Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Agustus, 2015

Alasan lain kenapa kita TIDAK memerlukan ilmu-ilmu diatas adalah bahwa hampir semua  ilmu-ilmu diatas, dengan sadar ataupun tanpa kita sadari, dengan sangat halus sekali tapi pasti, ternyata MALAH akan semakin mengukuhkan KEBERADAAN atau KEWUJUDAN kita baik dihadapan sesama manusia maupun dihadapan sesama ciptaan Allah yang lainnya, dan bahkan dihadapan Allah sekalipun.

Ciri-ciri utamanya dari adanya KEWUJUDAN dan KEBERADAAN kita itu adalah:

  1. Adanya pengakuan kita akan: “Aku dan Milikku…”. Milikku itu bisa beragam sifat yang kita rasa itu adalah milik kita. Sifat paling hebat yang bisa melekat erat pada diri kita adalah ILMU. Ini ilmuku…!. Dengan ilmu ini, maka segera saja kita akan berkata-kata kepada orang lain: “ini bisaku…, ini kemampuanku…, ini kehebatanku…, ini kesempurnaanku…”, dan sebagainya. Karena ada aku kita, maka harus ada kamu…, kamu…, kamu… lainnya sebagai alamat kita untuk menyatakan keakuan dan kepemilikan kita kepadanya. Harus ada pendengar yang akan mengagumi kehebatan kita. Harus ada korban yang akan mengakui kepemilikan kita. Dan harus ada pula kambing hitam yang nantinya akan kita jadikan tumbal sebagai penyebab dari penderitaan kita. Dan semakin banyak alamat itu, maka kita juga akan merasa semakin puas, senang, dan sumringah.

Keadaan ini tak ubahnya seperti jari telunjuk yang sedang berlagak kepada jari tengah, dan pada saat yang sama jari tengahpun bisa berlagak pula kepada jari telunjuk. Jari-jari bisa saling berlagak satu sama lainnya. Dan itulah yang terjadi pada hampir seluruh umat manusia saat ini. Si A berlagak kepada si B. Pada tingkat yang lebih besar, kelompok P berlagak kepada Kelompok Q. Bahkan pada tingkat dunia, Bangsa X bisa berlagak kepada Bangsa Y.

Pimpinan-pimpinan lembaga pemerintahan berlagak kepada rakyatnya, rakyatnya balik berlagak kepada pimpinannya. Organisasi ini berlagak kepada organisasi itu, dan organisasi itupun balik berlagak kepada organisasi ini. Begitu terus setiap masa. Jika semua orang sudah saling memiliki keakuan dan kepemilikan seperti ini, maka saat itu akan terciptalah sebuah keadaan yang sangat menekan. Dunia terasa sempit, pikiran kita terasa kacau, semua terasa menjadi masalah…

  1. Bila kita menghadapi berbagai masalah di dalam kehidupan kita, atau kita ingin mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, maka ilmu-ilmu diatas, terutama yang bernuansakan paradigma NAM, aliran yang mencampuradukkan praktek berbagai agama, akan mengajarkan kita jalan keluar yang menjauhkan kita dari Allah.

Misalnya, agar kita bisa terlepas dari berbagai masalah, kita cukup hanya melakukan meditasi atau semedi, atau melakukan perenungan dan konsentrasi-konsentrasi tertentu, atau merapalkan kalimat-kalimat tertentu, yang tujuannya adalah agar adanya penyatuan antara diri kita dengan Roh Kosmis atau Energi Alam Semesta. Kalaupun kita yang beragama islam masih shalat dan berdo’a, tapi shalat dan do’a kita itu sudah tidak begitu meyakinkan kita lagi akan kemanfaatannya. Tetap saja nantinya, Roh Kosmis atau Energi Alam Semesta itulah yang kita pecayai yang akan menyelesaikan setiap permasalahan kita, dan merealisasikan keinginan-keinginan kita itu. Sebab kita katanya hanya butuh melakukan penyatuan dan meleburkan diri dengan Roh Kosmis atau Energi Alam Semesta itu.

Kalaupun kita masih berdoa, itu karena kita masih mengaku orang beragama, dan dalam  berdo’a itu kita bisa pula sampai menangis tersedu-sedu, namun tangisan kita itu sudah BUKAN lagi karena kita TERKEJUT MELIHAT Kebenaran akan Keesaan dan Kebesaran Allah. Bukan…!. Tangisan kita itu adalah tangisan karena PLACEBO EFFECT saja. TENANG dan BAHAGIA kita setelah itupun adalah tenang dan bahagia karena PLACEBO EFFECT pula. Tangisan, tenang, dan bahagia yang muncul karena adanya sekresi HORMONAL dan CAIRAN tubuh kita saja.

Dan hasilnya adalah, kita lambat laun merasa sudah tidak perlu lagi melakukan hubungan (SHILATUN) yang sangat intens dengan Allah dalam bentuk do’a dan ibadah-ibadah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Kalau Rasulullah, setiap ada masalah Beliau pasti Shalat dua rakaat, dan setelah itu Beliau berdo’a, lalu Allah menjawab setiap permasalahanBeliau.

Akan tetapi anehnya adalah, Beliau TIDAK pernah berkata bahwa jabawan-jawaban dari Allah itu adalah sebagai hasil dari Beliau melakukan shalat dua raka’at dan berdo’a itu. Tidak pernah…, nanti akan kita bahas kenapa Beliau tidak pernah mengaku seperti itu.

Hal ini akan sangat berbeda dengan kita, ketika kita memakai ilmu-ilmu diatas saat kita menghadapi permasalahan.

Misalnya, ketika kita punya permasalahan yang sangat berat, atau hanya sekedar pikiran kita lagi kacau, kita jadi gelisah, stress, dan galau, yang katanya itu adalah keadaan yang BERGETARAN FORCE. Kita hanya perlu melakukan meditasi atau semedi dengan teknik-teknik tertentu, yang katanya praktek itu bisa mengubah GETARAN PIKIRAN dan PERASAAN kita menjadi BERGETARAN POWER.

Setelah itu.., eh pikiran kita benar bisa berubah menjadi tenang, dan bahagia. Lalu dengan nada sumringah dan penuh semangat kita akan berkata: “saya tadinya punya masalah sehingga saya stress bla… bla.. bla. Kemudian saya bisa tenang dan keluar dari permasalahan saya berkat meditasi atau semedi ala xyz yang saya lakukan, hebat memang meditasi xyz”.

Atau kita bisa berkata-kata: “yang saya lakukan hanya mengubah getaran pikiran dan perasaan saya menjadi getaran senang dan bahagia yang frekuansinya sekian Hz. Tadi itu pada awalnya getaran pikiran dan perasaan saya adalah Force lalu dengan teknik ini dan itu, saya mengubah getaran pikiran dan perasaan saya menjadi Power sesuai dengan apa yang diterangkan oleh David R. Hawkins. Betul dia itu, cobalah…!”, kata kita seperti tengah berpromosi kepada orang lain.

Setelah itu jadilah kita menjadi orang-orangnya David R. Hawkin atau pakar-pakar ilmu-ilmu lainnya seperti diatas. Kita akan yang selalu menggadang-gadangkan ilmu dan pencetus dari ilmu-ilmu tersebut. Kemanapun kita pergi, kita akan menjunjung dan menggusung nama dan pikiran mereka. Adakalanya nama kita, kita tambah-tambahi dengan gelar yang berjajar menandakan kita telah menguasai berbagai Ilmu yang layak disebut sebagai MOTIVATOR. Misalnya Yusdeka, CCTV, SCTV, RCTI, CHH, CHHT, MCHH, ONOZ, DN, KBHA, dan berbagai gelar lainnya.

Bahkan nama dengan segudang gelar dan ilmu itulah yang mengantarkan kita menjalani profesi kita dalam mengais rezeki untuk keluarga kita. Tidak saja orang awam, orang yang berpendidikan tinggi dan bahkan ustad sekalipun banyak pula yang tergoda untuk bersilancar dalam dunia seperti ini…

Bersambung

Read Full Post »

Oleh sebab itu hanya kitalah yang bisa berkata-kata bahwa jari-jari tangan itu adalah kita. Geraknya adalah gerak kita, bicaranya adalah bicara kita, lakuannya adalah lakuan kita. Kita berhak untuk berkata: “bukan kamu (jari telunjuk) yang memukul saat kamu memukul jari jempol itu, tapi aku yang sedang memukul diriku sendiri”, “bukan kamu (jari telunjuk) yang berkata-kata kepada jari jempol itu, tapi aku yang sedang berkata-kata kepada diriku sendiri”.

Mampu melihat dengan memakai Kacamata Makrifatullah itu memang akan sangat mengejutkan kita. Sebab kita sudah tidak melihat lagi nama-nama dari jari-jari yang saling berinteraksi itu. Kita sudah TIDAK melihat lagi nama-nama. Tidak ada lagi jari telunjuk, jari jempol, jari tengah, jari manis, dan jari kelingking. Ternyata perbedaan dari setiap jari itu hanyalah dalam hal SIFAT-SIFAT saja. Dan sekarang SEMUA SIFAT itu sudah lenyap kedalam HAKEKAT. Kita hanya akan melihat SATU WUJUD saja yang sedang saling berinteraksi, yaitu sedikit dari DIRI kita sendiri.

Begitu juga halnya ketika kita melihat hubungan antara Allah dengan seluruh Makhluk-Nya. Sebenarnya TIDAK TERPISAH antara Allah dengan SELURUH Makhluk-Nya. Makhluk-Nya adalah sebagian kecil yang teramat kecil dari DIRI atau Dzat Allah. Ketika seluruh Makhluk-Nya di gabung (MERGE) menjadi SATU WUJUD, maka wujud dari hasil penggabungan seluruh Makhluk-Nya itu besarnya terhadap Diri atau Wujud Allah yang sebenarnya hanyalah sebesar sebutir pasir yang berada dipadang-pasir yang sangat luas, atau seperti setetes air asin di dalam lautan.

Bahkan dalam teori Fisika Quantum, Dzat-Nya yang sedikit itu, yang merupakan Wajibul Wujud bagi seluruh Ciptaan, disebutkan itu lebih kecil lagi, yang dinamakan sebagai Partikel Higg-Bosson atau Partikel Tuhan. Namun begitu, sampai saat ini tetap saja partikel Higg-Bosson itu tidak terlihat dengan bantuan alat secanggih apapun juga, apalagi dengan hanya memakai mata telanjang saja. Kalaupun suatu saat nanti partikel itu bisa terlihat dengan bantuan teknologi yang sangat canggih, yang terlihat itu tetap hanyalah sedikit saja dari Dzat-Nya yang telah ditabiri-Nya dengan 70 lapis Tabir Cahaya (Cahaya diatas Cahaya, Cahaya yang berlapis-lapis).

Rasulullah Muhammad SAW pun telah mengkorfirmasi bahwa Dzat-Nya yang bisa kita lihat nanti di dalam syurga adalah Dzat-Nya yang telah dilapisi-Nya atau dilindungi-Nya dengan Tabir Cahaya itu. Seperti kita sedang melihat Bulan Purnama diantara jari-jari tangan kita saja.

“Abu Razin Al Uqail bertanya kepada Rasulullah saw: “ Adakah setiap kami akan melihat Allah swt?.” Baginda menjawab: Abu Razin, adakah kamu semua melihat bulan purnama?”. Saya menjawab, “Benar”. Baginda berkata, “Kamu semua tidak akan ada masalah melihat-Nya seperti bulan purnama, tetapi itu hanya kecil saja. Allah lebih Mulia dan lebih Besar daripada itu”. Translation of Sunan Abu Dawud Vol 3, 1324 (1990)

Sebab siapapun juga tidak akan pernah bisa melihat Dzat-Nya yang Asli. Siapa saja yang terpandang kepada KEAGUNGAN DZAT-NYA Yang MAHA INDAH, maka ia akan hangus terbakar, musnah…!.

Dengan begitu, maka semua ajaran, pemahaman, ataupun paradigma “pantheisme”: seperti “God is all and all is god” yang biasa digadang-gadangkan dalam Gerakan Zaman Baru (New Age Movement), atau Wahdatul Wujud (Allah adalah makhluk, makhluk adalah Allah) yang biasa dipakai dalam sebagian besar Tasawuf jalan Wali-Wali dan Tarekat, tidak punya pijakan sama sekali untuk kita pakai. Bahkan untuk mengatakan kalimat halus saja semisal “Allah adalah Bathin dari Makhluk, atau Makhluk adalah wujud Dzahir dari Allah” sungguh tidak pantas…

Bersambung…

Read Full Post »

Ya TIDAK perlu…, sebab di wilayah batas sepi dan rindu itu, semua ilmu-ilmu diatas sudah tidak ada gunanya lagi. Kita sudah tidak sempat lagi untuk mengingat-ingat dan merapal berbagai ilmu berikut dengan tetek bengeknya yang telah kita miliki selama ini.

Wilayah batas sepi dan rindu itu juga BUKANLAH wilayah dimana kita penuh dengan kesaktian, keperkasaan, kebisaan, keajaiban, keanehan, ataupun kedigjayaan. Tidak…

Wilayah itu hanya butuh satu hal saja, yaitu BERSERAH. Kita menyerahkan diri ke dalam Lakukan Dzat-Nya, dengan cara kita mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Menyerah untuk TIDAK WUJUD.

Kita menyerahkan diri untuk tenggelam dalam lautan Lakuan Dzat-Nya yang merupakan pembuktian dari ucapan kita di dalam shalat: Inna shalati…, wanusuki…, wamahyaya…, wamamati…, lillahirabbil’alamin…, laa syarikalahu….!. “… Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (ISLAM). (Al Anaam (6):162-163).

Di wilayah itu kita hanya butuh untuk senantiasa redha, sabar dan berpegang teguh kepada Allah. Karena saat itu kita sungguh dikejutkan oleh KEBENARAN akan KEWUJUDAN, KEBESARAN, dan KEKUASAAN ALLAH. Kita jadi MALU untuk mengaku-ngaku. Sebab ternyata keberadaan kita sebenarnya adalah TIADA. Kita tidak wujud. Yang Wujud adalah Dzat-Nya semata-mata. Kita ada hanyalah karena penzhahiran atas Lakuan Dzat-Nya.

Memandang dengan memakai Kacamata Makrifatullah ini akan mengantarkan kita kepada pemahaman yang JATI. Bahwa sebenarnya Allahlah yang sedang bersenda gurau dengan sedikit Dzat-Nya, sehingga terciptalah sebuah Panggung Sandiwara Dzat-Nya yang akan selalu berjalan SESUAI dengan apa yang telah Dia rencanakan di dalam LAUHUL MAHFUZ sejak Firman KUN sampai pada WAKTU yang telah ditentukan-Nya.

Mata hati kita telah menjadi sangat tajam dan awas dalam melihat dan memaknai segala ciptaan, setiap peristiwa, dan semua kejadian. Bahwa kemanapun mata kita memandang, mata hati kita hanya melihat SATU PEMAIN TUNGGAL saja. Yaitu DZAT-Nya yang sedikit. Mata hati kita hanya melihat bahwa Dzatlah yang sedang beraksi di dalam bingkai Lauhul Mahfuz. Yang Bathin adalah Dzat-Nya, Yang Dzahir juga adalah Dzat-Nya.

Setiap kali mata kita melihat kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa, dengan memakai Kacamata Makrifatullah, maka bagi kita semua itu tidak lebih hanyalah interaksi antara Dzat dengan Dzat saja. Seperti kita sedang melihat jari-jari tangan kita yang saling berinteraksi satu sama lainnya. Seperti jari Telunjuk sedang memukul jari Jempol. Seperti jari Telunjuk dan jari Jempol sedang mencubit jari Tengah. Seperti kelima jari tangan kita sedang saling berpilin-pilin dan saling bergurau canda memerankan Peran yang telah ditentukan untuk masing-masing jari-jari tangan kita tersebut.

Adakalanya antara satu jari dengan jari-jari yang lainnya sedang memerankan peran yang saling sayang-menyayangi, saling cinta-mencintai, saling tolong-menolong, saling bela-membela, saling bersahabat dan bekerja sama. Akan tetapi pada saat yang lain, jari-jari itu juga bisa menjalankan peran yang saling pukul-memukul, saling menekan dan menghindar, saling maki-memaki, saling marah-memarahi, saling hina-menghina, saling siksa-menyiksa, bahkan saling bunuh membunuh dan hancur-menghacurkan.

HUBUNGAN antara kita (semua umat manusia dari zaman dulu, sekarang, dan zaman yang akan datang) dan bahkan antara semua ciptaan yang lainnya dengan Allah adalah ibarat jari-jari tangan kita dengan diri kita. Tidak terpisah antara jari-jari tangan kita dengan diri kita. Akan tetapi jari-jari tangan kita itu hanyalah SEDIKIT BAGIAN saja dari KESELURUHAN diri atau tubuh kita.

Jari-jari tangan kita tidak bisa berkata bahwa ia adalah kita atau mengaku bahwa lakuannya adalah mewakili kita. Sehingga jari telunjuk tidak bisa BERKATA atau MENGAKU kepada jari jempol bahwa apa-apa yang dia lakukan itu adalah lakuan kita. Bahkan jari telunjuk itu tidak berhak untuk mengatakan bahwa apa-apa yang dilakukannya itu adalah lakuan yang mewakili lakuan kita. Tidak berhak.

Saat jari telunjuk memukul jari jempol, ia tidak berhak untuk berkata bahwa yang memukul itu bukanlah dia, tapi kita. Ia tidak berhak untuk berkata: “bukan aku (telunjuk) yang memukul saat aku (telunjuk) memukulmu wahai jari jempol tapi yang memukul adalah Yusdeka”. Dia juga tidak berhak untuk berkata bahwa lakuannya saat memukul jari jempol itu adalah dalam rangka mewakili lakuan kita. Ia tidak berhak untuk berkata: “aku memukul dan berbicara denganmu wahai jari jempol adalah MEWAKILI Yusdeka dalam memukulmu dan berbicara denganmu”. Tidak bisa begitu…

Karena apa-apa yang sedang dilakukan oleh jari telunjuk itu hanya sedikit bagian saja dari kemampuan kita yang sebenarnya. Dan jari telunjuk itu sebenarnya juga tidak melakukan apa-apa. Ia hanya pasif saja. Gerak dan aktifitasnya adalah kita yang melakukan, wujudnya juga adalah sedikit bagian saja dari diri kita. Adanya jari-jari tangan itu adalah karena adanya sedikit dari diri kita yang berwujud jari-jari.

Bersambung…

Read Full Post »

Yamas Indonesia - 2

Sebuah WADAH untuk menyebarkan MAKRIFATULLAH sebagai FONDASI dalam setiap IBADAH serta LAKUAN…

Untuk bisa DZIKRULLAH (Mengingat Allah) kita wajib untuk bisa Makrifatullah (mengenal Allah)…

Saat Syahadat kita wajib untuk bisa Mengingat Allah…

Saat Shalat kita wajib untuk bisa Mengingati Allah…

Saat berpuasa kita wajib untuk bisa Mengingati Allah…

Saat berzakat kita wajib untuk bisa Mengingati Allah…

Saat Melaksanakan Haji kita wajin untuk bisa Mengingati Allah..

Bahkan:

Saat berdiri kita wajib untuk bisa Mengingati Allah…

Saat duduk kita wajib untuk bisa Mengingati Allah…

Saat tiduran kita wajib untuk bisa Mengingati Allah…

Saat berdagang kita wajib untuk bisa Mengingati Allah…

Saat bekerja kita wajib untuk bisa Mengingati Allah…

Mengingati Allah akan membuat HATI kita BERSIH dari ingatan kepada yang selain Allah…

Mengingati Allah akan membuat HATI kita TENTERAM dari segala gejolak dan kocakan…

Mengingati Allah akan membuat HATI kita BERCAHAYA…

HATI yang bersih akan membuat RUH menggigil..

HATI yang tenteram akan membuat RUH bergegar…

Hati yang bercahaya akan membuat RUH berloncatan…

Hati yang bersih akan mampu menangkap ilham TAKWA…

Hati yang tenteram akan mampu menangkap Adzkurkum ALLAH…

Hati yang bercahaya akan mampu menangkap KEBENARAN akan KEBESARAN, KEWUJUDAN, dan KEKUASAAN ALLAH…

Ketika KEBENARAN itu sudah TERSINGKAP…,

MATA HATI semata-mata hanya akan melihat LAKUAN DZAT…

Maka sebenarnya:

Yang MELEMPAR adalah DZAT…

Yang DILEMPAR adalah DZAT

Yang MEMBUNUH adalah DZAT…

Yang DIBUNUH adalah DZAT…

Yang MENCACI adalah DZAT…

Yang DICACI adalah DZAT…

Yang KAFIR adalah DZAT…

Yang BERIMAN adalah DZAT…

Yang MAKAN dan MINUM ada adalah DZAT

Yang DIMAKAN dan DIMINUM adalah DZAT…

Dan sebenarnya Allahlah yang sedang BERGURAU SENDA dengan SEDIKIT DZAT-NYA itu…

Seperti GAJAH yang sedang menggoyang-goyangkan EKORNYA…

Ada MASALAH…?.

Salam….

Read Full Post »

Namun, untuk mengetahui bagaimana KEADAAN dan HAKEKAT yang dialami oleh semua orang-orang istimewa diatas, kita tidak perlu terlebih dahulu mengetahui ilmu-ilmu yang sangat rumit. Kita juga tidak perlu terlebih dahulu melakukan praktek-praktek yang kesannya terlalu mengada-ada. Misalnya:

1. Kita tidak perlu masuk terlebih dahulu ke dalam sebuah tarekat untuk berzikir yang jumlahnya ratusan ribu kali;
2. Kita tidak perlu terlebih dahulu berkenalan dengan pengolahan dan pembersihan lathaif-lathaif;
3. Kita tidak perlu mengerti terlebih dahulu tentang Nur Muhammad;
4. Kita tidak perlu belajar terlebih dahulu tentang Sifat 20 untuk membahas apa-apa yang wajib dan yang mustahil bagi Allah, seperti membahas sifat Wujud, Qiyam, Baqa dan sebagainya;
5. Kita tidak perlu terlebih dahulu belajar tentang Martabat 7 untuk mengetahui Alam Ahadiyat, Alam Wahdah, Alam Wahidiyat, Alam Ruh, Alam Misal, Alam Ihsan,dan Insan Kamil.
6. Kita tidak perlu terlebih dahulu mengetahui tentang Alam Malakut yang konon katanya itu adalah maqAq ruhaniyah di wilayah kebajikan yang hakiki atau rasa jiwa yang sejati. Konon disanalah dunia Ruh yang hanya merindukan dan menghendaki Allah semata (tanzih), dan disanalah taman jiwa yang hakiki, dengan keindahan Asma’ dan sifatNya Allah yang terpantul dalam hamparan Ruh kekasih Allah. (?)
7. Kita juga tidak perlu terlebih dahulu mengarungi alam Jabarut dan Alam Jabarut, yang konon katanya itu adalah Alam Ilahi yang menjadi hamparan Ma’rifatullah. Di dalam alam ini seluruh elemen SATU DALAM BANYAK DAN BANYAK DALAM SATU, menjelma dalam penyucian tasbih kepada Allah semata. Dunia Rahasia Ilahi. Dan diatas Alam Jabarut masih ada lagi Alam Lahut, Alam Hahut dan Alam Bahut serta Alam Ahut. (?).
8. Kita tidak perlu terlebih dahulu melakukan Rabithah dengan cara MENGAITKAN ruhani kita dengan seseorang yang kita anggap sebagai Mursyid, Syeikh, atau orang-orang yang kita anggap sebagai guru spiritual kita.
9. Kita tidak perlu terlebih dahulu membayang-bayangkan wajah mereka sebelum kita melakukan sebuah ritual dzikir.
10. Kita tidak perlu terlebih dahulu BERTAWASUL untuk mendekatkan diri atau memohon kepada Allah SWT dengan melalui WASILAH (perantara) orang-orang yang memiliki kedudukan baik di sisi Allah SWT.
11. Kita tidak perlu berkoar-koar terlebih dahulu untuk mendirikan sebuah negara yang berdasarkan Syariat Islam dan menjalankan Khilafah Islamiah;
12. Kita tidak perlu terlebih dahulu menyata-nyatakan bahwa kita adalah orang yang menjalankan syariah sesuai dengan Al Qur’an dan Al Hadist;

13. Kita juga tidak perlu membuat-buat tafsir lebay dalam memaknai sebuah peristiwa, misalnya (disadur dari sebuah sumber di Web) dalam memaknai ular yang menggigit tangan Abu Bakar As Siddiq Ra, ketika beliau dan Rasulullah bersembunyi di dalam Gua Tsur saat Rasulullah berangkat Hijrah ke Medinah dan Beliau berdua dikejar-kejar oleh kaum quraisy untuk dibunuh.

“Adakah kita mempersalahkan si Ular yang hendak keluar? Mengapa ia sampai hati menggigit tangan Abu Bakar yang sedang melindungi Utusan Allah untuk semua makhluk termasuk ular ini?

Saat Rasulullah shallallahu alayhi wasallam masuk ke dalam gua, seisi gua menjadi terang karena nur beliau. Ular yang ada di dalam liangnya itupun melihat itu, cahaya yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Ia mengerti manusia yang masuk ke dalam gua adalah Muhammad, utusan Allah yang menjadi rahmat bagi seluruh isi alam. Terbesit rasa rindu dalam “hati” si ular hingga ia berusaha keluar untuk melihat langsung kekasih Allah yang mulia itu. Namun Abu Bakar menghalang-halanginya, hingga ia pun terpaksa menggigit tangan Abu Bakar, walaupun ia tahu bahwa Abu Bakar adalah orang yang melindungi Sang Pujaan hatinya. Ia rindu, serindu-rindunya kepada Rasulullah shallallahu alayhi wasallam”.

14. Kita juga tidak perlu terlebih dahulu bersentuhan dengan berbagai ilmu modern yang (tanpa kita sadari) ternyata itu akan memisahkan kita semakin jauh dengan serba-serbi yang berkenaan dengan Allah dan semakin melemahkan kita untuk menjalankan ibadah-ibadah yang di contohkan oleh Rasulullah.

Ilmu-ilmu itu antara lain adalah Ilmu Hipnotis / Hipnotherapy; NLP; Ilmu otak kiri – otak kanan; ilmu pikiran sadar, bawah sadar, dan supra sadar; ilmu mengatur-ngatur pikiran positif dan pikiran negatif; ilmu quantum-quantuman; ilmu getaran-getaran; ilmu qalbu-qalbuan; ilmu cakra-cakraan, ilmu meditasi-meditasian, ilmu bahagia-bahagiaan, ilmu tenang-tenangan, ilmu kenal diri-dirian (Nafs-Nafsan, Nafas-Nafasan, atau Napas-Napasan); Ilmu perjalanan rohani-rohanian; dan berbagai ilmu lainnya yang sekarang ini memang sedang menjadi “trending topic” di tengah-tengah masyarakat.

Kenapa TIDAK PERLU??.

Bersambung

Read Full Post »

2. Nabi Yunus AS, Nabi Musa AS, Ibrahim AS, Masyitah…, sampai dengan Nabi Muhammad SAW

Nabi Yunus As juga mengalami proses yang membawa Beliau masuk ke wilayah batas sepi dan rindu yang sangat ekstrim. Mulai dari penyeruan Beliau terhadap kaum Niwana agar mereka mau menyembah Allah sebagai Tuhan mereka, dan agar mereka mau meninggalkan perbuatan maksiat yang saat itu sangat merajalela ditengah-tengah umat tersebut. Akan tetapi kaum tersebut menolaknya sehingga Allahpun menakdirkan umat tersebut untuk mengalami azab berupa badai yang sangat menghancurkan.

Nabi Yunus As, dengan izin dan takdir Allah, melarikan diri dari umat Beliau tersebut sampai ke sebuah pantai. Kemudian Beliau naik ke dalam sebuah kapal yang akan berlayar meninggalkan pantai tersebut. Ditengah perjalanan, terjadilah badai yang sangat hebat sehingga sebagian muatan kapal tersebut harus dibuang kelaut, termasuk beberapa penumpangnya. Dengan proses pengundian berkali, kali, selalu saja Nabi Yunus As yang terpilih untuk dibuang kelaut. Walhasil, akhirnya Nabi Yunus pun dilemparkan ke dalam laut yang sedang bergelora tersebut. Dan saat itulah Beliau ditelan oleh ikan NUN atau Paus.

Kita tidak akan berbicara tentang keajaiban atas bagaimana Nabi Yunus bisa tetap hidup selama beberapa waktu di dalam perut ikan NUN itu dan bagaimana proses keluar Beliau dari dalam perut ikan itu. Kita tidak akan berbicara tentang Mukjizat-Mukjizat. Kita hanya akan melihat bagaimana KEADAAN beliau saat itu yang berada di di wilayah batas sepi dan rindu, dan apa HAKEKAT dari semua kejadian yang dialami oleh Nabi Yunus.

Sebab KEADAAN dan HAKEKAT dari apa-apa yang dialami oleh Nabi Yunus AS itu, sama persis dengan: Keadaan dan Hakekat yang di alami oleh Nabi Musa AS ketika Beliau dan kaumnya terkepung antara Lautan didepan Beliau dan Pasukan Fir’uan di belakang Beliau yang sedang mengejar-ngejar Beliau untuk dibunuh oleh Fir’aun dan pasukannya; Keadaan dan hakekat yang dialami oleh Nabi Ibrahim ketika Beliau dilemparkan kedalam kobaran api yang menyala-nyala oleh Raja Namrut; Keadaan dan hakekat yang dialami oleh Masyitah (tukang sisir rambut Ratu Fir’aun) dan anak-anaknya ketika Beliau dimasukkan kedalam kuali besar yang berisikan minyak yang sedang bergejolak dan mendidih saking panasnya; Keadaan dan hakekat yang dialami oleh Nabi Yusuf tatkala Beliau dibuang oleh saudara-saudara Beliau ke dalam sumur ditengah-tengah padang pasir; Keadaan dan hakekat yang dialami oleh Nabi Ya’kub ketika Beliau menghadapi perilaku anak-anak Beliau terhadap Nabi Yusuf.

Bahkan Keadaan dan Hakekat yang dialami oleh semua Beliau itu, tidak jauh berbeda dengan apa-apa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW: Ketika Ibu dan Bapak Beliau diwafatkan oleh Allah; Ketika Istri Beliau, Khadijah Ra, dan paman Beliau (Abdul Muthalib) di wafatkan oleh Allah; Ketika Beliau bersama Ali bin Abi Thalib Ra dikepung oleh kaum musyrikin Mekkah untuk dibunuh; Ketika Beliau dan Abu Bakar Siddiq Ra terkepung oleh kaum kafir Mekkah di Gua Tsur saat Beliau mau Hijrah ke Medinah; Ketika Beliau beliau terluka dalam perang Uhud sehingga Beliau hanya bisa duduk bersandar pada sebuah batu di dalam perut gua di gunung Uhud itu; dan… ketika Beliau berada di dalam Gua Hira sebelum Beliau menerima Wahyu.

Untuk kali ini kita hanya akan membahas tentang apa dan bagaimana KEADAAN dan HAKEKAT yang dialami oleh para orang-orang terpilih tersebut diatas sebagai bahan Pelajaran bagi orang-orang yang BERAKAL.

Bersambung

Read Full Post »

Mengkonfirmasi Takdir ?

Dari Bang Steria Anam:
Maaf sebelumnya pak deka, dalam sarahan utz hussein yang menurut saya cukup ekstrem.

Beliau mengatakan bahwa ketika Rasulullah mi’raj dan berdialog dengan dengan Allah sebenarnya juga sudah ditentukan dari awal penciptaan termasuk isi dialognya, maksudnya seperti rekaman film. Bukan sekedar ditakdirkan bertemu saja sedangkan dialognya spontaneously…

Bagaimana mengkonfirmasi hal seperti ini?

Klopun utz hussein bertemu Rasulullah dan melihat Lauh Mahfuz seperti yang beliau jelaskan secara implisit apakah bisa menjelaskan hal itu?

Sementara Rasulullah sendiri tidak menjelaskannya atau hal itu hanya persepsi utz hussein saja?…

—-$$—-

Dari Bang Bunisora Deva Nagari:
Maaf pak Deka, saya salahsatu yang meyakini adanya Nur Muhamad(bkn brarti sy brfaham sprti itu) tapi fahaman yang saya dapatkan tidak seperti yang pak Deka uraikan. Untuk yang lain nya saya sangat setuju dengan pandangan pak Deka tentang ‘penzahiran Dzat yang sedikit’. __/\__ Salam…

—-&&&—-

Bang Sterie dan Bang Bunisora, saya akan bahas pernyataan maaf abang diatas dalam sebuah artikel berikut ini….

Bang Sterie dan Bang Bunisora yang baik, bagi saya selama dalilnya ada, ya nggak masalah pak. Keterangan Ustad Hussien yang lebih dalam tentang semua itu adalah sebuah Ijtihad Beliau dari ILHAM yang Beliau dapatkan dari Allah setiap Beliau mau memberikan Syarahan.

Bagi Rasulullah Muhammad SAW, bukti kerasulan Beliau adalah Al Qur’an dan ajaran Beliau yang akan membuat hidup kita: so lite, so easy, and so fun, yang dalam bahasa arabnya diistilahkan: la khaufun la tahzan.

Bagi ustad Hussien, bukti kearifbillahan Beliau adalah ajaran atau syarahan Beliau yang ternyata bagi saya dan murid-murid Beliau yang lain kembali membawa kami seperti kembali keajaran Rasulullah SAW seperti diatas. Hidup ini menjadi begitu indah, fun, lite, dan easy.

Betapa tidak, setiap melihat sesuatu, mata hati saya melihat Lauhul Mahfuz yang sedang berjalan. Betapa sempurnanya rencana Allah. Betapa harmoninya ketentuan Allah. Betapa teguhnya rencana Allah. Betapa mengagumkan hikmah yang terkandung di dalam setiap peristiwa. Betapa pastinya setiap kejadian untuk terzhahir pada waktunya. Betapa kokohnya Allah menjaga agar tidak ada seorangpun yang bisa MENGAKU bahwa seseorang itu bisa mengubah rencana yang telah Dia TETAPKAN.

Setiap tanya “kenapa” yang mau terlontar dari mulut ini untuk mempertanyakan takdir, langsung saja ayat Al Qur’an yang berbunyi: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui…”, menggelegar membungkam hati yang sedang mulai berani angkuh untuk mempertanyakan kemahasempurnaan rencana Allah.

Padahal pertanyaan itu muncul karena kita sudah terbiasa memakai satu ayat untuk membunuh ayat yang lainnya. Atau kita terbiasa memenggal satu ayat dan meninggalkan penggalan ayat yang lainnya.

Misalnya Ar Ra’d ayat 11 yang berkenaan dengan “takdir dan usaha kita”, yang sangat populer kita pakai adalah” Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…”. bahasannya selalu berhenti disini, sehingga tanpa kita sadari kita jadi merasa bisa untuk mengubah keadaan kita sendiri dengan usaha yang kita lakukan. Kita merasa bisa berusaha.

Padahal, sambungan dari penggalan ayat itu berbunyi: “Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat untuk menolaknya, dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. Ayat ini sungguh mengacu kepada suatu KEPASTIAN tentang takdir Allah.

Artinya, perubahan keadaan yang akan terjadi pada diri kita, itu akan terjadi setelah tangan kita bergerak, kaki kita melangkah, dan lidah kita berucap, untuk merealisasikan perubahan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah untuk terjadi pada kita. Setiap perubahan yang terealisasi oleh pergerakan tangan, kaki, dan lidah kita, maka itulah realisasi dari perubahan takdir yang telah ditetapkan dan dituliskan Allah untuk kita. Prosesnya pun dimulai dari Ilham yang diturunkan oleh Allah kedalam AQAL atau HATI kita yang wujudnya biasanya adalah berupa sebuah “bibit pikiran”.

Kalau Allah telah menetapkan sesuatu keadaan bagi kita untuk terzhahir, maka Allah akan menahan bibit pikiran itu untuk tetap bertahan dan bercokol di dalam Aqal atau Hati kita. Betapapun orang lain menasehati atau mengajari kita agar kita mau berubah dari keadaan kita sekarang, selama Allah belum menakdirkan kita untuk berubah, maka nasehat atau pengajaran orang lain itu tidak akan bisa mengubah keadaan kita. Sebab tangan, kaki, dan lidah kita masih akan tetap hanya akan menzhahirkan apa-apa yang telah ditetapkan Allah untuk terzhahir dari tangan, kaki, dan lidah kita.

Dzat-Nya yang ada di tangan kita, di kaki kita, di lidah kita, di otak kita, akan memastikan bahwa apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk terjadi pada diri kita itu akan terzhahir tepat pada waktunya.

Dengan memahami cara pandang takdir seperti ini, yang awalnya atau basiknya disyarahkan oleh Ustad Hussien, maka cara hidup saya ternyata juga jadi berubah dengan sangat drastis. Saya akan melihat segala sesuatunya sebagai “pandangan orang luar” saja. Saya akan menjadi objektif dalam memandang segala sesuatu. Bahwa semua yang terjadi, itu adalah Perlakuan Allah terhadap Dzat-Nya sendiri.

Bang Sterie dan Bang Bunisora tidak perlu minta maaf kepada saya gara-gara abang berdua berbeda pendapat dengan apa yang saya tulis. Tidak perlu minta maaf. Karena abang menulis itu, juga adalah apa yang sudah ditakdirkan oleh Allah untuk terdzahir dari tangan abang.

Cobalah lihat, disebalik diri abang ada Dzat-Nya, disebalik diri saya juga ada Dzat-Nya. Dan Dzat-Nya itulah yang memastikan tulisan saya dan tulisan abang-abang untuk terzhahir.

Untuk siapa tulisan-tulisan itu?. Ya untuk diri kita dan diri-diri yang lain lagi, agar mereka bisa pula mendapatkan pelajaran…, Bukankah disebalik diri-diri yang lain itu juga ada Dzat-Nya?.

Jadi, semua itu  semata-mata hanyalah permainan Dzat-Nya yang sedikit saja, yang sedang dimain-mainkan dan digurausendakan oleh Allah.

Dan dengan memakai paradigma yang diajarkan oleh Ustad Hussien bahwa semua permainan dan senda gurau itu sudah ditulis dan digambarkan oleh Allah di Lauhul Mahfuz sejak dari Firman Kun, maka TIDAK ada lagi, walau sedikitpun, ruang yang tersedia bagi kita untuk mengaku WUJUD, untuk mengaku BISA apa-apa, dan untuk mengaku PUNYA apa-apa… Dan.. kalau sudah tidak punya apa-apa, maka kita juga tidak akan pernah kehilangan apa-apa. Bukankan ini sebenarnya realitas dari Fana?. Realitas dari Rukun Iman ke-6 ?.

Itu satu hal. Hal lain yang saya rasakan setelah mengikuti Syarahan dan Praktek Dzikrullah dengan Beliau adalah, apa-apa yang berkenaan dengan Dzikrullah, yang selama ini membingungkan saya, dengan sangat mengejutkan berubah menjadi terang benderang.

Sekarang saya benar-benar seperti sedang menjunjung ingatan kepada Allah kemana-mana seperti seorang perempuan desa yang menjunjung rantang atau “talam (dalam bahasa minang)” diatas kepalanya.

Dengan menjunjung ingatan kepada Allah seperti itu, Terasa sekali Ruh menjadi sangat senang dan tenang. Setiap ada balasan ingatan dari Allah, Ruh akan menggigil kedinginan yang terasa sampai keseluruh tubuh, terutama di wilayah dada.

Setiap ada ingatan yang selain ingatan kepada Allah menyelinap masuk kedalam Aqal atau hati, saya hanya menebasnya dengan pedang tauhid: Allah tidak serupa dan tidak seumpama (laisa kamistlihi syaiun), sehingga Aqal atau Hati ini menjadi sangat bersih, dan tenteram. Karena Hati ini terasa hanya diisi penuh dengan ingatan kepada Allah. Sampai Aqal atau hati ini rasanya menjadi pejal dan kaku.

Dan yang lebih menakjubkan lagi adalah, dengan aqal atau hati yang selalu dipenuhi oleh ingatan kepada Allah, di dalam shalat rasanya sungguh tak terbayangkan sebelumnya. Apa-apa yang selama ini hanya menjadi impian saya belaka, ternyata di dalam shalat itu memang ada realitasnya pahalanya, realitas jawaban-jawaban Allah atas bacaan, rukuk, dan sujud kita.

Begitu juga sedekah ada realitas pahalanya, membaca Al Qur’an ada realitas pahalanya, kebaikan ada realitas pahalanya. Bahkan perbuatan fujur pun ada realitas realitas dosanya…

Demikian untuk Bang Sterie.

Sedangkan untuk Bang Bunisora, silahkan abang memakai Paham Nur Muhammad. Itu adalah takdir abang sendiri. Abang akan dipaksa oleh Allah untuk tetap berada disana selama Allah belum menakdirkan abang untuk berubah. Bagi saya itu bukan urusan saya.

Saya dulu juga berada disana, yang ternyata itu adalah hal yang sangat dekat dengan Paham Wahdatul Wujud. Tapi Allah menakdirkan saya meninggalkan Paham itu dengan jalan mengenalkan saya kepada Ustad Hussien BA Latiff.

Untuk selanjutnya bagaimana?. Saya tidak tahu… Saya saat ini hanya bisa berserah kepada Allah (Islam)…. Saya hanya sedang menikmati betapa hidup dalam agama yang dibawa oleh Rasulullah ternyata SO BEAUTIFUL, SO FUN, SO EASY, AND SO LITE…, semuanya telah diatur Allah untuk kita….

salam…

Read Full Post »

Perbedaan Pada Paham-paham ini, bukan hanya sebatas pada BAHASA saja, tetapi juga sangat berbeda dalam hal pendalaman lelakunya. Intinya adalah sebagai berikut:

1. Pada Paham Nur Muhammad, segala sesuatu yang berkenaan dengan ciptaan berhubungan terlebih dahulu dengan Nur Muhammad. Ciptaan adalah Nur Muhammad dan Nur Muhammad adalah Ciptaan. Kenal dengan Nur Muhammad, dan telah dapat pula berhubungan (tersambung) dengan Nur Muhammad, barulah setelah itu seseorang bisa berhubungan pula dengan Allah. Dan yang bisa tersambung dengan Nur Muhaammad itu hanyalah Guru-guru Mursyid yang Kamil Mukamil saja, yang silsilahnya tersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Sambungan itu adalah melalui GETARAN ROHANI dari Mursyid ke grand-grand mursyid sebelumnya. Kasihan sekali kalau begitu bagi siapa yang tidak punya mursyid…, dia tidak akan pernah bisa tersambung dengan Allah… &&&&

2. Pada Paham Wahdatul Wujud, segala sesuatu yang berkenaan dengan ciptaan adalah manifestasi dari Allah. Tidak ada lagi perbedaan antara Allah dan ciptaan. Allah bisa beremanasi kepada ciptaan. Ciptaan bisa manunggal dengan Allah. Besi panas sudah tidak ada bedanya lagi dengan Api. Dia adalah aku, aku adalah Dia. Hanya orang-orang khusus, Mursyid yang kamil mukamil, yang mempunyai silsilah tersambung kepada Rasulullah, pulalah yang akan bisa membuat seseorang bisa tersambung dengan Allah melalui hubungan getaran Rohani. Tanpa bantuan getaran rohani mereka seseorang tidak akan pernah bisa mengenal Allah dan tersambung kepada Allah. &&&

3. Pada Paham Dzatiyah, segala sesuatu yang berkenaan dengan Ciptaan HANYALAH berhubungan dengan Dzat-Nya yang sedikit saja, yang besarnya tidak lebih dari ukuran sebutir pasir dibandingkan dengan padang pasir, atau setetes air masin di dalam lautan.

Akan tetapi TIDAK terpisah Dzat-Nya yang sedikit itu dengan Dzat-Nya yang Keseluruhan, seperti tidak terpisahnya diri kita dengan kuku tangan atau jari tangan kita.

Semua ciptaan dan peristiwa yang dialami oleh ciptaan itu adalah penzhahiran dari apapun yang telah ditetapkan oleh Allah terhadap Dzat-Nya yang sedikit itu. Sedangkan Dzat-Nya yang Maha Besar adalah Maha Suci dari segala persepsi, prasangka, dan peristiwa-peristiwa. Dari sisi pandangan Makhluk, apapun yang terjadi terhadap Setiap Makhluk, apapun yang dilakukan oleh Setiap Makhluk, itu tak lebih dan tak kurang adalah Penzhahiran dari aktifitas atau Af’al Allah yang telah Dia TETAPKAN semenjak Firman Kun terhadap Dzat-Nya yang sedikit sahaja.

Jadi tidak ada tempat sedikitpun tempat bagi makhluk, walau yang sehebat apapun juga, untuk mengatakan bahwa apapun yang dia lakukan, itu adalah perbuatan atau Af’al Allah. Misalnya, dia mengaku bahwa perkataannya adalah perkataan Allah, atau perbuatannya adalah perbuatan Allah, apalagi untuk mengatakan bahwa dirinya adalah Diri Allah. Tidak bisa.

Paling banter kita hanya bisa berkata: Alhamdulillah, subhanallah, laa ilaha illallah, Allahu Akbar, lahaula wala quwwata illa billah, insyaallah…, dan yang sejenisnya.

Akan tetapi dari sisi pandangan Allah, Dia berhak mengatakan bahwa semua aktifitas makhluk, semua peristiwa yang terjadi terhadap makhluk-Nya, itu adalah Aktifitas atau Af’al-Nya sendiri terhadap Diri-Nya sendiri. Sebab semua ciptaan itu adalah bagian yang sangat sedikit atau kecil sekali dari Dzat-Nya yang Maha Indah, Yang Maha Besar.

Misalnya, saat seseorang sakit: Allah berhak berkata: “Aku sakit, kenapa tidak ada satupun dari kamu yang mengunjungi Aku?…”. Allah sangat bisa berkata seperti itu.

Walau ada tujuh milyar orang yang sakit, Allah tetap bisa berkata bahwa yang sakit tujuh milyar orang itu adalah Diri-Nya. Sebab tujuh Milyar manusia itu tak lebih dari hanya bagian yang sangat kecil saja dari Dzat-Nya yang sedikit.

Akan tetapi bagi kita yang sedang sakit, TIDAK ADA ruang sedikitpun bagi kita untuk berkata: “yang sakit ini bukanlah aku, tapi yang sakit adalah Allah”. Nggak bisa begitu…, nanti setiap orang bisa menjadi Allah, sehinga Allah bisa menjadi tujuh Milyar banyaknya.

Untuk berhubungan dengan Allah, kita cukup hanya mengikuti proses: Mengenal Allah (Makrifatullah, pembukaan pintu Makrifatullah, dan Lauhul Mahfuz yang akan membawa kita beriman penuh kepada takdir atau rukun iman ke-6) dalam sekali atau beberapa kali Syarahan atau Kuliah Umum, setelah itu diajarkan pula tentang Hati dan Mata Hati, lalu diajarkan pula lebih lanjut tentang Dzikrullah (mengingati Allah), Ibadah, Keredhaan, dan Arah Tujuan Umat. Lalu semua ibadah dan aktifitas yang kita lakukan kita bingkai dengan Ingatan kepada Allah secara istiqamah.

Dan setelah itu tidak ada akan lagi kejahilan insyaallah…

Read Full Post »

Berikut ini adalah Perbandingan Intisari Ilmu Makrifatullah dari tiga zaman. Silahkan lihat diri kita masing-masing, dibagian manakah kita berada?.

Deka On Behalf of Rio Benny Arya

Slide1

Slide2

Slide3

Read Full Post »