Waktu itu ahad tanggal 21 Mei 2006, jam 03:15 pagi waktu Cibubur. Saya dibangunkan kembali dengan mesra oleh Sang Maha Meliputi dari tidur saya yang hanya sekita 3 jam. Pagi itu adalah hari kedua saya bersama sahabat-sahabat saya dari hampir seluruh pelosok Indonesia yang berjumlah 300 orang berkumpul di Cibubur dalam rangka TOT (training of Trainers) pelatihan shalat khusyu’. Acara tersebut langsung dipimpin oleh Ustadz Abu Sangkan.
Pada hari pertama, sabtu, acara molor sampai dengan jam 23:00 malam, dan kemudian dilanjutkan lagi dengan diskusi ringan bersama dengan beberapa orang teman saya. Sehingga sekitar jam 24:00 barulah saya bisa masuk ke kamar penginapan sederhana yang ada di bumi perkemahan Cibubur itu.
Kesan saya pada hari pertama tersebut masih biasa-biasa saja. Cuma ada alunan musik yang dibawakan oleh sekelompok anak muda yang lirik, iramanya dan dayanya agak sedikit menyentakkan kesadaran saya.
Namun pada minggu pagi tersebut, tiba-tiba saja menyadari seperti ADA yang mengalirkan kesadaran kedalam diri saya. Dengan kesadaran itu saya menjadi seperti bisa melihat, mendengar, bergerak, dan juga “tahu” tentang keadaan saya dan sekeliling saya. Lalu saya perhatikan lagi…, ada daya kehendak yang mendorong saya untuk segera mandi dan berwudhu untuk kemudian daya itu mendorong saya pula agar saya segera ke aula tempat dimana acara TOT itu dipusatkan.
Di aula tersebut saya menyadari bahwa mata saya seperti dialiri rasa melihat sehingga saya bisa melihat puluhan atau mungkin ratusan orang sedang tunduk, sedang sujud, sedang berdiri dengan tadarru’ dalam sebuah ritual shalat tahajud yang mereka lakukan sendiri-sendiri. Ya…, mereka secara sendiri-sendiri sedang melakukan dialog dengan Tuhan mereka.
Saya didorong untuk mengamati sejenak suasana masing-masing orang yang sedang berada diruangan itu. Ada yang tersujud lama seperti enggan untuk bangun kembali, ada yang sedang terisak-isak dalam rukuknya yang panjang, ada yang sedang berdiri tenang seperti tengah menghadap kepada Wajah yang sangat dihormatinya, dan ada pula yang tengah duduk tertunduk diam dengan mata bersimbah air mata. Namun saat saya amati puluhan dada tersebut, ada sebuah kesamaan diantara kesemua mereka itu. Dada mereka tengah berguncang hebat dalam kerendahan hati tiada tara. Dada mereka sedang meleleh luruh dalam ketiadaan.
Lalu saya seperti di dorong pula berdiri untuk shalat tahajud barang dua rakaat, dan kemudian witir satu rakaat. Suasana shalat sayapun hanya seperti yang biasa saya lakukan saja. Ada suasana ketundukan, ada suasana kerendahan hati yang sudah tidak memunculkan tangisan lagi. Dan setelah itu saya tenggelam dalam aktifitas rohani untuk mengamati dan merasakan suasana-suasana yang sedang mengalir kedalam dada-dada hamba yang tengah asyik dengan Tuhannya. Waktupun menjalar dengan pasti menuju fajar.
Sekita jam 04:35, saya berdiri untuk menyuarakan Azan subuh. Saya berdiam diri sejenak, saya tundukkan lagi hati saya serendah-rendahnya sambil mohon izin kepada Allah, yang kalau dibahasakan dalam kalimat-kalimat adalah:
“Ya Allah…, izinkan saya mengundang hamba-hambamu untuk datang menghadap-Mu dalam shalat subuh ini, izinkan saya mengundang semuanya untuk mereguk kebahagiaan.
Ya Allah…, sebenarnya Engkaulah yang tengah mengundang hamba-hamba-Mu untuk datang kepada-Mu dalam shalat ini. Engkau hanya meminta saya untuk menyiapkan lidah saya, menyiapkan kerongkongan saya, menyiapkan paru-paru saya untuk Engkau aliri dengan Kehendak-Mu memanggil-manggil umat manusia agar mereka mau menuju bahagia”.
Lalu saya arahkan kesadaran saya kepada Allah, Sang Maha Besar. Dan kemudian meluncurlah kesaksian saya dalam bentuk kalimat:
Allahu Akbar…, Allahu Akbar….!.
Allahu Akbar…, Allahu Akbar….!.
Nada suara saya dalam kalimat takbir tersebut tidak tinggi dan tidak rendah, tidak cepat dan tidak lambat, juga tidak banyak cengkokan yang mendayu-dayu. Tapi saya merasakan adanya kebeningan dalam suara saya itu. Sebening suasana yang tiba-tiba merambat memasuki dada saya dan dada-dada teman yang lainnya. Isakan lirih dan satu-dua tetes airmata peserta mulai ada menetes.
Lalu saya hadapkan wajah saya ke Wajah, Sang Maha Besar, dan saya ungkapkan kesaksian saya dengan kalimat:
Asyhadu an laa ilaha illallah…
Asyhadu an laa ilaha illallah…
Lalu mata saya meleleh…, lalu mata peserta meleleh…, lalu mata alam semesta meleleh…
Kemudian saya ungkapkan kesaksian saya bahwa ternyata apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah adalah benar, apa-apa yang diberi tahu Rasulullah adalah benar. Wahai saudara-saudaraku, benarlah Beliau adalah Rasul Utusan Allah…, Sungguh…!. Karena saat kita bersaksi terhadap Tuhan dihadapan Tuhan sendiri, ternyata Tuhan menyambut dan membalasnya dengan sangat mesra: benar wahai hamba-Ku…!!!, laa ilaha illa ana…, dan Muhammad adalah Rasul-Ku. Maka sayapun buru-buru mengiyakannya dalam sebuah kalimat persaksian, benar ya Allah…, Muhammad adalah Rasulullah:
Asyhadu anna Muhammadan rasulullah…
Asyhadu anna Muhammadan rasulullah…
Gumpalan kebahagian mulai menyelinap memenuhi dada saya. Karena saya bersaksi kepada Tuhanku tentang Diri-Nya Sendiri, dan kemudian bersaksi pula dihadapan Tuhan bahwa memang Muhammad adalah Rasulullah, Utusan Tuhan…!.
Dan…, subhanallah, ternyata kebahagian itu bukanlah hanya milik saya sendiri. Para peserta juga mulai merasakan kebahagiaan itu mengalir dalam isakan tangis mereka yang bersahutan-sahutan. Bahagia itu mengalir deras…, mengalir mengisi lorong-lorong hati kami yang selama ini kadang masih saja membeku, walau sudah berkali-kali di ingatkan oleh Allah : Nikmat-Ku yang bagaimana lagi yang ingin kalian mendustakannya…!.
Lalu kuteriakkan dengan lembut dan mesra:
Hayya ‘alashshalah…
Hayya ‘alashshalah…
Hayya ‘alal falah…
Hayya ‘alal falah…
Mari wahai sahabat-sahabatku…, kita shalat bersama-sama, kita rukuk bersama-sama, kita sujud bersama-sama dihadapan Tuhan. Karena di dalam rukuk itu ada bahagia, disaat sujud itu ada bahagia, Sekali lagi…, di dalam shalat itu nanti ada bahagia yang melebihi bahagia apapun juga, bahkan lebih bahagia dari tidur…
Asshalatu khairum minan naum…
Asshalatu khairum minan naum…
Dan semua pesertapun siap-siap untuk bermandikan bahagia…
Allahu Akbar…, Allahu Akbar…!.
laa ilaha illallah…!.
Sungguh Allah Sang Maha Besar…, tiada lagi sumber bahagia yang melebihi-Nya … !.
Lalu saya dan sahabat-sahabat saya menyiapkan diri untuk shalat berjamaah dengan sebaik-baiknya. Sebagai pembuka suasana, kami masing-masing memulainya dengan shalat sunnah fajar dua rakaat. Masing-masing kami mencoba untuk menggali lebih kuat lagi bahagia yang tadi telah mulai masuk menjalar di dalam dada kami. Sungguh pribadi sekali shalat ini rasanya…
Selang berapa saat…, ada sentuhan lembut di pundak saya…. Saya menengok, dan ternyata sahabat dan guru saya Abu Sangkan mempersilahkan saya untuk menjadi imam shalat shubuh berjamaah. Saya mencoba menolaknya dan mempersilahkan beliau yang jadi imam. Tapi dengan lembut beliau mendorong dan mempersilahkan saya untuk jadi imam.
Beliau lalu iqamat…!. Lembut sekali…, dan dahsyat sekali.
Setelah meluruskan wajah saya ke Wajah Allah, lalu saya puja kebesaran-Nya yang meluas meliputi segala apapun juga.
Allahu Akbar…,
Dan suasanapun mulai berubah. Ada rasa bahagia dan haru yang mulai datang menyelimuti dada saya, menyelimuti otak saya, menyelimuti semua yang ada diruangan itu, bahkan menyelimuti seluruh bumi dengan segala isinya. Baru beberapa ayat saja dari surat al fatihah yang saya baca dihadapan-Nya, tiba-tiba saja mata saya sudah meleleh, telinga saya sudah meleleh, otak saya sudah meleleh, dada saya sudah meleleh, suara saya sudah meleleh, bahkan nafas saya juga ikut-ikutan meleleh. Ruangan shalat itu seperti dipenuhi oleh lelehan diri-diri lainnya dalam sebuah gerak harmoni shalat yang menggetarkan seluruh sendi-sendi tulang.
Sebuah selimut getaran keheningan yang pekat menyapa, membawa, dan menarik-narik kesadaran saya untuk merunduk-rundukkan wajah kepada-Nya. Satu dua ayat keluar dari mulut saya dengan agak tertahan, tergetar, dan kadang nyaris hanya berupa keluhan saja. Ya…, saya mengeluhkannya nyaris dengan diam
Iyyaka na’budu wa iyya kaa nasta’iin…
“Duh Tuhanku…, Tuhanku…, tuntun saya melalui persembahan ini”, ungkap saya dengan suara yang tergetar. Dan ternyata keluhan saya itu mampu pula menembus jiwa sahabat-sahabat saya yang juga tengah berenang dalam lelehan dirinya masing-masing.
Tiba-tiba, saat membaca ayat: “Huwaaj tabakum wama ja’ala ‘alaikum fiddiini min haraj”, saya begitu bahagia. Karena Allah telah memilih saya dengan tidak memberatkan agama bagi saya. Agama yang tidak menyisakan sedikitpun kesempitan didalamnya. Agama Nabi Ibrahim. Saya begitu berbahagia saat Allah berkenan memanggil saya santun sekali dengan sebutan “wahai muslimin…”, “Hua samma kumul muslimina min kablu”, sungguh mesra sekali. Seperti juga Dia telah memangil umat-umat terdahulu yang sangat Dia cintai dengan sebutan tersebut. Kebahagian yang amat sangat tambah mengalir deras di dalam dada saya saat saya menyadari bahwa Rasulullahpun ternyata berkenan untuk menjadi saksi atas diri saya, “wafi haadza li yakunarrasuulu syahidan ‘alikum…, ‘alakum…, ‘alikum, bagimu semua wahai muslimin…!”. Dan sayapun lalu menyiapkan diri saya untuk menyampaikan kesaksian saya ini kepada segenap manusia, siapapun juga: “wataku nu syuhadaa a ‘alan naas…”.
“Aqiimushshalah…, dirikanlah shalat wahai sahabat-sahabatku, wahai seluruh umat manusia, dirikanlah…!!”. Lalu : “wa aatuzzakah…”, dan tunaikanlah zakat…!. Sungguh pada keduanya itulah ada bahagia yang teramat sangat.
Agar bahagia itu tidak buru-buru pergi menghilang dari dada saya, maka buru-buru saya memegang Tuhan dengan teguh, Saya berpegangan dengan kuat kepada Sang Perkasa. Lalu saya ajak pula peshalat lainya untuk memegang teguh Allah, jangan sampai lepas lagi, “wa’tashimu billah…”. Karena ternyata memang hanya Allahlah yang mampu melindungi dan menolong kita. “Hua maulakum…, fani’mal maula wani’man nashiir…”. Sungguh…, Dia sajalah Sang pelindung dan penolong kita yang terbaik. (al Hajj 78)
Ya waalii…, ya waalii…, Wahai Wali-ku, Wahai Pemimpin-ku, Wahai tempatku berwakil.
Saya terdiam sejenak…, tuma’ninah, mungkin itu hanya barang sehirupan nafas lamanya. Akan tetapi dalam waktu sesingkat itu, saya ternyata tengah dipahamkan oleh Allah, yang kalau dirangkai menjadi kalimat-kalimat masih saja sangat jauh dari suasana dan keadaan yang sebenarnya:
“Kau lihatlah nafasmu wahai hamba-Ku. Lihatlah…, begitu patuh dan penurutnya dia kepada-Ku. Ku-kuncupkan paru-parumu sehingga udara bisa keluar dari dalamnya. Dan lihatlah pula, Aku juga yang mengembangkan paru-parumu itu kembali agar dzat kehidupanpun, oksigen, bisa masuk kedalamnya. Andaikan Aku menahan dan memegang paru-parumu itu barang beberapa saat, tidak ku izinkan paru-parumu kembali menguncup dan mengembang, tepatnya tidak Ku-kuncupkan dan tidak Ku-kembangkan, maka saat itulah kau baru sadar bahwa sebenarnya Aku lah yang menggerakkan nafasmu itu dengan rahmat-Ku.
Cobalah perhatikan…, betapa patuhnya nafasmu itu kepada-Ku. Dan lihat pulalah…, betapa sibuknya Aku beraktifitas mengaturnya. Mengatur nafas seluruh umat manusia.
Cobalah kau wahai hamba-Ku untuk patuh seperti patuhnya nafas itu…!. Rukuklah wahai hamba-Ku…, Rukuk kepada-Ku saja…!!, jangan rukuk kemana-mana, Warka’uu rabbakum…!”.
Lalu saya amati nafas saya. Ah…, betapa patuhnya sang nafas saya mengikuti kehendak dari Sang Penggeraknya. Betapa merendahnya sang nafas dihadapan Tuhan. Sang nafas saya sudah ikut kehendak Tuhan dengan rela dan ridha selama bertahun-tahun lamanya. Sebuah kepatuhan total.
Sayapun merunduk malu…, lalu saya mencoba menyelaraskan kesadaran saya dengan pergerakan nafas saya. Begitu lembut nafas itu, begitu teratur nafas itu, begitu luas nafas itu…, seluas alam semesta. Dan dengan merendah-rendah sayapun ikut bersama alam semesta untuk rukuk kepada-Nya. Sayapun tunduk dan diam…
Suhnanallah…, subhanarabbiyal ‘adhzim…, ternyata alam semesta beserta semua isinya hakekatnya tunduk dan rukuk di hadapan Tuhan Yang Maha Agung. Semua meleleh dihadapan Tuhan, semua bersandar kepada Tuhan, semua berada dalam genggaman gerak tangan Tuhan. Dan…, sebenarnya saat itu juga saya ingin terus tunduk yang dalam melalui sebuah sujud persembahan kepada Tuhan. Saya ingin sujud merendah dan mendekatkan diri di hadapan Wajah Tuhan. Sungguh… saya ingin… sujud !. Tapi dengan sangat terkejut saya menyadari bahwa masih ada bersit-bersit kesombongan yang menyelimuti dada saya. Masih ada angkuh yang bergelantungan di dalam dada saya itu, melambaikan tangan agar saya mengikutinya. Patutkah diri dengan dada yang sombong dan angkuh ini sujud dihadapan Tuhan…!. Tidak…!. Tidak patut.
Lalu sayapun kembali berdiri…, merendah-rendah menghadapkan wajah saya ke Wajah-Nya, dan bergumam dengan tadarru’: “Rabbana laka al hamdu…, Duh Tuhan-ku, milik-Mu semua pujian ini, milik-Mu semua kesombongan dan keangkuhan ini. Bahkan pujian yang seluas langit dan bumi dan yang lebih dari itupun adalah milikmu..!. Milikmu…!, laka.., laka al hamdu… mil ussamawati wamil ul ardhi wamil umaa syi’ta min syaiin ba’du…!..
Biasanya…, walau selama ini saya sudah berkali-kali mengucapkan ungkapan penyerahan seperti ini di dalam shalat saya, akan tetapi tetap saja masih ada rasa sombong dan angkuh itu tersisa di sudut-sudut dada saya…!.
Namun di seujung waktu fajar ini, saya seperti dipahamkan bahwa sebenarnya tidak ada seorangpun yang diizinkan Allah untuk sujud kepada-Nya selama dia masih memendam kesombongan dan keangkuhan. Ya…, sujud kepada Allah bukanlah untuk orang-orang yang angkuh dan sombong. Tidak…, karena kesombongan itu adalah selendang Allah..!.
Lalu…, andaikan si manusia yang angkuh dan sombong itu masih memaksakan diri untuk sujud kepada Allah, maka hasilnya sungguh memiriskan hati. Orang tersebut dengan sangat mengejutkan akan mendapatkan amunisi (daya) yang sangat hebat untuk bisa menjadi lebih sombong dan angkuh dihadapan sesama manusia. Sehingga hasilnya adalah kesengsaraan dan penderitaan bagi orang lain.
Misalnya…, saat dia menjadi pemimpin, maka hasilnya adalah pemimpin yang menyengsarakan rakyatnya sendiri, dan juga menghancurkan apa-apa yang dia pimpin. Saat dia menjadi rakyat jelata, maka dia hanya akan mementingkan dirinya sendiri. Saat dia menjadi ilmuan, maka ilmunya itu tidak mampu mewujudkan rahmat dan kesejahteraan bagi sesama umat manusia. Bahkan saat dia berdo’a, maka do’anya itu juga hanya untuk memuaskan dirinya sendiri.
Suasana seperti ini sangat mirip, kalau tidak mau dikatakan sama, dengan hasil yang diraih oleh iblis. Iblis sujud dan tunduk kepada Allah…, tapi dia membawa kesombongannya terhadap Adam. Saat mau sujud, iblis masih membawa pengakuannya: “Aku lebih baik dari Adam…, Ya Rabbi… beri saya daya dan kekuatan agar saya bisa menyesatkan Adam dan keturunannya yang telah Engkau mulyakan. Padahal Adam hanyalah dari tanah, sedangkan saya Engkau ciptakan dari api…!”, ungkap iblis dalam kesombongannya. Ya…, iblis sujud kepada Allah di dalam keangkuhan dan kesombongannya terhadap Adam.
Dan hasil dari sujudnya iblis dalam kesombongannya itu kepada Tuhan sungguh menakjubkan. Dia seperti mendapatkan daya tiada habis-habisnya untuk menyesatkan umat manusia. Sehingga kebanyakan manusia menjadi tertatih-tatih dalam menghadapi gempuran iblis. Umat manusia seperti selalu dibuat was-was oleh iblis agar bisa menjadi orang-orang yang sombong pula seperti sombongnya iblis terhadap Adam. Lalu hasilnya bisa kita lihat: Si A merasa dan mengaku lebih baik dari si B. Begitu juga si B merasa lebih baik dari si C. Dan seterusnya begitu. Sehingga setiap orang kemudian merasa lebih baik dari yang lainnya. Lalu orang yang saling merasa lebih baik itu akan saling sikut sana sikut sini…, Subhanallah…, dahsyat sekali akibatnya.
Tapi anehnya…, semua orang tahu itu. Bahwa kita tidak boleh sombong, bahwa kita tidak boleh angkuh saat berhadapan dengan siapapun juga. Kita tahu persis tentang larangan itu…!. Namun dengan sangat mengherankan kita seolah-olah tak berkutik untuk menolaknya. Disana-sini kita masih saja dialiri oleh rasa angkuh dan sombong itu. Setiap kali kita berusaha untuk menghilangkan kesombongan itu, ee… yang muncul malah kesombongan-kesombongan kita berikutnya. Bagaimana kita akan bisa menghilangkan kesombongan dan keangkuhan itu, wong semuanya itu adalah anugerah yang memang diberikan Allah khusus buat kita umat manusia ini.
Aneh memang…, disatu sisi kita dilarang untuk sombong dan angkuh, karena angkuh dan sombong itu adalah selendang Allah. Akan tetapi disisi lain kita diberikan anugerah pengakuan oleh Allah yang memberikan ruang bagi kita untuk saling merasa sombong dan angkuh satu sama lainnya. Ah…, bagaimana ini ???…
Lalu saya dipahamkan Allah, bahwa hanya Allahlah yang bisa mengambil kesombongan itu dari dalam dada kita dan kemudian menggantinya dengan rasa rendah hati…!. Sekali lagi saya merendah dihadapan Tuhan. “Rabbana laka al hamdu…”, lalu saya diam sejenak.
Dengan seketika saya menyadari bahwa dada saya secara perlahan meleleh, mata saya meleleh, hidung saya meleleh, jantung saya meleleh, tulang saya meleleh, semua meleleh. Dan tiada lain yang dapat saya lakukan kecuali hanya merunduk, saya sujud, saya merendah, saya mendekat kepada Tuhan saya. Wasjud… waqtarib…. Ya…, saya sujud kepada Tuhan saya. Sujud…!.
Buat sesaat saya tidak mau berkata-kata, saya hanya diam dalam sebuah liputan suasana yang sungguh menggetarkan. Lalu dengan tadarru’, saya mencoba memuji Wajah-Nya. Tapi yang keluar hanya sebuah keluhan pendek, hahh…!, saat saya dibawa keruangan yang rendah tak terkira. Disana hanya ada segala sesuatu yang meleleh. Lelehan itu mengalir bersama air mata saya ditengah kebahagian saya memandang Wajah Allah yang sangat mempesona. Sungguh sujud ini merupakan sujud termanis yang pernah saya alami.
Dalam kekaguman itu, saya puja Wajah-Nya dengan santun dan lembut. “Subhanaka…, Subhanarabiyal a’la…”, puja saya kepada-Nya berulang kali. Sampai akhirnya Dia berkenan menyambut pujaan saya itu dengan Gagah Perkasa dan penuh Keangkuhan pula: “subhani…, subhani…, memang Aku sajalah sang Maha Suci. Mintalah kepada-Ku, wahai hamba-Ku…, mintalah kepada-Ku niscaya Aku akan meresponnya…!. Iblis saja kalau berdo’a kepada-Ku Aku kabulkan, apalagi engkau wahai hamba-Ku. Karena memang Aku adalah Sang Maha Merespon Doa…. Mintalah…!”.
Lalu saya bersimpuh saja duduk dihadapan-Nya. Saya sampaikan sepatah dua patah do’a yang muatannya sangat pribadi sekali. Hanya saya dan Allah sajalah yang tahu apa muatan do’a saya itu. Dan hanya saya dan Allah jugalah yang tahu apa jawaban dan respon Allah atas do’a-do’a singkat saya tersebut. Hanya saja ada sebuah kebahagian yang teramat sangat yang mengalir di dalam dada saya, saat menyadari bahwa ternyata sekarang saya punya Tuhan Yang begitu mempesona, Tuhan Yang begitu mendengarkan dan merespon do’a-do’a saya.
Hal ini sungguh beda sekali dengan do’a-do’a saya diwaktu yang lalu. Dulu, saat saya bermohon agar diampuni Allah, saya hampir tidak pernah merasakan apa respon Allah atas do’a saya itu. Saat saya mohon dirahmati Allah, saya hampir tidak pernah merasa pasti rahmat seperti apa yang diberikan Allah kepada saya. Saat saya mohon diberi hidayah pengetahuan, diberi rezki, di beri kesehatan, diberi ketinggian derajat, diberi maaf, sungguh saat itu saya hampir saja tidak merasakan apakah Allah meresponnya atau tidak. Do’a saya dulu itu seperti do’a yang ditujukan kepada benda mati. Tiada “rasa berbalas” sedikitpun yang bisa saya tangkap.
Tapi di dalam shalat saya di pagi ahad itu, rasa berbalas itu gelombang demi gelombang datang mengaliri dada saya. Membahagiakan sekali. Setiap kata puja, puji, do’a, dan harapan saya direspon Allah dengan kecepatan yang sangat mengagumkan. Bahkan respon Allah lebih cepat dari apa-apa yang saya lakukan. Mengagumkan sekali. Saat saya hanya datang memuja-Nya sejengkal, Dia membalas puja saya itu sehasta. Saat saya berjalan mengantarkan puji dan harapan, Dia membalasnya dengan berlari. Lebih cepat Dia dalam membalasnya. Sehinga tiada lain yang bisa saya lakukan, kecuali hanya mengulangi lagi menyembah-Nya dalam sujud saya. Mengulang lagi berdiri merendah dihadapan Wajah Tuhan, ruku, sujud, berdo’a, dan sujud kembali di rakaat yang kedua.
Walaupun rakaat kedua hanya pengulangan-pengulangan gerak dan do’a seperti rakaat sebelumnya saja, akan tetapi suasana yang muncul tidaklah membosankan. Malah intensitas suasana yang muncul meningkat saat demi saat.
Dipenghujung shalat subuh itu, saya dipahamkan tentang sebuah perosesi hubungan mesra antara hamba dengan Tuhannya dan keakraban berbalas do’a antara sesama hamba Tuhan dihadapan Tuhan sendiri.
Segala kehormatan, keberkahan, kebahagiaan dan kebaikan, adalah bagi Allah…
Dalam posisi ini, kembali lagi saya didudukkan dalam posisi menyadari penuh bahwa segala anugerah yang mengalir kedalam dada saya, kedalam dada alam semesta adalah semata-mata Anugerah Wajah Yang Sangat Terhormat, Wujud yang berkelimpahan Berkah, Diri Yang dari-Nya segala Kebahagiaan dan kebaikan. Dialah Allah…
Semoga keselamatan tetap bagimu, wahai Nabi, demikian juga rahmat Allah serta berkahnya buatmu…
Semoga keselamatan juga tetap bagi kami dan bagi hamba-hamba Allah yang shaleh…
Inilah posisi saling mendo’akan antar sesama jiwa-jiwa yang sedang berenang di samudera luas ketenangan yang Allah telah berkenan memanggil semuanya kesisi-Nya. Irji’I ila rabbiki radhiyatam mardiyyatan, fad khulii fi I’badii, wad khuli jannatii….
Dan kemudian jiwa-jiwa tersebut bersama-sama pula untuk saling mengungkapkan kesaksian bahwa: Bukankah INI Allah kita wahai jiwa-jiwa yang tenang…?. Lalu bergemuruhlah pembenaran akan adanya suasana saksi menyaksikan antara hamba dan Tuhan:
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Engkau ya Allah…
Dan langkah berikutnya, atas segala yang saya alami dan saksiakan, maka tidak mungkin tidak bagi saya untuk tidak mengungkapkan kesaksian saya atas kebenaran Muhammad sebagai Rasul Allah:
Aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul-Mu…
Lalu saya lanjutkan saja permohonan saya kepada Allah untuk Nabi Muhammad dan keluarganya, serta untuk Ibirahim dan keluarganya;
Wahai Allah, Salam sejahtera buat Muhammad…, dan salam sejahtera pula buat keluarga Beliau…
Sebagaimana Engkau juga telah memberikan keselamatan dan kesejahteraan kepada Ibrahim dan keluarganya…
Dan berilah berkah kepada Muhammad berserta keluarga Beliau, sebagaimana Engkau juga telah berikan berkah kepada Ibrahim beserta keluarga Beliau di penjuru alam semesta…
Sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia…
Dan selanjutnya kita tinggal saling menebarkan kesejahteraan, rahmat, dan berkah saja lagi antara satu sama yang lainnya…
Assalaamu’alakum Warahmatullahi wabarakaatuh…, Ini kuberikan buatmu keselamatan, rahmat, dan berkah dari Allah yang ada padaku…!!!.
Assalaamu’alakum Warahmatullahi wabarakaatuh…, Ini kuberikan buatmu keselamatan, rahmat, dan berkah dari Allah yang ada padaku…!!!.
Assalaamu’alakum Warahmatullahi wabarakaatuh…, Ini kuberikan buatmu keselamatan, rahmat, dan berkah dari Allah yang ada padaku…!!!.
“alaikum…, ‘alaikum…, ‘alaikum…, untukmu…, untukmu…, untukmu…!.
Lalu keselamatan, rahmat dan berkah Tuhan itupun bergemuruh memenuhi setiap titik sudut kehidupan untuk kemudian menyapa diri-diri yang mau saling membuka tangannya, yang mau saling membuka otaknya, yang mau saling membuka dadanya, yang mau saling membuka jantungnya untuk menerima semua kucuran anugerah Tuhan itu…
Rahmatan lil ‘alamin saja sebenarnya …!.
Lalu seiring dengan dzikir matahari, bumi, burung-burung dan tetumbuhan, saya dan anak saya, Karima, duduk di sebuah gazebo yang ada di taman pinggir danau cibubur. Sementara itu teman-teman yang lainnya melakukan olahraga jalan pagi dalam suasana sadar penuh kepada Allah. Dan saat itulah saya diingatkan dan dipahamkan kembali tentang sebuah pemahaman yang dulu di tahun 2002 sangat sulit untuk saya pahami. Tapi pada di pagi ahad tersebut, saya hanya dibuat tersenyum lapang dalam kepahaman tentang:
ANCAR-ANCAR 27 MACAM
1. Tidak ada apa-apa kecuali hanya Diri dengan Rasa. (Rasa itu tanpa batas bilangan dan uraiannya, sedangkan Diri: satu yang tetap abadi). Diatas itu, maksudnya lafal: Laailaaha illallah, Muhammad rasulullah.
2. Kalau si Dadap disentuh, hanya si Dadap sendiri yang merasakan, si Waru dan si Suta tidak ikut merasakan, dan seterusnya. Namun yang demikian itu jangan menjadikan anggapan terhadap adanya Pribadi dua atau tiga. Misalnya: kalau seseorang disentuh jarinya, ya hanya jarinya yang berasa, anggota badan yang lain tidak ikut merasakan, dan seterusnya. Berhubung karena si Dadap melingkupi rasa yang bermacam-macam serta jelas, apa kemudian si Dadap itu banyak ?. Kan tidak. Yang begitu itu jadikanlah perumpamaan, artinya ciri-ciri 1 tadi.
3. Si Suta bukan si Naya bukan si Karma. Perasaan si Suta bukan perasaan si Naya. Perasaan si Naya bukan perasaan si Karma. Singkatnya: sendiri-sendiri, karena rasa satu dengan lainnya terpisah-pisah. Namun: meskipun rasa itu terpisah-pisah, semua itu adalah perasaan kita sendiri (Pribadi – Aku). Elemen Pribadi itu adalah perasaan Suta serta perasaan Naya, termasuk perasaan Karma. Ibaratnya: orang satu merasakan kepala, merasakan tangan, merasakan lidah, dan seterusnya. Rasakan dengan kesungguhan.
4. Manusia itu bersatu dengan suasana hakiki yang berdiri sendiri, hanya rasa perasaan yang terpisah-pisah. Jadi: bersatu dengan yang melingkupi, namun yang dilingkupi itu terpisah-pisah. Berhubung yang dilingkupi itu sebenarnya tidak ada, maka jika yang dituju adalah hanya yang melingkupi, dirinya sirna. Hanya yang melingkupi yang ada. Bilamana yang dituju dirinya, kehilangan yang melingkupi, namun sebenarnya jelas, yaitu yang disebut silau / khilaf.
5. Yang disebut dengan menggunakan kata Ingsun, Pribadi, diri atau Aku, yaitu yang melingkupi atas semua rasa perasaan, yaitu yang disebut Dzat: wajibul wujud. Yaitu yang tanpa arah dan tanpa tempat, tiap tempat ketempatan. Dia yang lembut tak dapat diambil, namun besarnya memenuhi jagad raya. Yaitu yang tak dapat dibayangkan seperti apa. Yaitu yang abadi tidak berawal tidak berakhir. Yaitu yang beratnya diukur dengan ukuran yang keempat (makrifat). Yaitu yang disebut keadaan yang senyatanya. Yaitu yang tanpa warna dan tanpa rupa, tetapi semua warna macam-macam itu wajahnya. Yaitu yang paling dicintai oleh semua makhluk. Yaitu yang tanpa imbangan tidak ada yang menyamai / menyekutukannya. Yaitu yang dibahasakan lebah merindukan langit yang sepi. Yaitu yang memelihara / mengasuh jiwa. Yaitu yang disebut jagad raya yang sesungguhnya. Yaitu yang berada dipusat hati, menguasai atas batin / hati semua makhluk. Yaitu yang merajai / berkuasa di semua alam. Yaitu yang tidak diluar dan tidak didalam. Yaitu ditengah-tengah / pusat arah. Yaitu yang bersifat dua puluh. Yaitu yang menghidupi tiap-tiap / setiap nyawa yang ada di badan.
Oleh karena itu, jangan lengah dan mengangap mudah / menggampangkan terhadap apa yang kau sebut dengan istilah Aku atau Diri. Kalau salah, yang kau sebut Pribadi itu diri sendiri.
6. Kalau ada pertanyaan: Pribadi itu berwujud atau tidak. Jawabannya demikian: semua ini tidak berwujud, hanya Pribadi yang berwujud.
7. Perkiraan / dugaan (orang) yang belum paham, yang sering disebut dengan istilah aku itu berwujud jirin (orang) dan di dunia ini hanya ada satu, yaitu orang yang menduga tadi. Adapun orang yang lain, walaupun jika menyebut dirinya dengan menggunakan kata aku, dan semuanya sama-sama memiliki rasa perasaan, tetapi semuanya itu tidak dianggap Pribadi (Aku). Walaupun itu, Tuhan juga diangap bukan Pribadi. (Jadi Allah itu dianggap golongan tetangga)
Yang diduga keadaan yang sebenarnya oleh (orang) yang belum mengerti, yaitu: bumi, langit, matahari, bulan, manusia, tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya yang terbeber / tergelar semuanya ini.
Masalah mati, lebur, atau berganti wujud: hanya dianggap sudah semestinya begitu, tidak menyebabkan tumbuh pemikirannya kalau yang tergelar itu bukan keadaan yang senyatanya. Walaupun dijelaskan bahwa Tuhan itu tetap abadi dan yang menjadikan / menciptakan keadaan semuanya, namun penerimaan hatinya tetap diangap sebangsa jirim yang makan tempat dan terpisah-pisah seperti halnya manusia, hanya bedanya didunia ini tidak ada yang mirip atas keluhurannya. Dugaan yang demikian itu sebaiknya diubah.
8. Siapa yang mencari kebijaksanaan atau kelebihan, padahal di hatinya senang pada rasa membanding-bandingkan diri, bahwasanya dia itu bijaksana atau mempunyai kelebihan, walaupun nyatanya memang demikian, ya masih menjadi pertimbangan diri, sebab kehilangan Pribadinya, karena terhisap oleh dirinya. Yang demikian itu karena hanya memusatkan perhatiannya pada tegaknya diri, tidak memusatkan perhatiannya pada yang berdiri Pribadi. Selagi memusatkan perhatiannya kepada tegaknya Pribadi, tak akan mau mengakui atas adanya diri, sebab Pribadi itu nyatanya adalah semua dari diri, tidak membeda-bedakan, sebab tanpa perbandingan, jadi salahnya / salah-salah tidak mengakui siapapun, ia mengakui semua diri. Adapun kalau tidak mengakui siapapun, atau mengakui adanya semua diri, sudah pasti lalu hilang kelakuannya dalam hal membanding-bandingkan diri, yang tanpa dituju / disengaja.
9. Segala macam makhluk itu, sesungguhnya meluhurkan Pribadi yang menguasai atas rasa perasaanya. Ya Pribadi itu yang paling disenangi, oleh segala macam makhluk, paling dicintai dan satu-satunya tempat mereka berbakti. Tetapi berhubung makhluk itu tidak waspada (tahu betul) terhadap Pribadinya, akhirnya salah dugaannya, yaitu: diri dikira Pribadi (yang diangap, Pribadi itu dirinya). Hal seperti ini bisa terjadi, sebab membedakan diri dengan Pribadi itu memang sukar.
10. Aku ada didalam badanku, itu salah, yang benar: badanku ono ing Aku. Aku ada disorga atau neraka, itu salah, yang benar: sorga atau neraka ada di Aku. Aku bertempat di dunia yang tujuh, itu salah, yang benar: dunia yang tujuh itu ada di Aku.
11. Yang disebut Aku itu bukan badan, bukan rasa, bukan angan-angan, bukan budi, bukan nyawa. Badan, rasa, angan-angan, budi, nyawa, itu semua jirim, yang dikuasai oleh Aku, adapun Aku itu bingkainya / yang menguasainya.
Berhubung rasa perasaan manusia tidak dapat dipergunakan untuk menyatakan bingkai / penguasa tadi, oleh karena itu kewajiban nyawa-nyawa hanyalah berbakti, menyatu menuju pusat hati. Semua rasa perasaan harus bersatu padu, menyatu menuju ke hati, hanya itulah kewajiban nyawa.
Bilamana nyawa sedang berjalan / mengarah dari lahir menuju ke batin, mau tidak mau: rasa yang tersebar semakin hilang (mati), semakin kuat, semakin banyak yang mati. Maksudnya semakin menjauhi kiblat lahir, mendekati batin. Agar dapat kuat tidak lain karena makin sering digunakan kekuatannya untuk berjalan / mengarahkan (kesadaran) dari lahir menuju ke batin (samadi, tafakur).
Perjalanan / perhatian / kesadaran nyawa dari lahir ke batin tadi, kalau hal itu terus berlangsung, makin lama makin rigan, tidak berat, sebab ditolong oleh kekuatan kehakikian (didorong oleh Pribadi). Pada akhirnya: nyawa tidak menggunakan daya kekuatannya sama sekali, hanya melulu daya kekuatan dari kehakikian, yaitu yang dinamai : ”CENGANG” (tenang dan damai).
12. Selagi rasa perasaan belum hilang / sirna, ya rasa perasaan itu yang dikira Pribadi oleh rasa perasaan. Artinya si rasa perasaan mengaku-ngaku supaya dianggap: Aku. Jadi rasa perasaan manusia itu jelas memang tidak dapat melihat / mengetahui kepada yang menguasainya. Kegiatan merasakan itu akhirnya malah menutupinya. Karena seperti itu halnya, agar dapat manusia melihat / tahu terhadap yang menguasainya: tidak ada jalan lain selain kalau tidak merasakan, yaitu: rasa perasaan kembali kepada yang menguasainya (Pribadi – rasa yang sesungguhnya). Kalau sudah tidak tertutup oleh daya kekuatan rasa perasaan, hanya Pribadi yang ada, di situ baru tahu kepada dirinya, yaitu yang memiliki rasa perasaan, bukan rasa perasaan yang dimilikinya.
13. Si Suta menuju kepusat hatinya sendiri, itu sesungguhnya: Si Suta itu mengarah kepada pusat hatinya manusia sedunia, sebab pusat hatinya si Suta itu juga pusat hatinya semua makhluk. Tetapi begitu sampai pada pusat hati, si Suta sudah tidak ada, diganti oleh Pribadi, yang waktu itu baru menguasai batinnya semua makhluk. (dikatakan: baru terhadap kehakikian tidak awal dan tidak akhir).
14. Tidak ada nyawa yang berdiri sendiri, tentu tergantung pada kehakikian. Kehakikian meninggalkan nyawa juga tidak bisa, kedua-duanya saling menetapi.
Barang yang berdirinya / keberadaannya ditetapkan oleh yang lain, dalam bahasa asing disebut: negatif. Seperti misalnya hijau itu negatifnya daun. Daun negatifnya hijau, kuning atau merah. Begitu juga: kehakikian itu: negatifnya nyawa, nyawa negatifnya kehakikian. Si Suta negatifnya kehakikian, kehakikian negatifnya si Suta.
Si Suta butuh akan kehakikian, sebab keberadaan si Suta berasal dari kehakikian. Adapun kehakikian, walaupun tidak butuh si Suta, tetapi butuh nyawa selain si Suta, sebab kelihatannya negatif. Bingkai mesti membutuhkan yang dibingkainya, (yang menguasai mesti membutuhkan yang dikuasainya), seperti halnya daun yang membutuhkan salah satu dari: hijau, merah, kuning atau putih.
Oleh sebab itu kehakikian itu bingkai dari semua nyawa, manusia tidak perlu mengingat-ingat bagaimana agar dapat berkuasa terhadap alam, berbakti saja kepada Pribadinnya saja. Mungkin dapat terjadi jalannya / kesadarannya nyawa tiba di pusat batinnya, sudah pasti berkuasa atas semua nyawa, sebab negatif.
15. Si Suta tidak dapat melihat / tahu akan kehakikiannya, sebab tertutup oleh penglihatan si Suta. Oleh karena itu tidak dapat mengira-ngira, sebab tertutup oleh angan-angan si Suta. Oleh karena itu tidak dapat merasakan atas kehakikiannya, sebab tertutup oleh perasaan si Suta (panca inderanya). Asal si Suta masih ada, ya tidak dapat melihat. (Yang tidak melihat itu perasaan orangnya). Dia dapat melihat kalau perasaan Suta-nya sudah tidak ada: tanpa bekas, jadi yang melihat tadi bukan si Suta, sesungguhnya: hakikinya.
Meski demikian walaupun andaikata ia bukan si Suta, juga bukan tetanga si Suta, masih tetap dirinya, hanya berbeda tadinya “Nyuta” lalu: sekarang tidak (selesai me-Nyuta). Mengapa demikian, sebab yang namanya si Suta itu memang tidak ada, yang ada hanya Diri, adapun Diri itu keadaan tunggal berada di atas semua rasa, juga berada di badannya / perwujudannya semua kejadian yang terbeber ini semua. Karena seperti itu halnya, yaitu berubahnya si Suta, sesungguhnya itu yang semula menjadi si Suta.
16. Pada suatu musim, jika angan-anganmu sedang mengendap, oleh nafsumu yang sedang tenang, serta tidak tumbuh niatmu yang mendua atau meniga, usahakan hanya tinggal satu niat yang mulia, yaitu niat yang arahnya hanya menuju kehakikian, di situ kamu sudah mendekati sampai di budimu, angan-anganmu terasa terang dan bersih.
17. Perbedaan antara dunia dan akhirat itu bukan: sekarang dengan kelak, hanya lahir dan batin. Lahirnya ada di dunia, batinnya ada di akhirat. Jadi: sekarang juga saya ada di akhirat, adapun yang ada didunia itu rasa perasaan yang dikuasai oleh Aku. Rasa yang dikuasai itu wujudnya seperti misalnya: pikiran, senang susahnya hati, terang gelapnya mata, dapatnya mata melihat keadaan yang terbeber, mendengarnya telinga terhadap suara, manis pahitnya rasa lidah, jendul dan kasarnya tangan, sakit enaknya badan, dan lain-lainnya. Itu semua bukan rasa yang hakiki. Hanya bayangan rasa hakiki.
18. Ingin mencapai suatu kenyataan, tidak boleh menyandarkan diri pada guru, ilmu atau surat. Yang perlu: memelihara diri, penerapan dugaan / pikiran, dan sucinya hati. Namun tanpa guru tidak akan jadi.
19. Tipisnya hawa nafsu diserta tebal dan makin kuatnya kepercayaan / iman terhadap tidak adanya apa-apa selain Allah, itu: menjauhkan coba dan godaan, mendekatkan keselamatan, untuk saat ini ataupun kelak.
20. Sorga itu buatan hati. Neraka juga buatan hati. Oleh karena itu yang paling perlu (perlunya perlu) tidak seperti perbuatan orang yang meluruskan jalan hatinya.
21.1. Tidak ada kejadian yang bukan karena Karsa Tuhan, walaupun tidak ada kejadian satupun yang tanpa sebab. Memang sebab dan yang disebabi: kedua-duanya Karsa Tuhan.
21.2. Tidak ada kejadian yang tanpa sebab, walaupun sebab tadi sebenarnya tidak berbekas. Memang Tuhan mengadakan keadaan tadi karsanya diserta sebab (21.1).
22. Tidak perlu memberatkan diri pada barang-barang buatan, senanglah pada: yang jadi. Tetapi jangan benci pada barang-barang buatan tadi, sebab disitu ada yang jadi.
23. Tuhan itu dekat sekali, malahan semua yang dekat-dekat itu semuanya kalah dekat, walaupun nyawa sekalipun kalah dekat. Namun orang sering mengira / merasa jauh: ya benar, sebab yang namanya jauh itu tempatnya hanya diperkiraan. Jelasnya demikian:
Jauh dan dekat itu, kedua saya umpamakan barang. Barang itu mesti ada di suatu tempat, tempatnya di dalam dugaan / angan-angan. Tidak ada lagi yang menguasai dugaan kecuali Tuhan.
24. 1). Si Suta sekarang ada, dulu tidak ada. Karena seperti itu adanya, si Suta itu adanya dari tidak ada. Kata-kata seperti itu juga benar. Tetapi maksud dari kata-kata adanya dari tidak ada: tidak mudah. Tidak mungkin terjadi, jika suatu keadaan bergantung pada sesuatu yang kosong. Kosong itu dapatnya hanya sepi, tanpa rasa, tidak dapat keluar Suta-nya.
2). Si Suta sekarang ada, dahulu juga sudah ada, tetapi belum lahir di dunia. Jadi si Suta itu adanya dari ada. Kata-kata demikian juga benar, tetapi maksud dari kata ada dari ada tidaklah mudah. Sebab kata “belum ada sudah ada”, itu tanpa arti (perkara yang berlawanan tidak dapat berkumpul). Selain dari itu, yang ditetapkan bernama si Suta itu janjinya kan sesudah lahir. Sebelum lahir si Suta, tidak ada yang ditetapkan bernama si Suta. Lagi pula si Suta itu jadi-jadian yang mudah berganti-ganti, persis seperti ombak atau mega. Berhubung keadaan si Suta tidak tetap, padahal sebelum lahir dinamakan si Suta, nah ketika belum lahir tadi seperti Suta berumur berapa tahun?, apa seperti Suta ketika anak-anak, apa seperti Suta ketika masih bayi, atau seperti Suta tua?.
Itu tadi tepatnya seperti ini:
Sebelum si Suta ada, yang ada hakikinya atau Pribadi si Suta. Belum adanya sebab hakiki tadi belum nyuta. Setelah hakiki tadi Nyuta, perNyutaannya berwujud jadi-jadian yang disebut si Suta. Lamanya ia ada di keSutaannya itu selama waktu saat hakiki tadi masih Nyuta. Kalau hakikinya berhenti dari Nyuta, jadi-jadian yang disebut Suta berhenti adanya.
Adakalanya yang bernama hakiki si Suta juga hakikinya si Naya, juga hakikinya si Dadap, singkatnya hakikinya jadi-jadian semuanya.
Walaupun Pribadi itu andaikan tidak dijelas-jelaskan: Satu, tunggal atau bulat, jika dirasakan sampai sekecil-kecilnya, mesti lalu jelas sekali kalau: tidak dapat tidak mesti hanya satu atau tunggal, malahan kalau dirasakan: tidak perlu disebut satu. Kata satu itu adalah kata-kata orang yang menentang pikirannya sendiri yang baru bingung. Sama saja dengan orang yang menjelas-jelaskan kalau malam itu tidak bersamaan waktu dengan siang.
Rasanya kata Pribadi juga sudah mengandung makna satu. Oleh karena itu disebut Pribadi, sebab tanpa imbangan. Andai kata ada imbangannya, tidak disebut Pribadi, sebab tidak Pribadi.
25. Kalau dirasa-rasakan dengan sungguh-sungguh, semua benih kesalahan, juga pintu yang menuju ke perbuatan sasar, sebetulnya tidak lain berasal dari manusia yang tidak dapat merasakan perbedaan diri dengan Pribadi, sampai-sampai diri dianggap Pribadi. Begitu juga perlawanannya, benih keutamaan atau pintu yang menuju ke pepadang / pembawa terang, ya dari manusia yang dapat merasakan bedanya diri dengan Pribadi.
Jelasnya sebagai berikut: semula dari hukum kodrat; segala macam yang hidup sangat cinta kepada Pribadinya, besarnya cinta kasih tanpa imbangan, tidak ada cinta / kasih yang besarnya melebihi cintanya kepada Pribadinya. Adapun hukum kodrat begitu itu sudah pasti benar, sebab sesungguhnya tidak ada apa-apa, hanya Pribadi yang ada.
Tetapi … berhubung yang dianggap Pribadi tadi diri, yaitu jirim (kasar dan halus), akhirnya cinta yang besar tanpa batas tadi jatuhnya pada diri. Diri yang harus diluhur-luhurkan.
Caranya menyatakan cinta atau melunturkan diri tadi seperti berikut:
Seperti halnya orang yang tidak mau mengalah pada kata sepotong, langkah setapak, atau dengan mati-matian menutupi kesalahannya yang sudah jelas sekali, sampai diperjuangkan dengan mengerahkan budinya dan memutar akal, agar dirinya tidak kelihatan jelek atau salah, itu kalau diteliti apa rahasianya?. Disitu akan ditemukan, bahwa pokok persoalannya dari begitu besar cintanya kepada Pribadi. Ia mengalami hal seperti itu hanya karena kesalahannya saja, yaitu: dirinya dirasakan Pribadinya, atau jirim dikira keadaan yang hakiki.
Yang andaikata dapat memisahkan diri dengan Pribadinya, tentu menjadi bertentangan, artinya malahan menghukum dan menbantah nafsunya yang mengajak seperti itu tadi, sebab demikian itu membuat kegelapan, semakin besar ia silau terhadap Pribadinya.
Yang menyebabkan manusia ketempatan kelakuan memiliki keinginan yang terlalu besar, jahil, dengki, suka ikut campur urusan orang lain, sombong, suka membanggakan diri, merasa paling pintar, iri dan lain sebagainya: Semuanya itu tumbuh dari rasa hati yang mengajak meluhurkan diri.
Dirinya dianggap lebih dan agar memperoleh sesuatu yang lebih dari yang lain. Tidak hanya pikiran orang lain yang disuruh demikian, pikirannya sendiripun juga diajak oleh nafsunya supaya mau menganggap baik, luhur dan benar kepada dirinya tadi. Pikirannya sendiri juga menurut, sampai tidak percaya kalau tindakannya / caranya tadi salah atau jelek, juga tidak percaya kalau gelap sebab dari caranya.
Orang mengalami hal seperti itu sebab dari: cinta pada diri. Sebab cinta pada diri semula dari: cinta kepada Pribadi. Adapun bisa menjadi cinta pada diri hanya karena salah anggapan. Sebabnya salah anggapan, sebab membedakan diri dengan Pribadi itu lebih dari sulit serta tidak dapat diterangkan dengan kata-kata.
Orang congkak, angkuh, suka berbuat jahat, sombong dan sebagainya; semuanya tumbuh dari: angan-angan yang mengajak meluhurkan diri. Pikiran yang demikian itu namanya percaya atau mengaggap, kalu dirinya itu kuasa, baik, luhur, serta tentu benar.
Berhubung semakin cinta pada diri semakin kehilangan Pribadinya (seperti hilangnya jirim tinggal bidang) oleh kaena itu aturan agama melarang dengan sungguh-sungguh kepada orang yang congkak, angkuh, suka berbuat jahat, sombong dan sebagainya. Larangan itu sebetulnya dari rasa sayang dan menjaga pada manusia, jangan sampai salah duga, tidak tahu akan Pribadinya. Jadi tidak disebabkab oleh guru yang tidak senang pada watak yang demikian tadi, dan bukan disebabkan oleh karena disikukan oleh Tuhan. Kata tersiku itu artinya yang hakiki: terbelit atau kesasar oleh caranya sendiri.
Kata: congkak dan lain-lainnya, kata-kata jawa: kumingsun (punya anggapan seperti Ingsun), berhubung bukan Ingsun, padahal dijadikan Ingsun, akhirnya menghilangkan Ingsun, mengadakan jirim. Yang benar: menyirnakan jirim mengadakan Ingsung.
Kelakuan yang timbul dari sangat cintanya pada diri, yang melupakan Pribadi, kalau digelar banyak macamnya. Seperti misalnya: seorang manusia gemar pada kehormatan, angkuh atau sikon, itu asal mulanya dari memegang teguh pada diri yang satu. Seorang manusia mempunyai watak suka mentang-mentang, tak mau berbuat baik, itu asal mulanya dari salah dugaan, diri dianggap Pribadinya. Seorang manusia mempunyai watak iri hati, terlalu sayang pada diri, mudah tersingung, suka memanas hati, itu tidak lain karena ia membeda-bedakannya dari salah satu diri.
Ada orang yang mencerca orang yang salah serta suka memuji kepada orang yang sedang bernasib baik, itu juga dari rasa hati yang mengajak memperlihatkan dirinya.
Ada orang yang berat hati jika merasa memperoleh pertolongan atau nasihat dari orang lain, senang mengaku memberi pertolongan atau nasihat kepada orang lain: itu sebabnya juga dari nafsu yang meluhurkan dirinya.
Ada orang yang wataknya selalu curiga terhadap hal yang macam-macam: itu juga dari terlalu sangat ia bercermin pada diri yang satu.
Ada orang yang tak mau menyatakan kebaikan yang berada pada orang lain, serta suka menceritakan kebaikan diri sendiri, itu sebabnya juga dari sangat cintanya kepada diri sendiri, tidak tahu / kenal pada Pribadi. Dan lain-lainnya. Semua watak yang jelek: sebabnya tidak lain dari tidak tahunya pada Pribadinya.
Manusia makin dapat membedakan diri dengan Pribadinya, semakin berkurang wataknya yang memaksa-maksa meluhurkan diri. Sebab yang diyakini hakiki dari semua diri. Jadi: salahnya tidak mendaku sesuatu, juga mendaku semua diri yang ada. Pendapat (kepercayaan) yang demikian itu besar sekali daya kekuatannya, mampu menghilangkan watak yang jelek, yang tersebut semuanya tadi. Lalu tumbuh watak sabar, cinta kasih, berserah, ikhlas, lega, dermawan, tenang, tenteram, nerima, akhirnya menjadikan jernihnya budi. (1) Sebelum berbadan “batahara” sudah mencicipi rakhmat, menikmati rasa yang mulia, nikmat dan manfaatnya melebihi orang kaya dan luhur.
Manusia selama bekerja atau beristirahat dari bekerja, pada waktu siang dan malam, jangan pisah dari kesadaran (eling) – kalau hanya Pribadi yang ada. Diri sifatnya Pribadi.
Yaitu maksud ayat : Laa ilaaha illaah, Muhammadar Rasulullah.
26. Menjelaskan sewaktu orang menggunakan atau membuang alat. (umpama A sampai F)
Umpama A: Orang yang pandai naik engrang atau sepeda itu tidak mentang-mentang orang yang kuat. Walaupun kurus dan lemah, kalau sudah terampil, kecakapannya melebihi yang gemuk dan kuat.
Begitu juga, selagi baru belajar atas kecakapan, harus menggunakan kekuatan juga. Gunanya kekuatan untuk menolong kekakuannya. Kalau sudah hilang kekakuannya, kekuatannya tidak dipergunakan. Yang dipergunakan hanya: kecakapannya.
Jelasnya diatas itu: Kekuatan itu sarana yang harus diusahakan dan dipergunakan oleh yang belajar naik engrang sewaktu belum cakap. Sesudah memperoleh kecakapan (buah dari rasanya yang selalu mengingat-ingat) disitu sudah mengurangi penggunaan kekuatan, akibat dari sudah ganti sarana: kecakapan. Akhirnya kekuatan badan seolah seperti tidak terpakai. Diganti dengan kecakapan.
Dari pikiran yang seperti itu, kita menemukan pokok pegangan: sarana itu harus diusahakan ketika belum ada, dan harus dipergunakan tatkala masih perlu menggunakannya. Tetapi: juga salah kalau kelanjutan (karam) ada di sarana saja.
Umpama B: Anak yang belum tahu dan merasa atas bergunanya mandi dan belajar, pasti tidak mau melakukan mandi dan belajar. Terhadap anak yang begitu itu perlu dipuji atau diberi hadiah kalau dia mau mandi dan belajar, adakalanya juga perlu diberikan hukuman atau dimarahi kalau tidak mau mandi dan belajar. Daya guna pujian dan hadiah menumbuhkan keinginan dan kehendak untuk mandi dan belajar. Daya guna hukuman dan memalu-malui menimbulkan rasa takut dan malu.
Seumpama ingin, takut, demikian juga malu, semuanya itu menjadi sarana menimbulkan kehendak dan menolak atas rasa malas atau ketidakmauannya. Sebab dari keinginan menjadi melakukannya. Sebab dari melakukannya berkali-kali, tumbuh pengertiannya dan rasanya atas faedahnya mandi dan belajar. Setelah cukup pengertiannya dan dapat merasakannya sendiri, di situ (ketika itu) sudah tidak mengunakan sarana yang berwujud keinginan memperoleh pujian dan takut atas hukuman, sebab sudah diganti dengan pengertian dan perasaan.
Umpama C: Orang yang baik itu bukan asal yang senang pada perbuatan baik dan benci pada perbuatan jelek. Walaupun tidak suka pada perbuatan baik dan tidak benci pada perbuatan jelek, kalau dasar wataknya orang tadi baik, ya lebih baik dari pada yang senang pada perbuatan baik dan benci pada perbuatan jelek. Sejauh itu tatkala baru melatih kelakuan baik; (karena belum baik) ia harus senang pada perbuatan baik, serta harus benci pada perbuatan jelek. Adapun gunanya hati suka dan benci tadi supaya menjauhi si jelek, mendekatkan diri pada si baik. Kalau sudah memperoleh dasar baik, menggunakan sarana senang atau benci pada semua hal, sebab yang bermanfaat: baiknya, bukan si suka dengan si benci. Malahan senangnya dan bencinya: mengganggu / menghambat, sebab yang namanya benci dan senang itu kekuatan nafsu.
(Menggunakan sarana tatkala masih perlu menggunakannya, itu dapat diumpamakan: naik kendaraan tatkala belum sampai di tempat yang dituju. Demikian juga lawannya: meninggalkan sarana sewaktu sudah tidak memerlukannya, itu seperti halnya orang yang harus turun dari kendaraan sewaktu sudah sampai ditempatnya).
Umpama D: Manusia yang utama itu sebenarnya tidak mentang-mentang yang malu terhadap celaan dan senang pada pujian. Walaupun manusia itu tidak senang terkenal dan tidak malu dicela oleh orang, kalau kenyataannya dasar mengerti dan sadar (sebab dari meyakini hakikinya, tidak menganggap penting dirinya) itu manfaatnya melebihi yang senang terkenal dan malu dicela. Sejauh itu usaha budi agar dapat sampai di pepadang / penerangan dan sadar: semula harus punya keinginan atas pujian dan malu dicela (menurut patokan aturan kepahlawanan). (1) gunanya saran itu untuk memajukan nafsu yang mengarah ke keutamaan, serta mengendalikan nafsu yang mengarah ke kehinaan. Adapun kalau sudah terlaksana sampai di keutamaan, tak mau pada kehinaan, sebab sudah tajam budinya, disitu sudah sampai waktunya tidak perlu mengingini pujian dan jangan malu dicela oleh siapapun, (ini namanya membelakangi diri, menghadap pada Pribadi), sebab nafsu yang mengarah pada kehinaan sudah hilang musnah. Diganti dengan adanya Rasa tunggal, bersatunya budi sadar. Bersamaan dengan hilangnya nafsu yang mengarah ke kehinaan, tinggal menghilangkan nafsu yang mengingini pujian dan malu dicela, sebab hal itu merupakan kekotoran terhadap kehakikian.
(Tak mau menggunakan sarana tatkala masih perlu mengunakannya: itu salah. Tetapi juga salah kalau sebetulnya sudah (waktunya) meninggalkan sarana masih juga berlanjut menggunakan sarana saja. Adapun sarana tadi dirasa atau dianggap yang memiliki sarana.)
Oleh karena itu mengingini pujian dan malu dicela harus dihilangkan, sebab hal itu juga nafsu yang menyesatkan angan-angan. Jelasnya si nafsu menyesatkannya itu: angan-angan diajak meyakini diri yang satu.
Padahal kalau meyakini diri, kehilangan Pribadinya, lupa bahwa hakiki yang ada. Oleh karena itu, yang wajib dituruti: budi, sebab dialah / ia itulah yang menunjukkan jalan: menyebabkan tahu akan kebenaran, seperti misalnya menyebabkan tahu pada tidak adanya apa-apa hanya Pribadi yang tunggal, jadi ia menunjukkan kalau yang dipuji dan dicela itu hanya bayang-bayang di dalam jiwa (cermin dari Pribadi), yang sementara waktu lagi akan sirna. Adapun yang memuji dan mencela itu rasa yang tidak hakiki (maya) yang terapung di Pribadi yang tunggal. Ringkasnya: yang memuji dan yang dipuji: kedua-duanya sama-sama tipuan, sebetulnya tanpa hasil / manfaat.
Oleh sebab itu jelaslah kalau perasaan hati yang senang kepada pujian dan malu dicela, itu hanya menjadi alat / sarana yang dipergunakan dalam sementara waktu saja. Kalau akan masuk ke kehakikian, alat itu harus dibuang (orang naik kendaraan, kalau sudah sampai ditempatnya, harus turun dari kendaraannya).
Umpama E: Keheningan samadi, itu tidak karena berada ditempat yang sunyi senyap. Walaupun berada ditempat yang banyak suara, kalau sudah terampil dalam menggunakan pangesthi (melaksanakan niat), dapat tetap melebihi yang berada ditempat yang sepi. Gunanya sepi untuk mencegah pada keterkejutan dan kedebarannya. Kalau sudah terlatih sepinya tempat sudah tidak perlu: keterampilannya.
Umpama F: Adapun yang sempurna itu tidak hanya orang yang memilih perbuatan baik, menolak pada perbuatan jahat. Walaupun melakukan perbuatan maksiat dan bergaul dengan orang yang senang pada perbuatan jahat / jelek, kalau memang hatinya suci (terlepas dari jahat / jelek) kesuciannya melebihi orang yang suka menonjolkan bahwa dirinya suci (sumuci-suci). Sejauh itu, baru berusaha pada ulah kesucian, ia harus memilih perbuatan baik, jangan bergaul dengan orang jahat, serta menolak melakukan perbuatan yan dapat menarik nafsu jahat. Faedahnya memilih yang baik, menjauhi perbuatan jahat tadi untuk mencegah kegelapan budinya dan belum mencapai kesucian, belum terlepas dari kejahatan, di situ / saat itu tidak perlu menolak memilih, yang perlu: kehati-hatiannya dan terlepasnya dari kejahatan.
27. Menjelaskan: sering salahnya kepercayaan / dugaan, yaitu:
Ada yang jatuh pada diri, ada yang jatuh pada Pribadi.
Kalau jatuh pada diri, bersatu dengan angan-angan mengadakan watak sombong. Kalau jatuh pada Pribadi bersatu dengan Rasa bertunggal, mengadakan semangat.
Manusia berusaha mencapai kehakikian itu wajib. Agar dapat selamat: harus percaya pada penguasa yang berada di dalam dirinya. Usahanya itu jangan direndahkan / disalahkan agar dapat terlaksana, artinya: jangan merendahkan / menganggap lemah pada dirinya. Sejauh itu ia harus tahu sebabnya dirinya tidak boleh direndahkan / dianggap lemah.
Adapun sebab dirinya tidak boleh direndahkan, sebab gerak-gerik hati manusia atau niat dan tekad manusia dalam mencapai kesempurnaan, sebenarnya (itu) perbuatan Tuhan, jadi kalau menusia tidak percaya pada dirinya, sama halnya tidak percaya kepada perbuatan Tuhan, atau tidak percaya kepada kuasanya Tuhan yang berada didalam dirinya. Jalannya keselamatan tertutup oleh penghinaan / perendahan diri sendiri, akhirnya dirinya mungkin dapat lemah / rendah sungguh-sungguh sebab dari anggapan Pribadi.
Tetapi jangan lalu mempunyai angapan: dirinya mampu atau kuasa. Oleh karena itu hati-hati terhadap sering salahnya anggapan. Walaupun salah anggapan itu berada didalam hati, namun dapat diketahui dan dirasakan, sebab terlihat pada perbuatan.
Pelajaran agama: jika mengaku dirinya Allah namanya tekad “kadariah”. Kalau tidak mengaku dirinya Allah namanya tekad “jabariah”. Kedua-duanya tidak benar.
Bagaimana betulnya?. Agar dapat mengerti betulnya kalau dapat merasakan bedanya diri dan Pribadi, sebab maksud perumpamaan, tidak lain agar meyakini hakikinya serta membelakangi dirinya
Subhanallah….
Wass
Deka
Comment:
From: luthfiyah ratnawati
Subject: Re: [dzikrullah] Sungguh …, Tak Biasanya Begitu – 7 (Selesai)
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Sekarang saya mengerti kenapa waktu TOT dulu saya merasakan hal yang luar biasa, antara lain pada saat P Deka adzan subuh dan mengimami sholat subuh. Saya rindu suasana seperti waktu itu.
Ada bbrp peristiwa saat TOT yg bagi saya itu sangat sangat luar biasa :
Peristiwa 1 :
Pada saat sholat subuh (peristiwa yg sama dg yg diceritakan P Deka). Waktu itu dengan penuh semangat kami para peserta menuju aula untuk melaksanakan sholat tahajud sendiri2. Tapi ntah kenapa sholat tahajud saya wkt itu ngga khusyu sama sekali, garing banget. Sambil nunggu subuh, karena dzikir pun garing, saya bicara basa-basi dengan teman di sebelah biar ngga ngantuk.
Tapi alangkah takjubnya saya, begitu terdengar adzan yang dikumandangkan oleh P Deka, tiba2 saja saat itu juga, saya dan teman di sebelah saya menangis sejadi-jadinya. Entah mengapa saat itu suara adzan itu seolah Allah memanggil hamba-Nya. Tangisan haru, rindu pada Allah, bercampur aduk. Tangis yang tak bisa dibendung.
Sekarang saya tahu sebabnya. Bukan P Deka yang adzan waktu itu, tetapi Allah menggunakan P Deka untuk memanggil hamba-Nya. Begitupun waktu sholat subuh. Itu sholat subuh yang sangat nikmat…
Saya benar2 terpesona. Bagaimana itu bisa terjadi, terjawab sudah dari ulasan P Deka di atas.
Peristiwa 2:
Waktu pembukaan TOT, saat pembacaan ayat suci Al Qur’an oleh P Deka – again 🙂 . Sebelum mulai baca Al Qur’an. kami disuruh mendengarkan dengan hati. Hasilnya : baru juga dibaca satu ayat, hati bergetar, tak terasa menetes air mata. Baru kali itu, pembacaan ayat suci Al Qur’an di pembukaan suatu acara mampu membuatku merasakan kedekatan dengan Allah. Biasanya pembacaan ayat suci Al Qur’an hanya seremonial belaka.
Peristiwa3:
Bada Dzuhur P Abu Sangkan menerangkan tentang Dzikir : Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar. Dilanjutkan praktek dzikir. Ketika mengucap Subhanalllah,….. sungguh tak terkira rasanya. Begitupun ketika mengucap Alhamdulillah. Dan bertambah dahsyat ketika dzikir Allahu Akbar. Benar-benar habis. Habis. Kita benar2 habis. Bagaimana mengatakannya ya? Yang jelas, rasanya kita benar2 habis, tidak bersisa. Semua hanya Allah saja. Begitu Maha Besarnya Dia hingga tak ada ruang yang bersisa. Terasa begitu kecilnya kita hingga habis sehabisnya. Luar biasa….!
Di situ kita merasa tidak ada apa-apanya. Luruhlah semua kesombongan, riya’, keangkuhan. Kita bukan siapa-siapa. We are nothing !
Yang ada hanya Allah saja. Bagaimana bisa kita sombong, sedangkan we are doing nothing. Semua Allah yang menggerakkan, kita hanya diam saja. Kita hanya sebuah kesadaran yang tidak bisa apa-apa, hanya bisa menyaksikan. Kita hanya penyaksi. That’s all.
Belum pernah saya menangis sedahsyat waktu itu. Benar2 loss. Tak bisa ditahan. Untunglah suara gemuruh tangis para peserta yang luar biasa menggetarkan -ntah berapa skala richter :), ntah berapa desible – mampu meredam suara tangisku. Luruh sudah kesombongan, baik yang kusadari maupun yang tidak kusadari, walau hanya sebesar dzarrah. Kita hanya bisa minta ampun pada-Nya. Saat itu Allah mengajarkan TAWADHU’ .
Peristiwa 4 :
Ketika penutupan TOT, P Abu Sangkan mengucapkan ASSALAMUALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH…!
Kami yang dituju merasakan hal yang wow…. bagaimana mendeskripsikannya ya? Teman-teman peserta TOT saya yakin merasakan hal yang sama.
Serentak kami menjawab : WAALAIKUM SALAM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH….!
Bukan sekedar salam biasa..
Peristiwa 5 :
Sesi terakhir TOT, ketika kami para peserta ditanya : “Bersediakah kalian menjadi media bagi Allah untuk menyebarkan ajaran-Nya ?”
Serta merta kami menjawab dengan sepenuh hati : “BERSEDIA….!!!”.
Bergidik rasanya. Dahsyat sekali. Seolah itu adalah Perjanjian yang Agung antara kami dengan Allah. Mitsaqon gholidzoh. Benar2 bukan sekedar janji biasa namun ini adalah janji agung, bukan main-main.
Ketika kami bilang BERSEDIA, sejak saat itulah saya mulai merasa bahwa Allah memainkan peran-Nya atas tubuhku, pikiranku, hatiku, untuk melaksanakan janji itu.
Luar biasa…… Subhanallah….!
Allah benar2 bikin takjub. Allah benar2 mengagumkan. Sekali kenal Dia, makin penasaran dan ketagihan untuk kenal lebih dekat.
DIA benar2 tidak ada bandingannya.
P Deka kapan ada acara TOT lagi?
Wassalamualaikum warahmatullahu wabarakatuh.