“Sekarang dengarlah anakku, kamu itu bisa datang dan kembali kepada Allah dalam dua keadaan, yaitu datang dengan sukarela atau dengan dipaksa”.
“Ayah akan terangkan dulu kepadamu bagaimana datang kepada Allah itu dengan cara dipaksa. Namun sebelumnya jawablah pertanyaan ayah ini dengan jujur. Setiap kali kamu mengalami permasalahan apa yang kamu lakukan?”. Tanya ayahnya penuh selidik.
“Ananda berusaha MEMIKIRKAN masalah itu, lalu MEREKA-REKA apa penyebabnya, setelah itu ananda melakukan berbagai USAHA untuk keluar dari permasalahan itu”, jawab sang anak dengan penuh semangat.
“Bagus, kamu sudah melakukan apa yang disebut orang sebagai metoda ilmiah dalam menyelesaikan permasalahanmu. Akan tetapi bagaimana kalau permasalah kamu itu bukannya selesai, malah semakin hari menjadi semakin berat. Apa yang kamu lakukan?”.
“Ananda akan pikirkan dan renungkan berjam-jam, atau bahkan berhari-hari, bagaimana jalan keluar dari permasalahan yang Ananda hadapi itu. Atau Ananda akan MENCARI BANTUAN kepada orang lain yang ananda anggap bisa membantu Ananda dalam melihat permasalah yang Ananda alami dengan lebih baik. Ananda akan tanya orang-orang, Ananda akan membaca berbagai referensi atau pelajaran-pelajaran yang pernah Ananda dapatkan sebelumnya. Pokoknya Ananda akan BERUSAHA SEKUAT TENAGA mencari jalan penyelesaian masalah yang Ananda hadapi”, tambah sang Anak dengan berapi-api.
“Tambahan lagi Ayah, Ananda akan berdoa kepada Allah setiap habis shalat dan juga ketika pembukaan rapat dengan teman-teman Ananda untuk membahas permasalahan itu. Ananda selalu berdoa seperti itu”.
“Bagus, kita berhenti dulu membahas tentang bagaimana kamu menghadapi permasalahan hidup kamu. Ayah akan lanjutkan pertanyaan ayah tentang bagaimana kalau kami menghadapi SAKIT”.
“Kalau kamu tiba tiba sakit, misalnya kaki kamu terinjak batu kerikil, atau benda keras lainnya, atau bahkan paku, apa yang kamu lakukan?”.
“Ananda secara otomatis akan mengangkat kaki ananda untuk MENJAUH dari batu kerikil, benda keras, atau paku yang mengenai kaki Ananda itu, mungkin Ananda akan sedikit berteriak karena kaget. Setelah itu ya…, Ananda akan obati kaki Ananda kalau kaki itu luka. Setelah itu Ananda akan lebih berhati-hati lagi kalau berjalan, agar kejadian itu tidak terulang dimasa yang akan datang”.
“Sungguh logis sekali jawabanmu wahai anakku. Tetapi pernahkan kamu mengalami kesakitan yang sangat sakit dan berlangsung dalam waktu yang lama?. Duduk sakit, berdiri sakit, tidurpun sakit”.
“Pernah ayah. Ananda pernah merasakan sakit Asam Urat di kaki Ananda. Sakitnya terus menerus. Dipijakkan sakit, diangkat sakit, serba sakit yang tidak berhenti”.
“Bukankah kamu ingin segera menjauh dari kakimu yang sakit itu”, tanya ayahnya.
“Betul Ayah. Ananda seperti ingin pergi dan menjauh dari kaki Ananda yang sakit itu. Apa yang aneh dari itu Ayah?. Kan biasa saja itu?”, tanyanya dengan agak terheran-heran.
Ayahnya Cuma tersenyum mendengar pertanyaan itu. Lalu ayahnya bertanya lebih lanjut.
“Kamu tentu pernah kehilangan sesuatu yang sangat kamu cintai, yang sangat kamu harap-harapkan?”
“Tentu saja ayah, tapi…, kalau diceritakan disini tentu kurang elok Ayah”, katanya seperti memelas.
“Ya…, Ayah mengerti. Ayah cuma ingin tahu apa yang kamu lakukan ketika kamu mengalami peristiwa itu”.
“Ananda seketika itu juga mencoba memikirkan tentang kenapa permasalah itu datang kepada Ananda. Ananda bertanya-tanya, kenapa ibadah-ibadah dan doa-doa ananda selama ini seperti tidak ada artinya buat menghalangi cobaan yang Ananda alami itu”.
“Ananda bertanya-tanya: Kenapa ya Allah?, bukankah saya sudah begitu baik dalam beribadah, dan sebagainya. Berbagai pikiran seperti masuk membanjir minda Ananda”.
“Dengan mudah Ananda menetapkan bahwa Allah barangkali sudah tidak adil kepada Ananda. Atau mungkin saja Allah marah kepada Ananda. Dan akibatnya Ananda malah jadi tambah stress dan tidak bisa tidur memikirkannya”.
Kok bisa begitu ya Ayah?, tanyanya dengan penuh keingintahuan.
“Kamu nampak tak, bahwa ketika kamu menghadapi masalah seperti kehilangan sesuatu yang kamu cintai itu, sama halnya dengan ketika kamu mengalami sakit yang berkepanjangan dulu, kamu juga ingin lari dari masalah kamu itu”.
“Saat itu kamu seperti berusaha naik dan masuk ke dalam minda kamu. Kamu mencari kalau-kalau ada jawaban permasalahanmu itu di dalam mindamu itu. Engkau memikirkannya, engkau berharap agar beban yang membuatmu kepikiran terus bisa hilang lenyap. Bahkan saat itu engkau seperti bisa FOKUS berdoa meminta pertolongan kepada Allah”.
“Semakin berat permasalahanmu, maka kamu bisa semakin fokus dalam berdoa itu. Kamu seakan-akan ingin keluar dari dalam tubuhmu, keluar dari dalam dadamu yang terasa sempit, keluar meninggalkan segala permasalahanmu. Kamu juga memejamkan mata kamu dalam berdoa itu. Kamu bahkan seperti ingin keluar dari dalam kepalamu yang sedang dipenuhi oleh berbagai pikiran itu dan ingin naik keatas melampaui ubun-ubunmu. Dengan keadaan seperti itu, saat itu kamu juga merasa bahwa kamu seakan-akan bisa sangat dekat dengan Allah, sehingga kamupun lama-kelamaan menjadi agak tenang dan rileks. Bukankah begitu yang kamu alami?”, tanya ayahnya sambil tersenyum.
Ia tetap hanya diam saja, tidak menjawab. Tetapi ia sambil berusaha memahami keterangan Ayahnya yang ia heran seperti bisa membaca alam pikirannya.
Ia lalu teringat kepada pengarang-pengarang buku-buku populer yang pernah ia baca. Misalnya, Eckhart Tolle (ET), pengarang buku “The Power of Now”, yang konon bukunya sangat terkenal di seluruh dunia. ET menulis tentang bagaimana ia bisa keluar dari “kepedihan psikologis” selama bertahun-tahun dan menemukan kenyataan bahwa semua permasalahannya itu ternyata hanyalah bermuara di dalam pikirannya. Pada puncak penderitaan dan kepedihannya, ia ingin mati atau bunuh diri. Akan tetapi saat ia merasa sangat tidak berdaya, sangat tidak bisa berpikir, maka saat itu pulalah ia seperti terlepas dari pikirannya. Ia seperti berada pada suatu keadaan yang ia sebut sebagai waktu sekarang, NOW. Ia malah seperti mendapatkan pencerahan di puncak kepedihan psikologisnya itu. Saat ia sudah tidak merasa punya harapan, tidak punya tempat bergantung lagi. Lalu ia tertidur dalam kelelalan psikologis. Dan dalam masa itulah ia seperti bisa terbebes dari segala permasalahannya.
Prof. Dr. Hamka pun, di puncak penderitaan Beliau saat Beliau dipenjara, malah Beliau berhasil menulis tafsir yang sangat fenomenal, yaitu Tafsir Al Azhar. Begitu juga dengan para penemu dalam bidang science dan teknologi, umumnya mereka adalah orang-orang yang tidak dihargai, dilecehkan, dan dipandang sebelah mata oleh lingkungan mereka. Tetapi dalam kepedihan mereka itu, mereka malah menemukan hal-hal baru yang akan mengubah peradaban manusia.
Begitu juga dengan berbagai tradisi ilmu beladiri, kesaktian, perdukunan, dan motivator-motivator terkenal lainnya, mereka juga pada permulaannya kalau tidak mengalami penderitaan psikologis yang panjang, atau bisa pula melalui proses penyiksaan dan menyakiti diri sendiri dengan berbagai cara dan metoda latihan kanuragan ataupun dzikir-dzikir dalam waktu yang lama, dan di tempat-tempat yang jauh dan sulit untuk dicapai. Untuk mendapatkan ilmu-ilmu itupun, dikabarkan seorang murid juga harus mau diperlakukan oleh gurunya sedemikian rupa sehingga sang murid benar-benar merasa sudah tidak punya harga diri dan merasa sangat tidak berdaya dihadapan gurunya itu. Setelah itu barulah ia diberikan ilmu-ilmu, tapi sebatas ilmu yang menurut gurunya masih bisa menjaga marwah gurunya didepan muridnya itu. Tepatnya, tidak semua ilmu dari guru itu yang diturunkannya kepada muridnya.
Bahkan peristiwa bencana alam, peperangan, kecelakaan, pembunuhan, kematian, dan sebagainya, banyak pula yang menjadi awal titik balik bagi seseorang untuk menjadi lebih baik lebih beriman, lebih sabar, dan lebih berkasih sayang dari yang sebelum-sebelumnya.
Ia seperti melihat suatu kesamaan pola yang entah apa itu namanya. Ada permasalahan berat, ada cobaan, ada penderitaan, ada kepedihan psikologis, ada ketidakberdayaan, ada ketidakmampaun berpikir dan berlogika, lalu pada puncaknya ada orang yang bisa mendapatkan pencerahan, ada juga yang bisa menjadi pingsan ditengah ketidak berdayaannya, dan ada pula yang bisa langsung meninggal karena tubuhnya sudah tidak sanggup lagi untuk mengatasi penderitaannya itu.
Matanyapun berbinar mengingat kesamaan pola-pola tersebut, lalu ia bertanya kepada ayahnya:
“Kalau begitu Ayahanda, apa hubungnya antara permasalahan yang sangat berat, bencana alam yang bertubi-tubi, peperangan yang menyebabkan tekanan kepedihan psikologis yang sangat besar, dan penyiksaan fisik, dengan pencerahan yang sepertinya datang pas saat-saat mereka berada pada posisi sangat berputus asa dan merasa tanpa harapan sedikitpun?”, tanyanya kepada Ayahnya dengan penuh antusias.
Bersambung