah tahu pula keadaan sekelilingnya yang menarik perhatiannya”.

 

“Dan sekarang coba kamu bandingkan pula dengan anak remaja lelaki yang sedang berjalan dengan seorang perempuan setengah baya itu. Ayah yakin perempuan itu adalah ibunya. Kamu lihat bahwa remaja itu sudah tidak mau lagi berjalan dengan tangannya dipegangi oleh ibunya. Ia seperti sudah bisa lepas dari keterikatannya dengan ibunya. Ia sudah bisa melakukan segala hal sendiri dan dengan caranya sendiri pula. Ketika ia menghadapi berbagai masalah, ia seperti sudah merasa malu untuk minta tolong kepada ibunya. Kalaupun ia minta tolong kepada ibunya, paling-paling ia hanya minta doa saja kepada ibunya. Setelah itu ia kembali merasa bisa untuk menjalani kehidupannya secara sendiri-sendiri”.

 

“Demikianlah wahai anakku, kebanyakan manusia semakin tua umurnya, maka ia akan semakin jauh pula dari raihan jemari tangan ibunya”, kata Ayahnya sambil sejenak meneguk sisa kopi yang masih ada dicangkirnya.

 

Ia lalu terdiam mengingat keadaan dirinya sendiri dalam usianya yang sudah lebih dari setengah abad. Entah kapan saat terakhir ia merasakan kegembiraan seorang anak yang berada dalam genggaman jemari tangan ibunya, yang juga sudah almarhumah. Sudah lama sekali… dan segera saja ia disergap oleh kerinduan kepada almarhumah ibunya yang ia tahu sangat amat sayang kepadanya…

 

“Begitu pulalah perilaku manusia kepada Tuhannya, wahai anakku. Makin banyak yang bisa ia ketahui, ia kerjakan, ia lakukan, dan ia miliki, maka ia akan merasa semakin bisa pula berdiri diatas kaki sendiri. Ia seakan-akan tidak membutuhkan lagi Allah di dalam hidupnya. Ia merasa bisa melakukan segala-galanya dengan kemampuannya sendiri. Ia merasa bisa memikirkan, ia merasa bisa mengubah hidupnya, ia merasa bisa berusaha, ia merasa bisa merencana, ia merasa bisa menentapkan, ia merasa bisa memutuskan, ia bahkan merasa bisa menciptakan. Ia merasa bisa segala hal, sehingga ia pun merasa bebas dan merdeka pula untuk menyatakan keberadaan dirinya dan segala kebisaannya itu yang nantinya akan berubah menjadi kepemilikannya”.

 

“Dengan penuh semangat ia ingin mendeklarasikan kepada seluruh isi dunia: inilah “aku”, ini milikku, dan aku bisa pula ini dan itu”.

 

“Apakah itu yang disebut merasa wujud ayah?, tanyanya menyela nasehat ayahnya.

 

“Benar anakku, itulah yang disebut sebagai orang yang merasa wujud”

 

“Karena merasa wujud, maka segera saja ia akan merasa “terpisah” dengan segala sesuatu. Ia merasa terpisah dengan sesama makhluk, terpisah dengan alam. Ada dia dan ada orang lain, atau ada dia dan ada makhluk yang lain. Bahkan ia juga merasa terpisah dengan Allah. Ada dia dan ada Allah swt”

 

“Karena merasa terpisah dan dengan segala kepemilikannya, maka ia pun dengan sangat mudah BERGADUH dengan orang lain, dengan makhluk lain, dengan alam, dan bahkan juga dengan Allah swt. Pergaduhan itu ditandai dengan mudahnya terucapnya dari bibirnya tanya “kenapa” dan ia merasa berhak pula untuk “menetapkan dan memikirkan” segala sesuatu. Dan dari sinilah kegaduhan itu muncul dan berkembang kesegala arah yang menimbulkan kepedihan bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Darah dan air matapun tumpah mengiringi kepedihan demi kepedihan itu”.

 

“Pada puncak kepedihan itu, barulah ia merasa bahwa ternyata sebenarnya ia tidaklah sehebat, seberkuasa, dan sekuat yang ia duga, ditambah pula dengan pancaran cahaya makrifat atau kekuatan fitrah yang sudah tertanam di dalam hatinya sejak di alam azali dulu, yang selalu menarik-nariknya untuk kembali menemui Tuhannya, maka ia pun mulai mencari tempat berpegang, tempat bergantung, tempat meminta bantuan dan pertolongan. Dorongan kekuatan fitrah inilah kemudian yang membuatnya mulai mencari-cari PINTU agar ia bisa kembali menghadap dan bertemu dengan Tuhannya”.

 

“Siapapun juga ternyata akan melakukan hal yang sama ketika mereka mulai merasakan kepedihan di dalam hidup mereka. Begitu mereka ditimpa oleh kepedihan dan permasalah hidup, maka mereka mencari-cari dan menggapai-gapai menemukan pintu agar mereka bisa keluar dari permasalahan mereka.  Mereka baru ingat bahwa Allahlah sebenarnya yang bisa membantu mereka. Mereka akan berdoa lebih khusyuk. Cuma anehnya, begitu kepedihan mereka sudah hilang, masalah-masalah mereka sudah teratasi, maka kebanyakan merekapun kembali lupa dengan Allah. Itulah memang jalan cerita yang sudah dituliskan oleh Allah untuk sebagian besar umat manusia untuk terjadi dari masa ke masa. Itulah Fitrah manusia…”.

 

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan”,  (QS YUNUS:12)

 

“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih”, (QS HUD:9)

 

Bersambung

Read Full Post »

Ditengah-tengah pertanyaan-pertanyaan yang kembali menerobos alam pikirannya itu, ayahnya tiba-tiba berkata memecahkan keheningan saat itu:

 

“Kamu lihat bayi kecil yang sedang tertidur lelap dipangkuan ibunya itu”, kata ayahnya sambil menunjuk kepada seorang ibu yang sedang duduk di sebuah kursi tunggu di dalam sebuah mall yang besar. Dipangkuan ibu itu ada seorang bayi sedang tertidur lelap dengan tenang dan nyamannya.

 

“Sang bayi tidak pernah memikirkan apapun di dalam hidupnya. Mindanya tidak pernah berkocak walau apapun permasalahan yang menimpa dirinya. Saat ia merasa tidak nyaman, ia hanya tinggal semakin memeluk ibunya dengan lebih erat. Kalaupun ia bersuara, nada yang keluar hanyalah keluhan atau erangan ringan yang menandakan bahwa ada sedikit suasana yang berubah yang ia rasakan. Ia merasa tidak nyaman. Begitu jejari tangan ibunya menyentuh kepalanya dengan lembut, atau ibunya memeluknya dengan lebih ketat, atau ibunya cukup hanya sekedar berdesis “hush…, hush… huss”, ia kembali akan merasa tenang dan nyaman”. Respon ibunya itu sungguh membuatnya merasa aman dan damai, merasa tenteram.

 

“Ketika ia terbangun dari tidurnya, tapi masih dalam dekapan ibunya, dan matanya mulai memandang kesekelilingnya, sang bayi juga seperti tidak terpengaruh dengan apa-apa yang dilihatnya. Seakan-akan apa yang dilihatnya itu tidak teregistrasi di dalam mindanya. Rupa apapun yang dilihatnya, itu seperti tidak mengganggunya sama sekali. Andaikan disampingnya ada bayi lain dengan jenis kelamin yang berbeda, tidak ada sedikitpun nafsu syahwat kepada lawan jenis yang muncul di dalam mindanya. Andaikan saat itu ada orang yang memperlihatkan uang, emas, dan perhiasan yang sangat banyak di depan matanya, semua itu seperti tidak berpengaruh sedikitpun baginya. Tidak ada nafsu untuk memiliki harta dan perhiasan itu yang muncul di dalam hatinya”.

 

“Ia seperti bisa memandang dengan cara pandang yang lain dari pada pandangan orang dewasa. Kalau pada pandangan orang dewasa, apapun yang dia lihat didepan matanya, maka semuanya itu langsung masuk dan teregistrasi di dalam hatinya. Saat matanya memandang lawan jenisnya, maka lawan jenisnya itu langsung masuk kedalam hatinya dan menimbulkan nafsu syahwat kepada lawan jenis yang naik secara perlahan tapi pasti. Saat matanya memandang pada berbagai harta kekayaan dan perhiasan emas, maka harta kekayakan dan perhiasan emas itu langsung menempel di didalam hatinya sehingga memunculkan hawa nafsu untuk memilikinya dengan berbagai cara dan usaha”.

 

“Dari dua contoh yang ayah berikan itu, apakah kamu dapat membedakan KEADAAN hati antara seorang bayi dengan hati seorang dewasa?”, tanya ayahnya seperti tengah menyelidiki kepahamannya.

 

Ia terdiam dan mencoba mencari jawaban di dalam benaknya. Tapi ia tidak menemukan jawaban itu di dalam benaknya.

 

“Anak tidak tahu ayah”, katanya perlahan.

 

“Kamu coba perhatikan dengan baik:

 

Yang pasti adalah bahwa minda si bayi masih relatif KOSONG dari berbagai rupa, umpama, serta sampah dan sarap lainnya. Mindanya masih suci dan bersih seperti ketika ia baru dilahirkan. Sedangkan minda orang dewasa sudah sangat amat penuh dengan berbagai sampah dan sarap yang telah teregistrasi dan masuk ke dalam mindanya selama hidupnya yang sekian belas atau puluh tahun lamanya. Minda orang dewasa itu boleh dikatakan sudah penuh dengan bintik-bintik hitam akibat dosa-dasanya, atau mindanya telah menjadi kuning dan menjijikkan karena dibalut dan ditutupi oleh hawa nafsunya.

 

Karena si bayi itu mindanya masih kosong dari berbagai sampah dan sarap pikiran, maka tentu saja mindanya itu akan menjadi bersih, suci, dan bercahaya. Mindanya tidak berkocak sedikitpun seperti permukaan air laut yang sangat tenang ketika dilihat dari tempat ketinggian. Minda yang tidak berkocak itulah yang disebut dengan HATI YANG TENTERAM.

 

Kamu tentu masih ingat apa yang pernah Ayah ajarkan kepadamu bahwa hati yang Ayah maksud itu adalah hati yang halus yang terdiri dari tiga anasir, yaitu Minda, Penglihatan, dan Pendengaran. Hati yang halus itu tidak ada kaitannya sedikitpun dengan Hati jasmani yang terletak di dalam dadamu. Sebab hati yang halus itu bertempat di dalam benakmu membentuk minda, penglihatan, dan pendengaran.

 

Kamu tentu juga masih ingat wahai anakku, bahwa Hati yang halus itu akan berhubung kait dengan Ruhmu. Tenang atau tidaknya ruhmu itu sangat amat tergantung kepada keadaan dari hatimu itu. Kalau hatimu tenteram, maka ruhmu juga akan menjadi tenteram pula. Sebaliknya kalau hatimu bergolak dan kacau, maka ruhmu juga akan bergolak dan kacau balau pula.

 

Hati yang tenteram beserta dengan ruh yang juga ikut menjadi tenteram inilah yang disebut sebagai JIWA yang tenteram, Jiwa Muthmainnah. Karena Hati yang bersama dengan Ruh itulah yang disebut dengan JIWA atau NAFS”.

 

“Nah…, jiwa yang tenteram seperti jiwa seorang bayi inilah yang berkenan untuk dipanggil oleh Allah untuk kembali kepada-Nya dengan ridho dan diridhoi-Nya”, kata ayahnya dengan lebih tegas.

 

“Sekarang tentu kamu sudah dapat melihat persyaratan dari JIWA YANG TENANG ITU, yaitu orang-orang yang MINDANYA SUDAH KOSONG dari berbagai sampah dan sarap berupa ingatan-ingatan kepada segala sesuatu yang ada bentuk, rupa, dan umpama. Inilah persyaratan utama bagi Jiwa yang Tenteram. Mindanya harus kosong, sehingga hatinya juga otomatis menjadi kosong dari berbagai ISI berupa ingatan-ingatan akan bentuk, rupa dan umpama. Sebab ingatan-ingatan itulah yang kelak akan memberikan berbagai beban pikiran bagimu. Dan engkau akan selalu menjunjung beban pikiranmu itu dimanapun kamu berada dan kemanapun kamu pergi”.

 

Bersambung

Read Full Post »

 

HATI YANG KOSONG

 

“Anakku, pagi ini ayah akan bercerita kepadamu tentang makna sebenarnya dari istilah Pembersihan Jiwa, atau lebih dikenal orang sebagai Tadzkiyatunnafs. Tentu kamu pernah mendengar dan membaca tentang istilah itu bukan?”, tanya sang ayah kepada anaknya.

“Tentu saja ayah”, timpal sang anak dengan penuh semangat.

 

Buat sejenak dia seperti terlambung kembali kepada kenangan masa lalunya yang kala itu dia sangat getol melakukan berbagai proses yang kata guru-gurunya nya waktu itu adalah proses tadzkiyatunnafs. Dan ayahnya seperti tahu tentang apa yang sedang berkecamuk di dalam benak anaknya. Makanya ayahnya hanya diam saja sambil menyeruput secangkir kopi dan kudapan sepotong goreng pisang menunggu anaknya selesai melakukan proses seperti past life regresssion ke masa lalunya.

 

Betapa saat itu dia ingin sekali hatinya menjadi bersih dan suci seperti bersih dan sucinya hati seorang bayi. Sementara hatinya sendiri saat itu seperti dipenuhi dengan hawa nafsu yang selalu menarik-nariknya untuk berbuat fasiq. Dalam rentang waktu belasan tahun, berbagai cara telah ia lakukan, misalnya: dari cara-cara yang non agamis seperti meditasi cakra, meditasi pernafasan, dan meditasi-meditasi lainnya, sampai kepada cara-cara yang bersentuhan dengan agama Islam seperti membaca al quran, shalat-shalat sunnah, puasa senen-kamis, dzikir-dzikir ala tarekat “N”, Patrap 1-2-3 baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan, Uzlah dan menyepi ketempat yang jauh dari keramaian untuk beberapa lama, bahkan komunitas Shalat Khusyu yang saat itu kelihatan baginya sangat keren, juga dimasukinya dengan penuh semangat. Sebanyak itu proses tadzkiyatunnafs yang dia lakukan, dan sesering itu pula malah perbuatan fasiq yang mencuat kepermukaan jalan hidupnya. Seakan-akan proses yang dia lakukan itu hanya memberikan bekas perbuatan taqwa yang sangat sedikit, kalau tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali. Apalagi bekas taqwa yang permanen.

 

Ia seperti berjalan dari satu pintu kamar ke pintu kamar yang lain di dalam sebuah rumah yang lorong-lorong terhubung bak sebuah labirin. Memang setiap kamar itu ada fenomenanya dan keadaannya sendiri-sendiri. Ada memang hal-hal yang luar biasa yang dia alami di dalam setiap kamar rumah itu.  Ada fenomena baru, dan ada pula fenomena yang hanya berupa ulangan dari fenomena sebelumnya yang ada di dalam kamar yang lain.

 

Misalnya: ada fenomena getaran tubuh atau fisiknya yang bersentuhan dengan getaran-getaran yang ada di alam sekitarnya; ada getaran halus di dalam dadanya; ada perasaan bahwa dirinya, yang katanya itu adalah dirinya yang sejati, seperti bisa keluar dari badannya; ada perasaan dirinya yang berubah menjadi sangat luas dan tak terbatas; ada fenomena tenaga atau power yang seakan akan bisa dikontrol dan dikendalikannya; ada perasaan yang sangat nyaman dirasakannya di dalam shalatnya (akan tetapi diluar shalat, ternyata kenyamanan itu menghilang dengan cepatnya); ada perasaan bahwa hatinya, yang saat itu dia kira ada di dalam dadanya, bisa terhubung dan tersambung dengan Allah swt; dan sebagainya.

 

Semua yang dia alami itu kalau dilihatnya secara jernih lebih banyak kepada fenomena Mistiknya, daripada fenomena Ibadahnya. Sehingga yang dia cari adalah fenomena mistiknya itu, walaupun di dalam shalatnya sekalipun.

 

Yang lebih mengherankannya adalah bahwa fenomena-fenomena mistik yang dialaminya itu kalau dicarikan ayat Al Qur’an atau Al Hadist yang mendukungnya, ternyata ada pula. Cukup banyak malah.

 

Sungguh, dengan semua yang dilalui dan dialaminya itu, saat itu rasanya sudah finallah perjalanan pencariannya tentang jati dirinya. Namun ternyata dia belum merasa sampai di titik akhir perjalanan dan pencariannya. Masih ada satu FITRAH yang selalu bergejolak di dalam hatinya. Fitrah yang selalu membawanya ingin masuk ke dalam kenyataan atau realitas dari ayat Al Quran berikut ini:

 

Wahai Jiwa yang mutmainah (tenang), kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho dan diridhoi-Nya. Masuklah kedalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah kedalam surga-Ku“. (QS Al-Fajr 27-30)

 

Ayat inilah yang selalu membawanya untuk bertanya dan bertanya: Orang macam apakah gerangan yang disebut oleh Allah sebagai orang yang memiliki Jiwa yang tenang itu, Jiwa Muthmainnah, sehingga Allah berkenan memangilnya untuk datang dan kembali kepada-Nya dengan hati yang RIDHO dan diridhoi-Nya pula. Serta bagaimana pulakah karakter orang-orang yang dipanggil oleh Allah sebagai hamba-hamba-Ku itu. Sehingga jamaah itu dimasukkan oleh Allah ke dalam Syurga-Nya.

 

Pertanyaan itu demikian terngiang di dalam hatinya. Seperti ada sebuah kerinduan yang amat sangat yang menarik-nariknya untuk bisa kembali datang menghadap kepada Allah seperti saat pertama kali Allah menyatakan Diri-Nya kepadanya di alam azali dengan sebuah pertanyaan yang sangat fenomenal: “Alastu birabbikum, bukankah Aku ini Tuhanmu”, dan saat itu jiwa-nya menjawab dengan tanpa keraguan sedikitpun: “bala syahidnya, benar ya Allah aku bersaksi bahwa engkaulah Tuhanku”.

 

Tanya jawab singkat antara hamba dengan Tuhannya ini ternyata telah menimbulkan bekas yang sangat dalam dihatinya, bahkan bekas itu juga terjadi pada hati setiap manusia yang lahir. Bekas itu membentuk cahaya makrifat yang tersemat erat di dalam hati semua manusia. Cahaya ini tidak akan pernah hilang, walau hati manusia itu digelapkan oleh dosa-dosa seberat dan sebesar apapun. Cahaya inilah yang menari-narik hati setiap manusia untuk kembali untuk bertemu dan menyembah kepada Allah, Tuhan Yang Esa.

 

Cahaya inilah yang membuat setiap manusia selalu ingin mencari dan menemukan pintu untuk bisa kembali bertemu dengan Allah Swt. Apapun agamanya, apapun kepercayaannya, semua orang sebenarnya ingin bertemu dengan Allah Swt sebagai Tuhan mereka. Akan tetapi jalan ceritanya sudah ditulis sejak firman “kun”. Bahwa ada manusia yang sudah bisa menemukan pintu untuk kembali bertemu dengan Allah, dan ada pula manusia yang belum menemukannya dan masih sibuk mencari-cari pintu itu dengan berbagai cara dan metoda.

 

Seyogyanya, berbagai proses tadzkiyatunnafs yang telah dilaluinya itu akan membuahkan hasil berupa Jiwanya menjadi Tenang seperti yang dipersyaratkan oleh ayat diatas. Akan tetapi dia sendiri malah menjadi terheran-heran. Kenapa dia masih sangat sering gelisah dan selalu bertanya “kenapa dan kenapa” baik kepada orang lain maupun kepada Allah sendiri atas apa-apa yang dialaminya di dalam hidupnya.

 

Bersambung

Read Full Post »