Nah…, dalam keadaan rohani yang masih bening seperti itu, barulah kemudian kita duduk IFTIRASY untuk bermohon kepada Allah. Kita bermohon pertolongan Allah atas hal-hal terpenting yang kita perlukan didalam hidup kita.
Rabbigfirlii…, Duhai Allah…, ampunilah hamba….
Dalam keadaan rohani seperti diatas, ungkapan permohonan ampun kita ini terasa begitu dalam. Begitu menghunjam menembus kedalaman rohani yang tak terbatas. Setelah ucapan itu kita tinggal duduk diam sejenak untuk menunggu Allah memproses jawaban-Nya atas do’a minta ampun kita itu. Kita jangan buru-buru untuk pindah mengucapkan do’a yang berikutnya. Diamlah sejenak.
Dalam sehirupan nafas kemudian, akan ada daya lembut yang turun membasuh rohani kita. Rohani kita seperti di celup (di shibgah) oleh daya yang turun tersebut. Segala beban rohani kita tercabut sampai keakar-akarnya. Dalam sehirupan nafas berikutnya, daya itu seperti diambil kembali oleh Allah dengan membawa serta semua beban, rasa bersalah, rasa berdosa yang tadinya ada dalam rohani kita. Yang tersisa kemudian hanyalah sebentuk rohani yang begitu lapang, tenang dan bening. Rohani yang pekat dengan rasa diampuni.
Munculnya rasa diampuni inilah jawaban Allah yang sangat jelas bisa kita rasakan. Andaikanlah kita bersalah kepada seorang yang jauh lebih kuat dari kita. Kita merendah mohon ampun kepadanya. Kita menunggu-nunggu jawaban orang tersebut atas permintaan maaf kita. Begitu orang tersebut memberi kita maaf. “Ya sudah…, kamu saya maafkan”. Alangkah lega rasanya dada kita ini. Masak jawaban Allah tidak punya bekas sedikitpun bagi kita. Sunguh benarlah kata Al Qur’an bahwa untuk bisa membaca bahasa Allah itu memang perlu rohani yang bening dan lapang. Bukan rohani yang keras membatu dan mati.
Dan yang sangat-sangat mencengangkan sebenarnya adalah, ketika kita dikemudian hari dihadapkan pada keadaan dimana 100 % atau bahkan lebih kita sangat-sangat punya kesempatan untuk melakukan keburukan yang sama dengan yang pernah kita lakukan dulu, namun anehnya tidak sedikitpun muncul rasa kita ingin kita untuk kembali melakukan perbuatan buruk itu. Kita seperti dihalangi Allah oleh untuk berbuat buruk itu. Yang namanya tidak ingin, walau kesempatan untuk itu sangat ada, ya…, kita tidak capek dan lelah sedikitpun.
Inilah sebagai tanda bahwa do’a kita: rabbigfirly…, dikabulkan oleh Allah. Dan ini akan sangat sesuai dengan Al Hadist. Bahwa salah satu syarat dari “taubatan nasuha” itu adalah kita tidak lagi melakukan kejahatan yang pernah kita lakukan dulu setelah kita bertaubat.
Dan ternyata ketidakmauan kita untuk melakukan ulang perbuatan buruk itu bukanlah sebagai hasil dari rekayasa fikiran dan rekayasa emosi kita sendiri. TIDAK sama sekali. Tapi itu adalah atas ampunan Allah dengan cara Allah mencabut sendiri keinginan berbuat buruk itu dari rohani kita. Proses itu berlangsung dengan tanpa daya dan tanpa usaha kita sedikitpun.
Begitulah cara Allah menjawab dan mengabulkan do’a kita. Rabbgigfirlii…, DERR.
Subhanallah…, sungguh Rabbigfirlii adalah sepenggal kalimat sederhana, namun dulu begitu sering terlontar dari celah bibir manusia agung, Muhammad Salallaahuu ‘alaihii wa sallaam dan para sahabat-sahabat terpilih Beliau.
________________________________________________________________________
CATATAN: Kenapa hanya para sahabat yang terpilih?. Jawabnya juga sederhana saja. Andaikan posisi rohani semua sahabat yang hidup sesudah wafatnya Rasulullah adalah tepat, maka tidak akan ada pembunuhan Usman bin Affan, tidak akan ada pembunuhan Ali bin Abi Thalib, tidak akan ada pembunuhan cucu-cucu Beliau yang sangat Beliau sayangi Hasan dan Husein, tidak akan ada perang Shiffin, tidak akan ada Syi’ah dan Sunni berikut dengan segala variannya. Tidak akan ada !. Tidak ada penggolongan-penggolongan islam. Islam ya Islam. Titik. Karena memang pada saat posisi rohani kita berada didalam “Rumah” yang sama. Semua adalah satu. Karena memang semua berasal dari RUH yang satu. RUH Milik Allah.
Sementara kalau kita berada didalam “Rumah Pikiran”, maka keramaian dan keriuhrendahanlah yang akan tercipta. Kita menjadi tanah-tanah yang selalu ramai dan ribut dengan berbagai perselisihan dan pertentangan pikiran dan persepsi.
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”, (Al Baqarah 213).
_______________________________________________________________________
Dan kalimat Rabbigfirlii itu ternyata akan mengantarkan siapapun yang membacanya (pada posisi rohani yang TEPAT) untuk menjemput celupan daya pengampunan total dari Allah.
Setelah itu barulah kita ungkapkan bait do’a iftirasy berikutnya…, Warhamnii…, sampai celupan Rahmat Allah yang kita mohonkan itu turun membasuh rohani kita dan setiap DNA kita.
Lalu adakah yang lebih baik dari Shibgah Allah (SHIBGATULLAH) …?.
Rabbigfirlii…, rabbigfirlii…, rabbigfirlii… DERR.
SELESAI….
Wallahu a’lam..
Deka
Jalan Kabel no 16, Cilegon
Jam 10:30, Hari 5, bulan 4, tahun 2010