iv. AT bisa menerjemahkan ayat Al Quran secara Kontextual. Sehingga mereka BISA menguraikan pencanggahan (Pertentangan) yang terdapat di antara Ayat-ayat dalam Al Quran. Contohnya:
a. Ayat “masuklah ke dalam Syurga yang KEKAL selama-lamanya” berlawan dengan ayat “masuklah ke dalam Syurga SELAGI masih ada langit dan bumi Syurga itu (tidak kekal)”. Bagi AT mereka sudah paham bahwa dua ayat yang bertentangan ini menandakan adanya Kiamat KEDUA. Dimana pada kiamat kedua itu semua ciptaan pastilah akan Binasa dan yang tinggal hanyalah Dzat-Nya. Bahwa Syurga dan Neraka, Sidratul Muntaha, Lapiran Air, Arasy, dan Tirai Nur pastilah akan musnah dan yang Tinggal adalah Dzat-Nya. Terakhir kali, Dzat-Nya yang sedikit itupun akan kembali musnah dan yang tinggal Abadi (Kekal) hanyalah Diri-Nya.
b. Banyak ayat di dalam Al Quran mencegah manusia untuk berbuat kemungkaran. Namun dalam ayat lain dinyatakan bahwa Allah Swt yang mengilham kefasikan (kemungkaran). Juga kenapa Allah memerintah Khidir untuk membunuh seorang kanak-kanak. Kenapa Allah swt tidak berbuat sendiri untuk membunuh ayat itu. Bagi AT, perbedaan ini dengan mudah bisa terjawab, yaitu bahwa dengan Mengenal Allah dan Mengenal dirinya, maka AT sudah paham bahwa ternyata dirinya tidaklah Wujud. Karena semuanya hanyalah Dzat-Nya semata-mata, maka Allah bebas berbuat apa saja terhadap Dzat-Nya.
v. AS tidak dapat dapat menguraikan tentang pertanyaan: “kalau Allah Maha Pengasih dan Penyayang, kenapa harus diturunkan Tsunami, gempa bumi, dan bencana Alam lainnya yang memakan korban banyak nyawa?”.
vi. AT dapat menguraikan tentang pertanyaan: “kalau Allah Maha Pengasih dan Penyayang, kenapa harus diturunkan Tsunami, gempa bumi, dan bencana Alam lainnya yang memakan korban banyak nyawa?.
Bahwa semua itu terjadi adalah sebagai Bahan PELAJARAN bagi umat manusia untuk mengetahui hal-hal yang tidak atau belum mereka ketahui. Karena pada semua itu ada hikmah, ada pelajaran, ada ilmu yang nantinya ilmu itu akan bisa dipakai untuk sebagai bekal bagi kehidupan umat manusia di masa depan. Dimana di masa depan, umat manusia akan menghuni planet-planet di angkasa lepas, di bintang-bintang, yang keadaannya lebih keras dari keadaan di bumi. Tugas manusia di masa depan itu adalah untuk kembali mengajak iblis, jin-jin, dan syaitan-syaitan beserta konco-konconya untuk beriman kembali kepada Allah dan menyembah Allah Swt.
Sebab, begitu syaitan di usir dan dikeluarkan dari syurga, setelah mereka ingkar untuk sujud kepada Adam As, maka mereka menghuni planet-planet di angkasa lepas yang keadaannya mirip dengan keadaan di bumi. Bandingan jumlah mereka dengan jumlah manusia adalah, mereka 9 (sembilan) dan manusia 1 (satu). Lebih banyak mereka dibandingkan dengan manusia.
Tugas untuk mengajak mereka kembali beriman kepada Allah Swt dan kembali menyembah Allah Swt inilah tugas KEKHALIFAHAN manusia yang sebenarnya. Tugas yang dulu ditolak oleh langit dan bumi. Dan tugas inilah yang dulu tidak diketahui oleh Iblis sehingga ia menentang perintah Allah untuk sujud kepada Adam As.
Sehingga dengan begitu, firman Allah bahwa “Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” terbukti adanya. Bahwa ternyata tugas manusia itu adalah sebagai Khalifah Allah untuk mengajak Iblis dan konco-konconya untuk beriman kembali kepada Allah Swt. Sungguh betul ayat Al Quran yang mengatakan bahwa: “Tidak Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku”
Perbedaan diatas menunjukkan bahwa Ahli Syariah dan Ahli Tasawuf adalah sangat berbeda. Seolah-olah mereka berada di dalam 2 Alam yang berasingan (terpisah). Dengan ini, maka:
i. Ahli Syariah merasa pelik melihat akan Ahli Tasawuf. Mereka sulit untuk menerima pandangan dan sikap dari Ahli Tasawuf.
ii. Dan Ahli Tasawuf pun sulit melihat Ahli Syariah dengan berkata, “Apa yang mereka tahu dengan keadaan yang sebenarnya!”. Maknanya, apa yang mereka (Ahli Syariah) tahu berkenaan Bidang Tasawuf. Lalu kesemua pandangan serta fatwa dari Ahli Syariah yang masuk ke dalam Bidang Tasawuf, akan ditolak oleh Ahli Tasawuf. Begitupun sebaliknya.
Q/A
Zainul:
Ayah, Zainul mohon izin bertanya Ayah. Pada massa Baginda dan sahabat, adakah terjadi dua perbedaan ini AS dan AT yang seolah oleh mereka berada di 2 alam yang berbeda, atau apakah terjadinya perbedaan ini selepas massa Baginda dan sahabat ?
Utd Hussien Abdul Latiff:
Pada Masa baginda dan para sahabat memang sudah ada 2 cabangan ini. Namun hubungan mereka sangat erat. Karena Ahli Tasawuf pada Masa itu beribadah sangat keras hanya untuk mendekati diri kepada Allah Swt serta mau menundukkan nafsu mereka. Namun begitu mereka tetap beroperasi di dalam kerangka Syariah. Oleh karena itu, mereka di hormati dan disegani oleh Ahli atau Ulama Syariah. Mereka ini dipanggil Ahli Tasawuf Awal seperti Al Sarah, Kalabadhi, Hujwiri, Junaidi Al Baghdadi, dan lain-lain.
Masalah baru timbul apabila Tarikat menjelma pada abad ke-3 Hijriah. Mereka membawa amalan-amalan yang tidak disenangi oleh Ulama Syariah (dan juga oleh Ahli Tasawuf Awal) seperti Hulul, Fahaman Wahdatul Wujud, Fahaman Nur Muhammad, Syatahat, Rabitah, dan lain-lain.
Pada masa itu juga, Ulama Syariah tidak mau lagi menerima dan menghormati Ahli Tasawuf secara umum (tidak dibedakan lagi antara Tasawuf dengan Tarikat), sehingga munculnya Imam Ghazali (ra) yang dapat mengeratkan kembali dan menjembatani jurang yang ada di antara Ahli Syariah dan Ahli Tasawuf. Namun apabila Iman Ghazali (ra) wafat, maka jurang itu timbul kembali.
Catatan YusDeka:
Sampai dengan zaman sekarang, tasawuf lalu disamakan orang dengan Tarekat. Karena memang setelah Imam Ghazali tidak ada lagi Ahli Tasawuf yang berhasil memurnikan Ilmu Tasawuf kembali kepangkal jalan, seperti Ilmu Tasawuf di zaman Nabi dan Sahabat. Sekarang ini tasawuf seakan-akan hanya bisa didekati melalui Fahaman Wahdatul Wujud, Fahaman Nur Muhammad, Syatahat, Rabitah, dan lain-lain.
Tapi Syukurlah sekarang sudah ada Arif Billah yang kembali memurnikan Ajaran Tasawuf seperti Tasawuf di zaman Nabi dan Sahabat. Beliau adalah Arif Billah Ustadz Hussien Bin Abdul Latiff…
Selesai
Wassalamualaikum.