Feeds:
Pos
Komentar

Archive for April, 2016

MENGURAI DIRI

“Dialah yang menciptakanmu dari SATU DIRI”, Q.S. Al-A’raf 189,

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani menjadi segumpal darah, menjadi segumpal daging yang diberi bentuk dan yang tidak berbentuk, untuk Kami perlihatkan kekuasaan Tuhanmu.”Q.S. Al-Hajj ayat 5.

Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (al Mu’minuun 14), dan ayat;

“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kepadanya RUH (CIPTAAN) -NYA dan Dia menjadikan bagi kamu PENDENGARAN, PENGLIHATAN dan HATI; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. As Sajdah ayat 7-9, dan ayat;

Ayat-ayat Al Qur’an diatas adalah fondasi yang paling penting bagi kita untuk mengurai anasir-anasir apa yang ada pada setiap diri manusia. Dengan berpedoman kepada ayat-ayat diatas, kita sudah tidak perlu lagi menguraikan diri manusia menjadi berbagai uraian yang sangat rumit dan penuh dengan khayalan seperti yang telah kita lihat pada uraian sebelumnya.

Allah menciptakan seluruh manusia dari SATU DIRI, yaitu dari sedikit DZAT atau DIRI-NYA Sendiri. Oleh sebab itu, Allah sangat BERHAK mengatakan bahwa kita semua adalah MILIK-NYA. Karena milik Allah, maka diri kita sepenuhnya berada dalam PENGATURAN dan PENGASUHAN ALLAH. Dengan begitu, maka jelaslah bahwa kita tidak mempunyai KEPEMILIKAN dan HAK apa-apa atas diri kita, sehingga kita tidak mempunyai sedikitpun kesempatan untuk MENGAKU APA-APA dan MEMILIKI APA-APA. Kita juga tidak punya kemampuan apa-apa untuk mengatur-atur diri kita. Tidak sedikitpun. Karena apapun yang terjadi pada diri kita semata-mata hanyalah buah dari Pengasuhan dan Pengaturan Allah terhadap diri kita. Karena Dia memang adalah Rabbul ‘Alamin, Tuhan yang Maha Mengasuh Alam Semesta.

Karena kita sudah tidak mengaku dan sudah tidak memiliki hak apa-apa pula atas diri kita, maka hilang pulalah tanggung jawab kita terhadap diri kita. Sehingga kitapun jadi sadar bahwa kita sebenarnya adalah alat perkakas Allah saja yang sedang menjalankan sebuah peran memainkan sebuah JALAN CERITA. Dan selama menjalankan peran itu, kita tinggal berpegang teguh saja kepada Allah. Kita diayun kemanapun, kita diombang ambingkan seperti apapun, kita jatuh-bangun seperti apapun, kita tetap bergayut saja kepada Allah. Karena Allah lah yang tahu persis berapa kekuatan kita, berapa daya tahan kita, berapa kerapuhan kita. Dan Allah tidak akan melampaui batas terhadap Dzat atau Diri-Nya sendiri.

Dari DIRI YANG SATU (Dzat-Nya) itu, pertama-tama TERZAHIRLAH TUBUH atau BADAN manusia. Proses pembentukan tubuh manusia ini sudah sangat transparant jika dilihat dengan kacamata science dan teknologi. Ada sari pati tanah, berupa air mani dan ovum, lalu berubah bentuk menjadi darah, lalu berubah lagi menjadi segumpal daging, lalu daging itu berubah menjadi tulang, kemudian tulang itu dibungkus kembali dengan daging, sampai akhirnya terbentuklah tubuh kecil manusia yang siap memasuki alam dunia untuk menjalankan sebuah JALAN CERITA.

Semua perubahan itu terjadi dengan sendirinya. Karena setiap perubahan itu sudah ditulis, sudah dijinkan, dan sudah ditetapkan sejak firman KUN. Dan Dzat-Nya yang SATU itupun dengan patuh dan tanpa reserve menjalankan proses itu tanpa ada yang meleset sedikitpun dari apa-apa yang sudah ditulis dan direncanakan itu.

Sebagai tanda bahwa Tubuh itu HIDUP, maka kepada tubuh itu Dzat yang Satu itu juga mendzahirkan NYAWA sebagai pelengkap dari kesempurnaan tubuh atau badan seorang manusia. Sehingga jadilah TUBUH dan NYAWA itu menjadi sebuah kesatuan di dalam diri seorang manusia sampai manusia itu kelak menjadi MATI kembali. Kalau seorang manusia sudah mati, maka nyawanya itupun dikembalikan oleh Allah kesuatu TEMPAT. Sedangkan jasad atau tubuh kembali diurai menjadi unsur-unsur tanah pembentuknya. Semuanya tetap pada tempatnya masing-masing sambil menunggu masa dimana semua manusia kembali dibangkitkan seperti sediakala untuk melihat segala apa yang telah diperbuat masing-masing saat hidup di dunia dulu.

TUBUH

Tubuh yang sudah diberi nyawa itu, belumlah sempurna untuk disebut sebagai seorang manusia. Dzat kemudian menzahirkan RUH yang bentuk dan ukurannya sama persis dengan TUBUH atau BADAN manusia. Akan tetapi seperti apa bahan pembentuk RUH ini, tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Itu adalah rahasia Allah sendiri. Hanya saja RUH itu mempunyai tugas Khusus terhadap badan manusia. yaitu untuk membuat BADAN atau TUBUH manusia itu bisa BERGERAK, BERJALAN, dan BERAKTIFITAS. Tanpa adanya RUH ini di dalam tubuh manusia, maka seorang manusia tidak akan dapat berbuat dan beraktifitas apa-apa, seperti halnya orang yang sedang COMMA atau sedang TIDUR PULAS.

Setelah RUH ini terzahir dari Dzat, maka RUH itupun kemudian DI DORONG oleh Dzat untuk masuk ke dalam tubuh atau badan manusia. Allah mengistilahkannya dengan ungkapan Allah MENIUPKAN RUH (ciptaan)-Nya kedalam tubuh manusia yang telah sempurna bentuknya dan telah diberi nyawa pula.

Ditiupkan RUH

jasad nyawa ruh

Akan tetapi, walau telah ditiupkan RUH ke dalam tubuh manusia, hal itupun masih belum cukup untuk menjadi bekal bagi manusia itu dalam menjalankan tugasnya masing-masing. Masih ada satu anasir lagi yang belum ada, yaitu anasir yang bisa melihat, mendengar, berpikir, mengingat, menyadari, merasa, mengetahui, dan aktifitas-aktifitas lainnya yang berhubungan dengan sebuah kecerdasan. Anasir inilah yang disebut dengan HATI.

Diberi kelengkapan

hati

Jadi HATI inilah anasir yang bisa MELIHAT, MENDENGAR, MERASA, BERPIKIR, MENGINGAT, MENGETAHUI, MENYADARI, MEMAHAMI, MENGERTI dan lain-lain sebagainya. Dan hati ini hanya ada SATU di dalam setiap rongga diri manusia. Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah HATI dalam rongganya. Al Ahzab (33) :4.

Jadi dengan begitu dapatlah dikatakan bahwa:
Yang BISA melihat adalah Hati
Yang BISA mendengar adalah Hati.
Yang BISA merasa adalah Hati.
Yang BISA berpikir adalah Hati.
Yang BISA mengingat adalah Hati.
Yang BISA mengetahui adalah Hati.
Yang BISA menyadari adalah Hati.
Yang BISA memahami adalah Hati.
Yang BISA mengerti adalah Hati.
Yang BISA cerdas adalah Hati.

Begitupun sebaliknya, bahwa

Yang TIDAK BISA melihat adalah Hati juga
Yang TIDAK BISA mendengar adalah Hati juga.
Yang TIDAK BISA merasa adalah Hati juga.
Yang TIDAK BISA berpikir adalah Hati juga.
Yang TIDAK BISA mengingat adalah Hati juga.
Yang TIDAK BISA mengetahui adalah Hati juga.
Yang TIDAK BISA menyadari adalah Hati juga.
Yang TIDAK BISA memahami adalah Hati. juga
Yang TIDAK BISA mengerti adalah Hati juga.
Yang TIDAK BISA cerdas adalah Hati juga.

Dengan kemampuan HATI yang begitu besar seperti ini, pantaslah HATI itu disebut sebagai KUSIR atau PILOT bagi diri manusia secara keseluruhan.

Hanya saja tidak banyak yang mengetahui selama ini bahwa HATI ini ternyata adalah anasir diri manusia yang BEBAS untuk pergi dan berada dimana saja. Ia bebas pergi kemana saja baik di dalam tubuh manusia maupun diluar tubuh manusia. Kebebasan Hati untuk pergi kemana saja dan berada dimana saja ini akan kita bahas pada bagian berikutnya. Ini adalah hal yang sangat penting sekali untuk kita ketahui.

Mari kita lanjutkan dulu proses penciptaan manusia menjadi seorang manusia yang benar-benar sudah mempunyai potensi untuk menjalankan sebuah Jalan Cerita.

Setelah ke dalam tubuh manusia, yang telah diberi nyawa sebelumnya, dan telah ditiupkan pula RUH kedalamnya, maka Hati pun kemudian di dorong pula oleh Dzat untuk masuk ke dalam tubuh manusia tersebut. Sehingga dengan begitu, maka selesailah pembentukan diri seorang manusia untuk dapat menjalankan sebuah peran selama waktu yang telah ditentukan di alam dunia.

SEMPURNA

Kalau kita ringkas, maka sempurnanya diri seorang manusia adalah ketika di dalam dirinya secara bersamaan terdapat empat anasir diri yang berbeda, yaitu BADAN, NYAWA, RUH, dan HATI. Badan dan Nyawa boleh dikatakan SELALU BERSAMA di dalam tubuh manusia selama HAYAT masih dikandung badan.

Akan tetapi untuk RUH dan HATI, baik secara bersama-sama, maupun secara sendiri-sendiri, mempunyai beberapa Alternatif tempat dimana ia berada. Kalau RUH dan HATI itu sedang bersama-sama, maka ia bisa disebut sebagai JIWA atau NAFS. Akan tetapi kalau masing-masingnya berada pada tempat yang berbeda atau terpisah, maka ia disebut hanya sebagai RUH saja, atau HATI saja.

Jadi sekarang sudah sangat jelas apa-apa anasir pembentuk diri setiap manusia. Kalau kita berbicara tentang RAGA maka yang kita bicarakan itu adalah NYAWA dan TUBUH berikut dengan segala anggota dan panca indera yang ada pada tubuh tersebut.

Sedangkan kalau kita berbicara tentang JIWA, atau Tubuh Yang Halus, atau Tubuh yang tidak tampak oleh mata, atau NAFS, maka yang kita maksudkan itu adalah RUH dan HATI secara satu kesatuan. JIWA atau NAFS itu bukan lah Hati saja, dan bukan pula Ruh saja. Jiwa itu adalah kedua-duanya sekaligus. HATI dan RUH.

Oleh sebab itu perhatian kita sudah menjadi sangat sederhana ketika kita berbicara tentang HATI manusia. Mau disebut apa saja, misalnya Lubuk Hati yang Terdalam, Hati Nurani, Hati yang halus, Hati Batin, Hati yang di dalam dada, Qalb, Fu’ad, Bashirah, Akal, Fikr (Si berpikir), Dzikr (Si ingat), Sadr (si Sadar), dan sebagainya, maka yang dimaksudkan itu adalah HATI yang satu itu juga. Sebab tidak ada banyak hati di dalam diri kita. Perbedaan nama-nama tersebut diatas hanya terjadi karena terjadinya perbedaan Aktifitas dan Letak dari Hati tersebut saja. Karena memang Hati itu bebas bergerak kemana saja dan beraktifitas apa saja.

Akan tetapi kebebasan HATI itu tetap tidak bisa lepas dari ILHAM yang diturunkan oleh Allah ke dalam Hati itu sendiri.

DIBERI ILHAM

Bersambung…

 

Read Full Post »

Sungguh banyak sekali ayat-ayat A Qur’an, Hadist, dan ungkapan-ungkapan bernas dari Para Arifin pendahulu kita. Namun kita jarang sekali mendapatkan manfaat dari semua ungkapan itu. Seolah-olah kalimat-kalimat tersebut adalah kalimat langit yang tidak bisa kita alami realitasnya. Dan penyebab dari ketidakberhasilan kita itu ternyata adalah:

1.Kita telah terlanjur melakukan ibadah-ibadah baik yang wajib maupun yang sunnah tanpa kita terlebih dahulu MENGENAL ALLAH (Makrifatullah) yang kita sembah. Padahal Makrifatullah itu adalah fondasi atau landasan bagi semua ibadah yang akan kita lakukan diatasnya. Sehingga akhirnya kita menjadi sibuk MENCARI-CARI Allah dengan BERJALAN atau PERGI menemui Allah entah dimana. Tentang hal ini telah kita telah membahasnya pada bagian terdahulu.

2.Karena kita tidak memulai aktifitas beragama kita dengan MENGENAL ALLAH terlebih dahulu, maka kitapun menjadi LUPA tentang bagaimana caranya agar kita bisa MENGINGAT ALLAH (DZIKRULLAH). Padahal cara kita berhubungan dengan Allah itu ya…, dengan MENGINGAT ALLAH itu. DZIKRULLAH.

3.Kita sudah tidak kenal dan tidak tahu lagi dengan HATI kita sendiri. Anasir apa itu hati kita, fungsinya apa, dan dimana letaknya. Apa bedanya antara Hati, Pikiran, Jiwa, dan Ruh?.

Ketidaktahuan kita tentang hati kita sendiri itu ternyata telah mengantarkan kita untuk TIDAK mengenal lagi: Apakah hati itu memang berbeda dengan pikiran atau tidak; Apa yang dimaksud dengan hati yang didalam dada, hati yang dapat mengingat, hati yang tidak dapat mengingat, hati yang rusak, hati yang buta di dalam dada, hati yang mati, hati yang takut, hati yang kasar, Jiwa yang dipegang Allah, hati yang terjaga, hati yang bercahaya, hati yang tenteram, dan sebagainya.
Kegagalan kita untuk mengenal ketiga hal ini ternyata telah membawa akibat yang sangat fatal dalam kehidupan kita. Jadilah kita keliru terus dalam beraktifitas.

Misalnya:
Disuruh INGAT ALLAH, kita malah WIRID dan KOMAT-KAMIT (BERDZIKIR), tapi yang kita ingat entah apa.
Disuruh INGAT ALLAH, kita malah sibuk BERSIH-BERSIH HATI, tapi yang kita ingat entah apa.
Disuruh INGAT ALLAH, kita malah asyik bermain-main NAFAS, tapi yang kita ingat entah apa.
Disuruh INGAT ALLAH, kita malah masyuk muter-muter tubuh, tapi yang kita ingat entah apa.
Disuruh INGAT ALLAH, kita malah asyik goyang-goyang, tapi yang kita ingat entah apa.
Disuruh INGAT ALLAH, kita malah Mencari Nur Muhammad, tapi yang kita ingat entah apa. Aneh-aneh saja.

Lain yang disuruh, lain pula yang kita kerjakan. Makanya kita jadi merasa TERPUTUS, TERPISAH, dan TERJAUH dari Allah. Dan itu menyakitkan sekali rasanya. Kita jadinya seperti layangan putus yang diterbangkan angin. Kita seperti tercerabut dari Allah.

Dan yang tak kalah mengerikan adalah, HATI kita terasa begitu kotornya. Kita sudah tidak mengenal lagi hati kita sendiri. Sebab hati kita itu seperti telah dipenuhi dengan gejolak hawa nafsu, ego, dan sikap-sikap tercela lainnya. Apa saja bisa jadi masalah bagi kita. Nama orang, kegiatan orang, pendapat orang, dan sebagainya, bisa jadi masalah besar bagi kita. Kata “Kenapa?”, “seharusnya”, “dia kan begini dan begitu”, “sayang sekali”, “kasihan sekali”, dan sebagainya adalah ungkapan yang mengalir begitu saja dari mulut kita untuk orang lain itu. Seakan-akan kita telah menjadi orang yang lebih dari orang lain itu dalam segala hal.

Karena merasa terpisah dengan Allah, kita jadinya ingin menggapai-gapai Allah. Kita ingin mendekat kepada Allah. Kita ingin berjalan dan terus berjalan kepada Allah. Kita ingin menyambungkan hati atau jiwa kita dengan Allah. Kita ingin menghubungkan RUH kita dengan Allah. Dan anehnya, untuk menyambungkan kembali jiwa kita dengan Allah, kita perlu berbagai alat bantu (BERHALA). Tanpa alat bantu itu, kita merasa tidak akan bisa berhubungan dengan Allah. Dan alat bantu yang termudah dan tidak kentara bentuknya adalah NAPAS, DAYA, GERAK, dan JARAK.

Sehingga jadilah merasa-rasakan bahwa:

Antara kita dengan Allah ada NAFAS, sehingga dengan merasakan nafas itu, katanya, kita barulah kita bisa sadar bahwa Alllah lah yang menggerakkan Nafas itu.

Antara kita dengan Allah ada DAYA, sehingga dengan merasakan daya itu, katanya, kita barulah kita bisa sadar bahwa Alllah lah yang menggerakkan daya itu.

Antara kita dengan Allah ada GERAK, sehingga dengan merasakan gerak itu, katanya, barulah kita bisa sadar bahwa Alllah lah yang menggerakkan gerak itu.

Antara kita dengan Allah ada JARAK, sehingga dengan merasakan jarak itu, katanya, barulah kita bisa sadar bahwa kita sedang BERJALAN MENDEKAT kepada Allah.

Akibatnya, kita menjadi TIDAK MENGERTI lagi kemudahan-kemudahan yang telah diberikan Allah kepada kita semua. Bahwa untuk berhubungan dengan Allah, kita hanya perlu MENGINGAT ALLAH (Dzikrullah). FADZKURUNI ADZKURKUM, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku juga akan ingat kepadamu. Lalu kita lakukan saja ibadah-ibadah dalam keadaan kita sedang MENGINGAT ALLAH tersebut. Selesai deh.

Untuk membersihkan hati kita sehingga hati kita itu menjadi tenteram, kita juga hanya perlu INGAT KEPADA ALLAH (Dzikrullah). Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. Ra’d (13):28.

Ingatlah kepada Allah, maka otomatis Hati kita akan bersih dari ingatan kepada yang lain. Hati kita menjadi bersih dari sampah sarap. Sehingga hati kita itupun menjadi tenteram. Itu terjadi karena hati kita tidak ada lagi isinya selain hanya ingatan kepada Allah. Begitu sederhana, mudah, dan tidak bertele-tele sama sekali cara yang telah diberitahu oleh Allah sendiri di dalam Al Qur’an, agar kita bisa berhubungan dengan Allah dan untuk menjadikan Hati kita tenteram

Akan tetapi Allah ternyata juga telah menetapkan bahwa akan muncul zaman, setelah 300-400 tahun kewafatan Rasulullah, yang sangat panjang dimana umat manusia menjadi sangat kesulitan untuk bisa mengenal Allah (Makrifatullah) dan sangat susah pula untuk mengingat Allah (Dzikrullah) tersebut. Ini adalah sebuah JALAN CERITA yang memang telah dituliskan oleh Allah di dalam Lauhul Mahfuz sejak Firman Kun. Tidak akan ada yang bisa merubahnya kecuali perubahan itu sendiri sudah dituliskan pula oleh Allah di dalam Lauhul Mahfuz.

Dan sekaranglah saatnya perubahan itu terjadi. Jalan cerita sudah mulai berubah. Ustadz Hussien BA Latiff telah diberikan IJIN oleh Allah untuk mengurai benang kusut perjalanan umat manusia itu. Melalui syarahan demi syarahan dan seminar Beliau, satu persatu puzzle kehidupan umat manusia berhasil beliau pecahkan. Materi syarahan Beliau seperti DISUSUNKAN dengan RAPI untuk Beliau sampaikan. Tidak mungkin rasanya materi syarahan itu adalah hasil dari pemikiran Beliau sendiri. Tidak Mungkin.

Dan saya telah diberikan kesempatan pula oleh Allah untuk menjabarkan beberapa materi syarahan Beliau itu kedalam bahasa tulisan yang bisa saya mengerti. Namun sayang sekali, hanya sedikit saja yang bisa saya tulis. Akan tetapi yang sedikit itu sungguh sangat berarti bagi saya.

Mengenai Makrifatullah dan berbagai macam Paham telah selesai saya tuliskan dalam artikel-artikel terdahulu. Saya tidak akan menulisnya lagi. Barangsiapa yang ingin memperdalamnya, silahkan lihat saja syarahan Beliau di Youtube, farhan4u2c.

Sekarang saya langsung saja masuk kedalam topik bahasan mengenai HATI. Insyaallah bagi saya bahasan mengenai hati ini memberikan dampak yang sangat luar biasa sekali. Karena ia bisa menjawab berbagai kerisauan, keraguan, dan ketidakmengertian saya tentang hati saya sendiri selama ini. Bahasan ini sumbernya juga adalah dari syarahan Beliau, keterangan langsung Beliau, dan juga beberapa praktek yang beliau ajarkan langsung kepada saya dan teman-teman saya yang lain di Yamas Indonesia dan juga Yamas Internasional.

Mari kita mulai….

Bersambung

Read Full Post »

Hanya saja patut diingat bahwa Rasulullah SAW, Para Sahabat Beliau, Para Tabi’in, dan Para Tabiit Tabi’in, tidak pernah mengajarkan satupun dari meditasi-meditasi seperti diatas untuk diamalkan oleh umat Islam. Hatta dzikir lathaif sekalipun seperti yang dipakai oleh pengamal tarekat seperti yang ada sekarang ini. Apalagi meditasi-meditasi yang lainnya. Tidak ada.

Beliau-beliau hanya mengajarkan satu cara yang tertinggi saja, yaitu Dzikrullah (mengingat Allah). Waktu Shalat, ingatlah Allah. Diluar shalat, ingatlah Allah. Saat berdiri, ingatlah Allah. Saat duduk, ingatlah Allah. Saat berbaring, ingatlah Allah. Saat memandang alam, ingatlah Allah. Sedang puasa, sedang melakukan apa saja, banyak-banyaklah Mengingat Allah.

Rasulullah saw berkata, “Mahukah aku beritahukan kepada kamu semua dengan amal-amal yang terbaik dan paling diredhai di sisi Tuhan kamu dan membuat anda mencapai derajat tinggi dan lebih baik untuk kamu semua daripada memberi sedekah emas dan perak dan lebih baik daripada kamu semua bertemu musuh lalu kamu penggal leher mereka dan mereka memenggal leher kamu semua.” Mereka menjawab, “Mahu!” Baginda menjawab, “DZIKRULLAH (MENGINGATI ALLAH).” Terjemahan Sunan Ibnu Majah Bk 4, 494 (1993)

Ingatilah Allah banyak-banyak, supaya kamu berjaya, Al Anfal (8): 45.

Lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli daripada mengingati Allah. An Nur (24):37.

Ingatlah kamu kepada-Ku nescaya Aku ingat (pula) kepadamu. Al Baqarah (2):152.

Aku bersamanya jika ia mengingati Aku. Sekiranya ia mengingati Aku dalam dirinya, Aku akan mengingatinya dalam DiriKu. Sahih Muslim Buku 4, 608 (1994).

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. Ra’d (13):28

Beliau juga mengajarkan bahwa untuk MENDEKAT kepada Allah kita cukup hanya melakukan ibadah-ibadah yang sunnah saja disamping ibadah-ibadah yang wajib:

“Tidak ada cara yang dapat mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku seperti melaksanakan fardhu-fardhu-Ku dan sesungguhnya ia MENDEKATKAN diri kepada-Ku dengan MELAKUKAN HAL-HAL YANG SUNNAH sehingga cintalah Aku kepadanya. Dan sesudah Aku mencintainya aku jadi kakinya yang dengannya ia berjalan, tangan yang dengannya ia memukul, lidah yang dengannya ia berkata, dan hatinya yang dengannya ia berfikir. Bila ia meminta kepada-Ku Aku memberi dan bila ia berdoa Aku menerima doanya”. (H Salim Bahreisy, 272 Hadits Qudsi, 76)

Kalaupun perlu mendekat kepada Allah, Rasulullah mengajarkan kita bahwa mendekatlah hanya sejengkal, sehasta, atau sedepa saja. Tidak lebih. Itu saja sudah cukup kok, seperti yang beliau sampaikan dalam hadist berikut ini:

Sesungguhnya Allah swt telah berfirman, “Apabila hamba-Ku MENDEKATI Aku SEJENGKAL maka Aku mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati Aku sehasta maka Aku mendekatinya sedepa. Dan bila dia mendekati Aku sedepa, Aku akan datang menemuinya lebih cepat lagi.” Sahih Muslim Buku 4, 608 (1994).

Jadi untuk MENDEKAT kepada Allah, kita TIDAK PERLU melakukan berbagai perjalanan rohani yang sangat HEROIK seperti yang banyak diceritakan orang dalam cerita-cerita SUFI. Misalnya: dengan membawa RUH kita untuk meninggalkan tubuh, atau Memperjalan-jalankan JIWA kita Lurus menuju Allah dengan meninggalkan segala sensasi ketubuhan, pikiran, dan rasa.

Apalagi untuk istilah KEMBALI kepada Allah, seperti “Irji’ii ilaa rabbikii, kembalilah kepada Tuhanmu”, atau “wainnahum ilahii raaji’un, dan sesungguhnya kepada-Nyalah mereka kembali”, telah terselewengkan maknanya menjadi seperti perjalanan MOKSA dalam agama Hindu, atau bahkan sampai harus Mati Sebelum Mati seperti dalam istilah tasawuf wali-wali Tarekat.

Padahal kembali kepada Allah itu sederhana saja sebenarnya, yaitu Rujuklah kepada Allah, jangan datang kepada siapapun juga selain Allah. Mintalah pertolongan kepada Allah sahaja dengan penuh khusyu dan rasa rendah diri. Adukanlah segala masalah dan kesusahan kepada Allah. Berserah penuhlah kepada Allah. Berpegang teguhlah kepada Allah. Lalu tawakkallah kepada Allah.

Jadikanlah satu tempat meminta dan satu pemberi dan satu tujuan yaitu Dia sahaja kerana Dialah Tuhan Yang Maha Kaya dan Maha Agung. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Futuh Ghaib, 60 (1990)

Kembalilah kepadaNya dengan penuh khusyuk dan rendah diri. Bertawakkal kepada Dia dengan sepenuh penyerahan. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Futuh Ghaib, 66(1990)

Sesungguhnya Kami mendapati Nabi Ayub itu seorang yang sabar; dia adalah sebaik-baik hamba; sesungguhnya dia sentiasa rujuk kembali (kepada Kami). Shad (38):44

Sesungguhnya hanyalah kepada Allah, aku (Yakub) mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya. Yusuf (12): 86

Dan aku (Muhammad) diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama menyerah diri. Az Zumar (39):12; An Anaam (6):14.

Kemudian jika mereka mendebat kamu maka katakan, “Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikuti-ku.” Ali Imran (3):20.

Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia.” At Taubah (9):129

Berpegang teguh kepadaNya siang dan malam. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Futuh Ghaib, 60 (1990)

Dan berpeganglah kamu pada TALI Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. Al Hajj (22):78

Kamu hendaklah menyerahkan diri kamu kepada Allah seperti bola di kaki pemain bola atau bayi di pangkuan ibunya atau seperti mayat tangan pemandi-pemandinya. Biarlah bencana menimpa kamu dan jangan cuba menghindarnya. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Pembukaan Pada Yang Ghaib, 19, 14 (1990).

Katakanlah, “Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya.” Al Anaam (6):162.

Orang-orang yang benar-benar hamba Allah percaya kepada Allah dan menyerahkan semua hal dirinya kepada Allah; percaya dengan kurnian rezki daripada Allah dan yakin bahawa apa sahaja yang ditetapkan oleh Allah kepadanya pasti ia dapat dan apa sahaja yang dihindarkan oleh Allah darinya pasti tidak ia dapat. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Pembukaan Pada Yang Ghaib, 83, (1990).

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. Ali Imran (3):159.

Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusanNya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. At Talaq (65):3. Ali Imran (3):173.

Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus berTAWAKAL.” At Taubah (9):51

Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin berTAWAKAL.

Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus berTAWAKAL. Al Maidah (5):11

Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu berTAWAKAL, jika kamu benar-benar orang yang beriman. Al Maidah (5):23

Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan berTAWAKALlah kepada-Nya. Hud (11):123

Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku berTAWAKAL dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang berTAWAKAL berserah diri. Yusuf (12):67

Kepada Allah sajalah kami berTAWAKAL. Al Araaf (7):89

Maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku berTAWAKAL.” At Taubah (9):129

Hanya kepada Allah aku berTAWAKAL dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. Hud (11):88

Sesungguhnya setan ini tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan berTAWAKAL kepada Tuhannya. An Nahl (16):99

Saksikanlah bahawa kami (Muhammad dan para sahabat)adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). Ali Imran (3):64; 84.

Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk dan kita disuruh agar menyerah diri kepada Tuhan semesta alam.” Al Anaam (6):71;Al Anbiyaa (21):108; Al Hajj (22):34.

Serahlah segala-galanya kepada Allah kerana Dialah yang menjaga dan memelihara segala-segalanya dari azali lagi sehingga abadi selama-selamanya. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Pembukaan Pada Yang Ghaib, 23 (1990).

Bersambung

Read Full Post »

HATI, PIKIRAN, DAN SPIRITUALITAS

Karena pikiran diidentikkan dengan sebuah proses yang terjadi di dalam OTAK, sedangkan perasaan diidentikkan dengan sebuah proses yang terjadi di dalam HATI atau di dalam DADA, maka kemudian muncullah anggapan bahwa untuk belajar sesuatu yang berkaitan dengan SPIRITUALITAS, kita DILARANG KERAS untuk menggunakan PIKIRAN atau AKAL kita. Sebagai gantinya kita diharuskan menggunakan HATI kita.

Karena memang sudah jamak dikatakan bahwa aktifitas spiritual seperti khusyu dalam shalat, berdzikir, dan belajar hakekat dan makrifat, adalah aktifitas batin atau jiwa manusia yang berhubungan dengan Allah. Oleh sebab itu alat yang bisa untuk itu hanyalah HATI, bukan AKAL. Karena akal sudah kadung dianggap sebagai alat bagi manusia untuk berhubungan dengan alam makhluk atau alam ciptaan. Hampir selalu saja begitu.

Oleh sebab itu, makanya muncul macam-macam istilah yang berkenaan dengan HATI ini seperti: Mengenal Allah Dengan Hati; Perbedaan Rasa Bertuhan Dan Berpikir Tentang Tuhan; Menciptakan Keajaiban Dengan Kekuatan Hati; Mengenal Diri Dengan Mengenal Hati; Mengenal Hati Nurani; Mengenal Diri Melalui Rasa Hati; Manajemen Hati; Pelatihan Teknologi Hati; Pembersihan Hati; Menjadi Lebih Khusyuk Dengan Hati; Menyadari Allah Dengan Hati; Pembesihan Jiwa; Perjalanan Jiwa: Menjadikan Hati Pasrah di Dalam Hidup; dan sebagainya.

Dari berbagai istilah yang berkenaan dengan hati ini seperti diatas, kemudian muncul pulalah berbagai TEKNIK atau CARA yang kata PARA FOUNDER atau PENCIPTANYA bisa membuat kita lebih cepat untuk mengenal hati kita, membersihkan hati kita, dan menghubungkan Hati kita dengan Allah. Sungguh sebuah keadaan yang sangat didambakan oleh semua orang.

Dengan CARA INI dan ITU, bahkan ada yang ditambahi pula dengan memakai kata-kata QUANTUM, KOSMOS, NAPAS, dan sebagainya, katanya kita akan bisa lebih khusyu di dalam shalat, kita bisa menjadi lebih tenang dalam beribadah, kita bisa lebih berbahagia di dalam hidup, kita bisa menjadi lebih hebat dalam membaca dan menerima ILHAM, kita bisa jadi lebih sempurna dalam mendapatkan manfaat puasa, kita bisa lebih mudah mendapatkan rezeki atau kekayaan, kita bisa lebih mudah untuk mendapatkan kesehatan dan kesembuhan dari sakit. Dan banyak lagi kehebatan lain yang kalau disebutkan satu persatu tidak akan cukup satu atau dua halaman untuk dituliskan.

Tanpa latihan-latihan itu, jangan harap kita akan dapat memasuki dan merasakan dunia spiritual yang katanya saat wah sekali. Mereka seolah-olah menganggap bahwa Rasulullah SAW belum sempurna dalam membekali kita sebagai umat Beliau tentang amalan-amalan yang harus kita lakukan sebagai bekal kita dalam mengarungi kehidupan ini.

Seakan-akan kita sudah TIDAK CUKUP lagi hanya melakukan IBADAH WAJIB dan SUNAT saja untuk MENDEKATKAN diri kepada Allah. Kita seolah-olah sudah tidak cukup lagi hanya sekedar BERDOA dan BERSIMPUH kepada Allah ditengah malam dalam Shalat Tahajud untuk KEMBALI dan BERPAUT dengan Allah. Untuk MELAWAN hawa nafsupun, kita seolah-olah sudah tidak cukup lagi hanya dengan melakukan secara istiqamah puasa-puasa sunat, bersedakah, hidup lebih zuhud, dan berbuat baik kepada sesama.

Kita seakan-akan telah divonis bahwa shalat wajib dan sunnah, shalat tahajut, puasa sunnah, dan sedekah itu sudah tidak mampu lagi untuk mendekatkan diri kita dengan Allah, untuk sarana kembali kita kepada Allah, dan untuk alat melawan hawa nafsu kita. Dan entah kenapa ketidak mampuan itu memang jadi kenyataan pada diri kita.

Sebab walaupun kita sudah melakukan ibadah-ibadah seperti diatas, namun kita menjadi sangat terheran-heran dan bimbang, kok hasilnya berbeda dengan apa yang di dapatkan oleh orang-orang yang hidup pada generasi awal Islam dulu. Walaupun kita sudah rajin melakukan ibadah-ibadah tersebut, namun kita masih merasa SANGAT JAUH dari Allah, kita masih sangat sulit untuk bisa IHSAN dalam beribadah, kita masih sangat sulit untuk merasa TENANG dalam menjalani hidup kita, bahkan kita masih sangat sulit untuk sekedar bisa bersikap SANTUN kepada orang lain.

Kita menjadi lebih bimbang lagi kalau kita melihat orang-orang yang dengan gagah berani berkata: Kita Adalah Seperti Apa Yang Kita Pikirkan; Mind Over Matter (Pikiran Mengatasi Materi); Mind is The Creator of Everything; Triumph of Mind; dan lain-lain sebagainya.

Paradigma Mind atau Pikiran ini seakan-akan berlawanan dengan paradigma Heart atau Hati seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Dan hasilnya juga sangat hebat-hebat. Hipnoterapi, NLP, dan terapi-terapi lainnya sungguh telah menggoncangkan jagad keyakinan manusia akhir-akhir ini. Seakan-akan dengan mengelola pikiran saja, katanya, semua kehidupan kita seperti bisa kita atur-atur sesuka pikiran kita.

Dan anehnya, untuk mengendalikan pikiran kita agar pikiran kita itu bisa terpusat, dan juga untuk membuat hati kita bisa bersih, tenang, dan bercahaya, cara yang harus kita lakukan untuk kedua hal tersebut ternyata NYARIS SAMA saja. Tidak ada bedanya yang berarti. Yaitu melalui MEDITASI dengan cara-cara tertentu saja. Ada yang melalui meditasi cakra, ada meditasi Dzikir Lathaif (seperti meditasi cakra mulai dari cakra dada sampai ke cakra mahkota), ada meditasi Nafas atau Napas, Ada meditasi Gerak, ada meditasi Diam, dan sebagainya. Tentang meditasi-meditasi ini telah kita bahas pada artikel-artikel sebelumnya. Jadi pada kesempatan ini tidak akan kita bahas ulang lagi.

Berssambung

Read Full Post »

HATI, adalah sebuah kata yang sudah menjadi perbincangan panjang umat manusia sejak berabad-abad lamanya. Akan tetapi selama itu pula umat manusia seperti masih meraba-raba tentang makna sebenarnya dari HATI itu, di mana letaknya, dan apa bedanya dengan FIKIRAN.

Umumnya kita saat ini, semua seperti dipaksa untuk menerima bahwa antara HATI dan FIKIRAN itu adalah dua anasir di dalam diri kita yang berbeda satu sama lainnya. HATI hampir selalu dikatakan sebagai SATU ANASIR diri kita yang berada DI DALAM DADA (SUDUR, menurut ajaran NON TAREKAT) atau bisa juga DI DALAM JANTUNG (QALB menurut ajaran TAREKAT). Sedangkan FIKIRAN sudah dapat dipastikan akan dikatakan mereka sebagai SATU ANASIR lain lagi dari diri kita yang berada di dalam OTAK.

Makanya kalau seseorang berkata HATIKU SAKIT, maka ia hampir selalu akan menunjuk kepada DADANYA sambil dia menampakkan ekspresi seperti seorang yang sedang MERASAKAN sebuah PENDERITAAN yang tidak enak. Jadi hati itu konon katanya adalah anasir diri kita yang bisa MERASAKAN enam perasaan atau emosi DASAR manusia, yaitu marah, senang, sedih, jijik, takut, heran, dan beberapa varian perasaan lainnya dari enam emosi dasar diatas seperti benci, tidak nyaman, khawatir, ragu-ragu, cinta, bahagia, dan sebagainya.

Sebaliknya, kalau seseorang berkata “PIKIRANKU lagi MUMET NIH”, karena saat itu dia memang sedang BANYAK OBJEK YANG sedang DIPIKIRKANNYA, maka dia akan selalu menunjuk kepada KENING atau KEPALANYA. Seakan-akan pikirannya itu ada di dalam kepalanya.

Tapi anehnya pikirannya yang sedang mumet itu, bukan hanya sekedar mumet saja, tetapi juga ada rasanya, seperti tidak nyaman begitu. Ujung-ujungnya tetap muncul juga salah satu dari enam perasaan atau emosi dasar manusia seperti diatas. Sehingga kemudian dia berkata: “pikiranku ini kacau sehingga membuat hati saya sedih dan marah”, katanya sambil menunjuk kepalanya terlebih dahulu lalu kemudian dia menunjuk kearah dadanya pula.

Sering pula orang berkata bahwa perasaan-perasaan atau emosi-emosi dasar seperti diatas munculnya secara otomatis saja. Artinya kita tidak harus memaksa-maksakan diri untuk merasa-rasakannya. Munculnya rasa atau emosi itu otomatis begitu saja. Misalnya, ketika kita berhadapan dengan kotoran muncullah rasa JIJIK kita. Ketika kita berhadapan dengan harimau atau binatang buas lainnya timbullah rasa TAKUT kita. Pada kenyataannya memang perasaan atau emosi kita itu selalu muncul silih berganti DI DALAM diri kita sejalan dengan apa yang kita lihat, kita dengar, kita baui, kita kecap, dan kita raba.
Akan tetapi RASA itu bisa pula muncul akibat dari kita INGAT kepada sesuatu. Misalnya ketika kita membaca nama seseorang, atau membaca tulisan seseorang, walaupun kita tidak melihat orang itu dengan panca indera kita, lalu kita INGAT bahwa orang itu begini dan begitu. Seketika itu juga kita merasa ada yang tidak enak di dalam diri kita. Lalu kita ingin saja segera berkata, atau menulis tentang orang itu sesuai dengan apa yang kita rasakan.

Atau ketika kita berjalan melewati sebuah area pekuburan yang sangat sepi, gelap, dan banyak pepohonan yang rindang (terutama pohon beringin), maka kalau kita INGAT disitu banyak hantunya, maka kita akan segera diserang oleh rasa takut, walaupun kita sendiri belum pernah melihat hantu itu seperti apa. Paling-paling kita tahu tentang hantu itu dari cerita-cerita yang pernah kita baca, atau film-film horor yang pernah kita tonton.

Namun kalau kita tidak pernah diberitahu tentang hantu, tidak pernah membaca cerita tentang hantu, tidak pernah menonton film horor tentang hantu, maka ketika kita berjalan dipekuburan tersebut hampir dapat dipastikan kita tidak akan takut sama sekali. Paling-paling kita takut kalau-kalau ada orang jahat yang bersembunyi di pekuburan itu.

Artinya apa?. Bahwa ternyata RASA itupun sangat tergantung dari informasi awal seperti apa yang ada di dalam INGATAN kita. Lalu setelah itu barulah muncul suatu tindakan kita baik berupa aktifitas fisik maupun hanya sekedar kata-kata, atau tulisan saja. Jadi kita dengan mudah akan dapat melihat apa isi hati seseorang dengan hanya melihat aktifitas fisiknya, atau dengan melihat kata-kata yang muncul dari mulutnya, atau melalui tulisan-tulisan yang ditulisnya di berbagai media.

Bersambung

Read Full Post »

Jawabannya adalah:

1.Karena ketika kita ingat kepada Allah, maka kita benar-benar sudah tidak punya bayangan apa-apa tentang Allah. Sebab Dia memang adalah Dzat yang Laista kamistlihi syai’un. Tidak ada jarak, tidak ada dekat, tidak ada jauh, tidak ada arah, tidak ada atas, tidak ada bawah, tidak ada luar, tidak ada dalam. Makanya tidak ada perjalanan apa-apa yang harus kita lakukan untuk kita bisa ingat kepada Allah itu. Kita cukup hanya masuk kepintu ingatan, dan ingatlah Allah. Sehingga otak kiri dan otak kanan kita tidak mampu lagi memberikan respon apa-apa.

Kalaupun kita masih ingin mendekat kepada Allah, kita cukup mendekat sejengkal saja naik diatas ubun-ubun kita, seperti yang diperintahkan oleh hadist:

Sesungguhnya Allah swt telah berfirman, “Apabila hamba-Ku mendekati Aku SEJENGKAL maka Aku mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati Aku sehasta maka Aku mendekatinya sedepa. Dan bila dia mendekati Aku sedepa, Aku akan datang menemuinya lebih cepat lagi.”  Sahih Muslim Buku 4, 608 (1994).

Walaupun hadistnya mengatakan kita bisa mendekat sejengkal, bisa seharta, dan bisa pula sedepa, namun mendekat SEJENGKAL saja diatas ubun-ubun kita itu sudah sangat lebih dari cukup. Bagaimana caranya?. Ini insya Allah akan dibahas pada kesempatan lain.

2.Dan ketika kita tengokkan MATAHATI kita kedalam ingatan kita yang sedang mengingat Allah itu, maka mata hati kita juga sudah tidak melihat apa-apa. Tidak ada rupa dan tidak ada umpama. Tidak ada warna, tidak ada huruf, tidak ada kalimat, tidak ada suara. Tidak terlihat dan tidak terdengar apa-apa. Makanya ingatan kita saat itu menjadi BERSIH seperti bersihnya ingatan seorang BAYI.

Ingatan kita benar-benar hanya berisikan satu ingatan saja, yaitu ingatan kepada Allah. Ingatan kita benar-benar hanya dipenuhi dengan satu ingatan saja, ingatan kepada Allah. Inilah yang membuat HATI kita menjadi sangat TENTERAM. Karena tidak ada apa-apa lagi yang membebani ingatan kita, tidak ada lagi yang perlu kita pikir-pikirkan dan soal-soalkan. HATI kita tidak berkocak, benak kita tidak panas, perasaan kita sudah tidak mengombang-ambingkan kita. Ya…, seperti keadaan seorang bayi saja…

Nah…, dalam keadaan kita sudah ingat kepada Allah seperti inilah seharusnya kita baru mulai melakukan ibadah-ibadah yang wajib maupun yang sunah seperti diatas. Diluar shalatpun sebenarnya kita bisa menahan ingatan kita itu agar kita selalu bisa ingat kepada Allah. Sehingga saat berdiri kita bisa ingat kepada Allah sama baiknya dengan saat kita duduk ataupun berbaring. Tidak ada bedanya.

Apalagi kalau dalam beribadah itu, misalnya SHALAT, kita bisa barengi pula ingatan kita kepada Allah itu dengan sikap IHSAN kita kepada Allah. Itu akan lebih memberikan impak atau pukulan yang lebih hebat lagi kepada kita.

Yang dimaksud dengan IHSAN inipun sederhana saja kok. Rasulullah mengatakan: “Hendaklah kamu shalat SEOLAH-OLAH kamu MELIHAT Allah, kalau tidak KETAHUILAH Dia melihat kamu”, Sunan At Turmidzi.

Caranya adalah:

INGAT kepada Allah, sehingga kita tidak ingat lagi kepada yang lain. Lalu takbiratul ihram.
Lalu SADARI bahwa kemanapun kita melihat, disitu ada Dzat-Nya yang meliputi segala sesuatu.
RASAKAN bahwa Dia Melihat, Mengawasi, Mendengar, dan Memerhatikan kita setiap saat.
Kalau tidak bisa merasakan, KETAHUI sajalah bahwa Dia Melihat, Mengawasi, Mendengar, dan Memerhatikan kita setiap saat.

Shalatlah dalam keadaan IHSAN seperti itu, dan insya Allah dampaknya akan sangat luar biasa sekali bagi hati kita. Nanti ha ini akan kita bahas dalam artikel mengenai HATI.

Dengan selesainya pemaparan singkat saya tentang perbedaaan paham Wahdatul Wujud, Nur Muhammad, dan Dzatiyah seperti ini maka selesai pulalah tugasan saya dalam membahas berbagai jenis paham mainstream dalam Tasawuf yang tersedia saat ini ditengah-tengah kita. Setelah ini tidak akan ada lagi pembahasan saya tentang perbedaan-perbedaan paham seperti ini. Saya selesai.

Sekarang terpulang pada BAGIAN kita masing-masing saja. Kita didudukkan oleh Allah di paham apa. Kita diijinkan Allah untuk memakai paham yang mana.

Kalau saya sih, saya akan istiqamah saja dengan apa-apa yang sudah diberikan oleh Allah kepada saya sekarang ini. Masa lalu saya tak lebih hanyalah sebuah ladang pengajaran yang diberikan oleh Allah kepada saya sebelum saya sampai pada tahapan pemahaman seperti yang sekarang ini. Mengamalkan Pahaman Dzatiyah menerusi syarahan Arif Billah Ustadz H. Hussien Bin Abdul Latiff.

Saya juga sangat terkesan dengan ungkapan-ungkapan bijak Para Pendahulu dunia Tasawuf dalam mengamalkan ayat-ayat Al Qur’an dan Al Hadist seperti berikut ini:

Awalnya ialah kuat beribadah dan taat. Akhirnya ialah redha dengan Allah, menyerah diri kepada jalanNya dan bergantung penuh kepadaNya. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Futuh Ghaib, 128 (1990)

Dan aku (Muhammad) diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama menyerah diri. Az Zumar (39):12; An Anaam (6):14.

Kemudian jika mereka mendebat kamu maka katakan, “Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikuti-ku.” Ali Imran (3):20.

Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia.” At Taubah (9):129

Berpegang teguh kepada-Nya siang dan malam. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Futuh Ghaib, 60 (1990)

Dan berpeganglah kamu pada TALI Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. Al Hajj (22):78

Serahlah segala-galanya kepada Allah kerana Dialah yang menjaga dan memelihara segala-segalanya dari azali lagi sehingga abadi selama-selamanya. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Pembukaan Pada Yang Ghaib, 23 (1990).

Katakanlah, “Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya.” Al Anaam (6):162.

Lalu apabila dia berdiri melakukan sembahyang seraya memuji, mengagungkan dan memuliakan Allah sebagaimana mestinya seraya dia mengkosongkan hatinya hanya demi Allah maka dia akan melepaskan dosanya seperti layaknya ketika dia baru dilahirkan oleh ibunya. Sahih Muslim Bk 1, 1005 (1990)

Seseorang tidak dapat dianggap mengagungkan Allah swt dengan melakukan sujud dan rukuk bila hatinya kosong dari Allah. Imam Ghazali, Roh Sembahyang, 23(1994).

Apabila kamu telah dapat melepaskan hati (Minda Batin) kamu dari apa sahaja selain Allah, maka barulah kamu lepas dari ikatan-ikatan yang menambat kamu untuk menuju kepada Allah. Syeik Abdul Qadir Al Jilani, Futuh Ghaib, 82 (1990).

Hati kamu hendaklah kosong dari yang lain dan dipenuhi oleh Allah semata-mata. Maka kamu akan jadi penjaga pintu hati kamu dan kamu diberi pedang tauhid dan kekuatan dan kekuasaan. Apa sahaja selain Allah yang hendak rempuh masuk dalam hati kamu itu hendaklah kamu penggal lehernya dengan pedang tauhid agar tidak ada dalam diri kamu nafsu kamu dan kerinduan kamu kepada dunia dan akhirat. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Futuh Ghaib, 70 (1990).

Sentiasalah mengingati kepada-Nya. Jangan kau lupakan Dia. Janganlah kau meninggalkan ZIKIR (INGATAN) kepada-Nya kecuali ajal telah mendatangimu. Sebab (baru sahaja mahu) ingat pada saat itu tiada berguna. Ingatlah Allah swt sebelum ajal menimpamu. Perbaikilah hatimu sebab jika ianya baik akan baik keseluruh tingkah lakumu. Syeikh Abdul Qadir Al Jalani, Al Fath Ar Rabbani, 2-3 (1996).

Tinggalkanlah apa sahaja di luar pintu bilik khalwat kamu itu dan masuklah ke dalam seorang diri. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Futuh Ghaib, 188 (1990)

Apabila kamu telah lepas dari segala itu dan kamu sedang berada dihadrat Allah, maka kamu akan dimuliakan. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Futuh Ghaib, 82 (1990).

Hatinya kosong dari apa sahaja selain Allah. Maka barulah dia masuk dalam Majlis Ketuhanan Yang maha Tinggi. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Futuh Ghaib, 143(1990).

Ketahuilah bahawa kamu berada dalam istana Raja Yang Maha Berkuasa dan Maha Agung. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Futuh Ghaib, 64(1990)

Sehingga sampailah masanya bila ia merasa tabiat-tabiat dan sifat-sifat kemanusiaannya hilang terus dan dia tinggal seolah-olah roh sahaja. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Futuh Ghaib, 116 (1990).
Dan dua ungkapan Syeikh Abdul Qadir Jilani berikut ini telah sangat menginspirasi saya untuk duduk ISTIQAMAH di dalam bilik khalwat saya sendiri:

Maka kamu diberitahu – duduklah di tempat kamu dan jangan melampui batasan kamu sehingga didatangi jalan kepada kamu dari Allah yang memerintahkan kamu duduk dimana kamu berada. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Futuh Ghaib, 86 (1990)

Berpuashatilah kamu dengan apa yang ada padamu sehingga datang takdir Allah meninggikan taraf kamu. Syeikh Abdul Qadir Al Jilani, Futuh Ghaib, 64 (1990).

Akhirnya disini pulalah saya dipahamkan bahwa ternyata para sufi besar seperti Syeikh Ibnul Qayyim Al Jauziyah yang telah melahirkan kitab MADARIJUS SALIKIN yang sangat fenomenal itu, dan sufi-sufi besar lainnya seperti Syeikh Abdul Qadir Jilani sendiri, Imam Al Qusyairi, Imam Al Ghazali, ternyata adalah orang-orang selalu DUDUK DI BILIK KHLAWAT beliau dengan tidak melampaui batas, dengan tidak meminta ini dan itu, sampai beliau ditinggikan sendiri tarafnya oleh Allah.

Ternyata Beliau itu BUKANLAH PEJALAN. Tetapi Beliau adalah orang-orang yang DIPERJALANKAN oleh Allah sendiri dari satu taraf ke taraf berikutnya yang lebih tinggi.

Dan disinilah letak kecerobohan para penerus Beliau setelah itu. Bahwa para penerus Beliau itu ingin pula bisa mencapai taraf seperti yang Beliau dapatkan itu. Akan tetapi mereka ingin mendapatkannya dengan cara mereka BERJALAN SENDIRI. Mereka tidak kuasa menahan hawa nafsu mereka untuk berjalan sendiri. Bukan diperjalankan. Mereka lupa bahwa Rasulullah SAW sendiripun hanya DIPERJALANKAN oleh Allah ketika Beliau mengalami peristiwa Isra’ dan Mi’raj.

Sampai disini selesailah Artikel ini di tulis. Mohon diperbanak maaf atas segala kekhilafan dan kekeliruan.

Insya Allah dilain kesempatan kita akan berjumpa lagi dalam bahasan tentang HATI. Karena bahasan mengenai HATI ini memang sudah sangat carut marut di zaman kita sekarang ini.

Wallahu a’lam…

Selesai.

Read Full Post »

Hanya saja kalau kita melihat pengaruh dari paham-paham tersebut terhadap bahasan kita tentang belahan otak kiri dan otak kanan seperti yang telah kita bahas sebelumnya, maka kita akan menemukan suatu hal yang sangat luar biasa.

Bahwa ternyata kalau kita berpegang pada Paham Wahdatul Wujud dan Paham Nur Muhammad, maka kita akan disibukkan oleh USAHA-USAHA dan LATIHAN-LATIHAN untuk BERJALAN dan MENGARAHKAN-ARAHKAN sesuatu anasir yang ada di dalam tubuh kita, terutama dari dalam dada kita, untuk PERGI menuju ALLAH. Usaha-usaha itu harus dibarengi pula dengan ucapan DZIKIR baik secara JAHAR maupun secara SIRR dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang lama.

Pergi itu biasanya adalah keluar tubuh kita menuju sesuatu yang harus kita yakini itu adalah Allah, atau ada yang menamakannya dengan Aku (Aku besar). Arah pergi kita itu biasanya adalah ke atas, atau ke depan. Yang berjalan itu biasanya disebut juga dengan Jiwa, atau Roh, atau aku kecil, atau nama-nama lain sesuatu dengan ilmu yang diberikan oleh guru kita masing-masing. Aku kecil bergerak menuju Aku Besar. Untuk kemudian aku kecil berusaha meniadakan akunya, sehingga yang ada hanyalah Aku Besar.

Namun sebelum kita bisa pergi keluar tubuh kita itu, kita harus terlebih dahulu masuk dulu ke dalam LUBUH HATI kita, yang katanya itu berada di dalam dada atau jantung kita. Gunanya kita masuk ke dalam lubuk hati kita adalah adalah untuk membersihkan Jiwa kita yang katanya berada di lubuk hati kita itu terlebih dahulu. Setelah itu barulah kita bisa menemukan diri sejati kita, yang katanya itu adalah Roh Suci.

Dan Roh Suci inilah yang akan bisa menemukan Allah setelah Roh Suci itu menempuh perjalan heroik melampaui alam-alam pikiran, alam rasa, alam malakut, alam ahadiat, alam wahdiat, Nur Muhammad, dan alam-alam lainnya sesuai dengan ilmu yang diberikan oleh guru kita kepada kita.

Makanya dalam paham-paham seperti ini yang diutamaka adalah PERJALANAN dan MENDEKAT kepada Allah. Perjalanan jiwa, Mi’raj, sampai disambung oleh Allah. Di dalam shalatpun kita harus begitu. Kita memperjalankan jiwa kita. Jiwa kita berjalan, nyambung, shilatun, ingin berjumpa dengan Allah. Kalau Allah berkenan menyambutnya dan menjawab perjalanan jiwa kita itu dalam bentuk adanya rasa sambung yang terasa, maka kita senangnya luar biasa. Akan tetapi kalau rasa sambung itu tidak terasa, maka kita akan merasa sangat tersiksa sekali. Jadi yang di cari-cari adalah rasa sambung itu.

Dan aktifitas seperti ini sebenarnya adalah aktiftas mengaktifkan otak belahan kanan kita dengan jalan membuat otak belahan kita kita hanya terfokus pada sebuah aktifitas berpikir saja, yaitu PERJALANAN…, MENDEKAT kepada sesuatu yang kita anggap itu adalah Tuhan.

Keadaan seperti ini tak ubahnya dengan perjalanan-perjalanan yang dilakukan oleh orang yang sedang bermeditasi melalui CAKRA-CAKRA yang mulai dari tulang ekor, atau suatu tempat diantara kelamin dan dubur, lalu naik keatas sampai melewati ubun-ubun yang disebut itu sebagai cakra mahkota.

Bahkan pada beberapa meditasi, setelah melewati cakra mahkota itu, perjalanan itu bisa pula mereka lanjutkan lebih keatas lagi untuk menemukan posisi Cakra AVATAR, diatasnya lagi ada Cakra Ilahi, diatasnya lagi ada cakra Pribadi Tinggi, diatasnya lagi ada cakra Inti Roh sejati atau Atman.

Dan untuk masing-masing cakra itu ada lamunannya pula. Misalnya kalau seseorang sudah mencapai cakra Avatar, maka dia akan tak ubahnya seperti makhluk yang mempunyai kepala dan tangan yang banyak. Kalau mencapai cakra Ilahi, dia akan berubah menjadi makhluk yang mempunyai sayap seperti malaikat. Dan kalau sudah sampai pada cakra Roh Sejati, maka disitulah dia akan bertemu dengan Tuhan. Karena di dalam Roh Sejati itulah katanya Tuhan Bersemayam. Kan ngarang saja itu namanya.

Sedangkan di dalam ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, apa yang harus kita lakukan sudah sangat disederhanakan sedemikan rupa sehingga kita tidak usah capek-capek lagi untuk melakukan berbagai perjalanan seperti diatas. Kita juga sudah tidak usah lagi melamun dan berkhayal untuk pergi menemui Allah dalam sebuah perjalanan Rohani. Sebab untuk mendekatkan diri kita kepada Allah, kita hanya cukup melakukan ibadah-ibadah Wajib dan ibadah-ibadah Sunnah saja.

Bahwa “tidak ada cara yang dapat mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku seperti MELAKSANAKAN FARDHU-FARDHU-KU dan sesungguhnya ia mendekatkan diri kepada-Ku dengan MELAKUKAN HAL-HAL YANG SUNNAH sehingga cintalah Aku kepadanya. Dan sesudah Aku mencintainya aku jadi kakinya yang dengannya ia berjalan, tangan yang dengannya ia memukul, lidah yang dengannya ia berkata , dan hatinya yang dengannya ia berfikir. Bila ia meminta kepada-Ku Aku memberi dan bilaia berdoa Aku menerima doanya”. (H Salim Bahreisy, 272 Hadits Qudsi, 76).

Atau dalam hadist lain:

“Sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman: ‘Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka sesungguhnya Aku menyatakan perang terhadapnya. Hamba-Ku senantiasa (bertaqorrub) MENDEKATKAN DIRI kepada-Ku dengan suatu (perbuatan) yang Aku sukai seperti bila ia melakukan yang FARDHU yang Aku perintahkan kepadanya. Hamba-Ku senantiasa (bertaqorrub) MENDEKATKAN DIRI kepada-Ku dengan AMALAN-AMALAN SUNAH hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka jadilah Aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, sebagai tangannya yang ia gunakan untuk memegang, sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti akan Aku berikan kepadanya.” (HR. Bukhari).

Dan amalan-amalan sunnah yang bisa kita lakukan itupun tidak perlu amalan yang aneh-aneh dan sulit-sulit. Dengan Melakukan tiga hal sunnah berikut ini saja dengan ISTIQAMAH sudah sangat lebih dari cukup, yaitu:

SHALAT TAHAJUT 20 rakaat dan witir 3 rakaat atau denan jumlah yang lebih kecil.
PUASA SUNAT sebanyak-banyaknya, kecuali pada lima hari saja. “Seseorang itu tidak diwajibkan berbuka kecuali pada 5 hari yang terlarang oleh Rasulullah (saw) iaitu: Idul Fitri, Idul Adha dan hari-hari Tasyriq”. Terjemahan Sunan At-Tirmidzi, bk 2, 92, (1993).
MEMBACA AL QUR’AN dimana ada kesempatan.

Apalagi kalau bisa diperbanyak pula dengan melakukan cara hidup seperti berikut ini:
Memperbanyak Sedekah
Mulai hidup lebih ZUHUD.
Hati baik kepada semua orang.
Perpegang sajalah pada SYARIAH. Jangan macam-macam.
Hanya saja dalam melakukan semua amalan wajib atau amalan sunnah itu, kita harus selalu dalam keadaan DZIKRULLAH (INGAT KEPADA ALLAH). Mengingat Allah inilah hal terpenting yang harus kita jaga dan lakukan setiap saat. Dan ini pulalah sebabnya kita harus mengenal Allah (makrifatullah) terlebih dahulu sebelum kita melakukan segala macam peribadatan diatas. Karena Allah yang sudah kita kenal itulah yang akan kita ingat-ingat selalu.

Karena kalau kita sudah mengenal Allah, maka kita sudah tidak perlu lagi melamun-lamun untuk memperjalan-jalankan jiwa kita untuk pergi menemui Allah. Tidak perlu.

Allah sudah sangat mempermudah kita kalau kita ingin bertemu dengan-Nya, yaitu melalui PINTU INGATAN. “Fadzkuruni adzkurkum, Ingatlah kamu kepada-Ku nescaya Aku ingat (pula) kepadamu”, Al Baqarah (2):152. That simple. Sederhana tapi sangat powerfull dan sangat tinggi nilainya.

Rasulullah saw bersabda, “Mahukah aku beritahukan kepada kamu semua dengan amal-amal yang terbaik dan paling diredhai di sisi Tuhan kamu dan membuat anda mencapai derajat tinggi dan lebih baik untuk kamu semua daripada memberi sedekah emas dan perak dan lebih baik daripada kamu semua bertemu musuh lalu kamu penggal leher mereka dan mereka memenggal leher kamu semua.” Mereka menjawab, “Mahu!” Baginda menjawab, “Dzikrullah (Mengingati Allah).” Terjemahan Sunan Ibnu Majah Bk 4, 494 (1993)

“Sesungguhnya ingat akan Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain)”. Al Ankabut (29):45.

“…aqimishshalahti lidzikri, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku (Allah)”, Taha (20):14

Sesungguhnya Allah swt telah berfirman, “Apabila hamba-Ku mendekati Aku sejengkal maka Aku mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati Aku sehasta maka Aku mendekatinya sedepa. Dan bila dia mendekati Aku sedepa, Aku akan datang menemuinya lebih cepat lagi.” Sahih Muslim Buku 4, 608 (1994).

“Aku bersamanya jika ia mengingati Aku. Sekiranya ia mengingati Aku dalam dirinya, Aku akan mengingatinya dalam Diri-Ku”. Sahih Muslim Buku 4, 608 (1994).

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. Ra’d (13):28

“Menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah”. Az Zumar(39):23.
Dalam melakukan Dzikrullah ini, lakukanlah ia dengan cara yang tidak aneh-aneh dan tidak membuat-buat cara yang baru. Misalnya, disuruh mengingat Allah, janganlah kita malah berjalan-jalan mencari Allah. Disuruh mengigat Allah, janganlah kita malah berkomat-kamit asyik membaca wiridan. Disuruh mengingat Allah, janganah kita malah sibuk berusaha untuk menyadar-nyadari Allah. Padahal yang bisa kita sadar-sadari itu hanyalah ada Dzat-Nya yang meliputi kita, meliputi segala sesuatu. Jadi kita menghadap kemanapun juga, maka yang ada hanyalah Dzat-Nya saja. Sedangkan Allah hanya perlu kita INGAT saja. Karena tidak yang bisa menjangkau Allah kecuali hanya INGATAN kita.

Begitu kita ingat kepada Allah (dzikrullah), maka ingatan kita akan segera saja menjadi BERSIH sebersih-bersihnya dari segala ingatan kita kepada yang lain selain hanya ingatan kepada Allah.

Kenapa bisa bersih?.

Bersambung ke bagianTerakhir.

Read Full Post »

PAHAM HAKEKAT DZATIYAH

Ditengah-tengah ketakutan umat dan kebuntuan pemikiran yang seperti itu, maka muncullah Arif Billah H. Hussien Bin Abdul Latiff menawarkan sebuah konsep Paham yang tidak saja mencerahkan, tetapi juga sangat mudah dan sederhana untuk dipahami dan dipraktekkan. Paham yang Beliau sampaikan bisa disebut sebagai Paham Dzatiyah.

Paham ini berpijak pada landasan bahwa semua yang berkenaan dengan ciptaan hanya ada dan terjadi di dalam Lauhul Mahfuz saja. Di luar lauhul Mahfus tidak yang bisa mengetahuinya. Sebab di luar Lauhul Mahfuz itu, semuanya akan mampus karena terbakar hangus oleh keagungan Dzat Allah Yang Maha Indah.

Nah…, paham Dzatiyah ini mengatakan bahwa HAKEKAT dari semua ciptaan yang ada di dalam Lauhul Mahfuz itu adalah SEDIKIT dari DZAT Allah yang besarnya hanyalah seukuran sebutir pasir dibandingkan dengan padang pasir, atau setetes air masin dibandingkan dengan lautan. Sangat kecil sekali.

Kepada Dzat-Nya yang sedikit itulah Allah berfirman KUN, sehingga DARI Dzat-Nya yang sedikit itu pulalah kemudian TERZHAHIR semua yang berkenaan dengan ciptaan.

Mari kita uji pernyataan paham ini dengan berbagai pertanyaan, sebagai berikut:

Semua ciptaan berasal dari apa atau dari mana?. Kapan semua ciptaan itu di ciptakan?.

Paham Dzatiyah ini dengan jelas mengatakan bahwa asal-usul (HAKEKAT) semua ciptaan adalah dari Sedikit Dzat atau Diri Allah. Bukan dari ketiadaan, bukan dari kosong, dan bukan pula dari sesuatu yang lain dari selain Diri atau Dzat Allah. Karena sebelum ada segala sesuatu, yang ada hanya DIRI Allah sahaja.

Oleh sebab itu, ketika Allah berfirman KUN, maka Allah berfirman kepada Diri-nya sendiri. Akan tetapi Diri-Nya yang dikenai-Nya dengan firman Kun itu hanyalah sedikit sekali, bukan DIRI-NYA keseluruhan. Sedikit Diri-Nya yang terkena firman KUN itupun berubah fungsi menjadi DZAT atau UNSUR yang menjadi asal-usul dari semua Ciptaan.

Jadi sekarang sudah menjadi jelas sekali bahwa: Hakekat dari manusia adalah Dzat. Hakekat dari binatang adalah Dzat. Hakekat dari tumbuhan adalah Dzat. Hakekat dari bumi, bulan, matahari dan bintang-bintang adalah Dzat. Hakekat dari Angkasa Semesta Raya adalah Dzat. Hakekat dari Tujuh Lapis Langit adalah Dzat. Hakekat dari Sidratul Muntaha adalah Dzat. Hakekat dari Syurga dan Neraka adalah Dzat. Hakekat dari Lapisan Air, Arasy, dan 70 tabir Cahaya yang melindungi Lauhul Mahfuz adalah Dzat. Jelasnya…, Hakekat dari Lauhul Mahfuz itu adalah DZAT.

Kemanapun mata kita memandang, kita sudah tahu bahwa disebaliknya ada DZAT yang menjadi HAKEKAT dari semua yang terpandang. Hakekat itu meliputi semua ciptaan. Tiada sesuatu apapun yang bisa lepas dari liputan Dzat. Tidak ada sesuatu apapun yang bisa bersembunyi ataupun menghindar dari Dzat. Sehalus dan sekecil apapun sesuatu itu, maka Dzat juga akan meliputinya tanpa kecuali. Karena Dzat itu memang sangatlah Maha Halus.

Kalau kita melihat kepada diri kita, maka di sebalik tubuh kita ada Dzat. Di depan kita ada Dzat, di belakang kita ada Dzat, di dalam tubuh kita ada Dzat. Disebalik semua sel tubuh kita ada Dzat. Disebalik Ruh kita ada Dzat. Disebalik hati kita ada Dzat, disebalik jiwa kita ada Dzat. Disebalik nyawa kita ada Dzat.

Kita, seperti halnya juga dengan semua ciptaan yang lainnya, hanya seperti suatu SIFAT yang MENGAPUNG begitu saja di dalam DZAT. Apapun yang terjadi pada diri kita maupun pada semua ciptaan, semuanya itu semata-mata adalah karena lakonan atau aktifitas dari Dzat yang sangat patuh kepada Qada dan Qadar yang telah ditetapkan oleh Allah untuk mendzahirkan berbagai sifat.

Dengan mengenal hakekat seperti ini, maka kemanapun mata kita memandang, mata hati kita sudah KASYAF melihat bahwa disebaliknya adalah Dzat. Disebalik gerak nafas kita ada Dzat. Disebalik tumbuhan ada Dzat. Disebalik daya yang menggerakkan bumi dan bintang-bintang ada Dzat.

Dzatlah yang menyebabkan gerak itu terjadi. Karena Dzat memang meliputi segala sesuatu. Dzat akan sangat patuh kepada apa-apa yang sudah diperintahkan oleh Allah terhadap Dzat-Nya yang sedikit itu yang telah direncanakan oleh Allah sejak Firman KUN. Dzatlah yang mendzahirkan gerak itu, sehingga gerak itu kemudian menggerakkan Dzat-Nya Yang Dzahir. pada waktu yang telah ditentukan,

Sejak dari Firman KUN itu, telah selesai pulalah Rencana Allah yang Maha Sempurna terhadap apa-apa yang akan didzahirkan oleh Dzat-Nya menjadi berbagai SIFAT yang terlihat ataupun yang tidak terlihat oleh panca indera kita. Pendzahiran itu hanya tinggal menunggu waktu saja lagi.

Karena memang untuk semua pendzahiran itu segala sesuatunya telah difasilitasi pula oleh Allah tanpa ada yang dilupakan-Nya sedikitpun. Di dalam Dzat-Nya yang sedikit itu sudah tersedia daya, power, pengkodean, informasi, dan berbagai kebutuhan lainnya untuk pendzahiran segala macam makhluk dengan berbagai macam aktifitasnya. Dengan kata lain, Dzat akan patuh sepatuh-patuhnya mengikuti Qada dan Qadar yang sudah ditulis dan terencana dengan sangat Sempurna sejak firman Kun..

Sejak itu, semuanya sudah berjalan secara otomatis seperti beroperasinya pabrik mobil BMW atau Marcedes Benz yang berjalan secara otomatis. Allah sudah tidak ikut campur tangan lagi terhadap apa-apa yang akan terdzahir di dalam Lauhul Mahfuz. Karena memang Allah telah menciptakan Lauhul Mahfuz itu menjadi sebuah sistem yang bisa beroperasi secara otomatis yang tiada bandingannya. Manusia saja bisa membuat sebuah sistem otomatis berjalan tanpa campur tangan manusia itu sendiri. Apalagi Allah. Sang Maha Pencipta yang Maha Sempurna. Tentu Dia sangat-sangat bisa.

Makanya, setelah Firman Kun itu, Allah tinggal bersemayam atau terduduk meliputi Dzat-Nya Yang sedikit itu untuk mengawasi segala sesuatunya. Ayat Al qur’an mengistilahkannya dengan “… Lalu Dia bersemayam diatas Arsy…”, Al A’raf 54, dan di dalam beberapa ayat lainnya.

Istilah bersemayam diatas Arsy ini sebenarnya sangat mudah sekali untuk dipahami kalau kita sudah Mengenal Allah (makrifatulah) dengan pengenalan yang sebenar-benarnya. Arsy itu berada di dalam Lauhul Mahfuz. Sementara Lauhul Mahfuz itu sendiri hakekatnya adalah sedikit saja dari Dzat atau Diri Allah sendiri, maka dengan begitu Allah bisa dikatakan seperti “terduduk” diatas Arasy yang berada di dalam Dzat-Nya yang sedikit itu.

Hal itu tak ubahnya seperti terduduknya lautan pada setetes air masin. Atau seperti terduduknya padang pasir pada sebutir pasir. Atau seperti terduduknya sebuah gunung pada sebuah terowongan yang dibuat menembus perut gunung itu.

Dan segala kesibukan yang berkenaan dengan ciptaan hanya terjadi di dalam Dzat yang seukuran sebutir pasir itu, atau di dalam Dzat yang seukuran setetes air masin itu. Seperti halnya juga dengan segala kesibukan manusia dan kendaraan yang hanya terjadi di dalam sebuah terowongan yang menembus perut sebuah gunung saja.

Diluarnya, tidak ada yang tahu. Maha Rahasia. Apa yang terjadi di padang pasir yang luas tidak akan diketahui oleh jasad renik yang hidup di dalam sebutir pasir. Apa yang berlaku lautan yang luas tidak akan bisa diketahui oleh makhluk kecil yang berada di dalam setetes air masin. Dan apa yang berlangsung di seluruh badan gunung tidak akan bisa diketahui oleh makhuk yang berada di dalam terowogan di dalam perut gunung itu.

Jadi tidak ada masalah sedikitpun dengan istilah Allah bersemayam atau duduk diatas Arsy seperti yang disebutkan Allah di dalam Al Qur’an itu. Yang bermasalah adalah kitanya saja selama ini. Begitu dikatakan Allah duduk atau bersemayam, maka kita sudah membayangkankannya sama dengan duduk dan bersemayamnya kita diatas sebuah kursi atau tempat istirahat. Ya akhirnya kita bingung sendiri dibuatnya.

Dengan mengenal Hakekat semua ciptaan yang seperti ini, kita akan menjadi sangat mudah untuk bermakrifat kepada Allah. Sebab dari mengenal ALAM HAKEKAT yang SANGAT KECIL inilah kemudian kita jadi bisa pula mengetahui KEBENARAN akan KEMAHABESARAN ALLAH, KEWUJUDAN ALLAH, dan KEESAAN ALLAH. Dan entah kenapa, saat itupun air mata kita jatuh bercucuran tanpa bisa kita tahan-tahan. Sungguh mengherankan sekali.

Kalau tidak ada si kecil, maka kita juga tidak akan tahu ada si besar. Hanya saja, si kecil itu adalah bagian yang sedikit saja dari si besar. Tidak berpisah antara si kecil dan si besar. Ini ibarat kita membandingkan ujung kuku kita dengan diri kita yang keseluruhan. Siapapun juga bisa melihat bahwa diri kita sangatlah besar bila dibandingkan dengan ujung kuku kita. Dan kitapun bisa melihat bahwa tidak ada keterpisahan antara ujung kuku kita itu dengan diri kita.

Dengan mengenal bahwa Dzat yang meliputi semua ciptaan itu adalah sedikit dari Diri Allah sendiri, maka pastilah Allah bisa melihat, mendengar, dan mengetahui apa-apa yang terjadi dengan semua ciptaan-Nya itu. Dia melihat, mendengar, dan mengetahui tentang semua ciptaan-Nya itu melalui Dzat-Nya yang sedikit itu. Dan semua itu tak ubahnya seperti Allah melihat, mendengar, dan mengetahui terhadap Diri-Nya Sendiri.

Oleh karena semua makhluk adalah tercipta dari Dzat atau Diri Alah sendiri, maka semua mahkluk yang tercipta itupun bisa disebut sebagai Dzat-Nya juga, akan tetapi berbeda sifat dengan Dzat-Nya yang menjadi unsur pembentuk dari semua ciptaan itu. Untuk membedakannya, semua ciptaan itu disebut-Nya dengan Diri atau Dzat-Nya Yang Dzahir. “Dialah yang Dzahir”, firman Allah dalam Al Hadid (57):3. Sedangkan Dzat pembentuk semua ciptaan itu disebutnya dengan Diri atau Dzat-Nya Yang Bathin. “Dialah Yang Bathin”, firman Allah dalam Al Hadid (57):3.

Karena dari Dzat-Nya yang sedikit itulah berawalnya semua ciptaan, dan pada akhirnya semua ciptaan akan lenyap, sehingga yang tersisa kembali hanyalah Dzat-Nya yang sedikit itu, maka Dzat-Nya yang sedikit itu disebutnya juga dengan Diri atau Dzat-Nya Yang Awal dan Dzat-Nya Yang Akhir. “Dialah yang Awal dan Yang Akhir”, firman Allah dalam Al Hadid (57):3. Sedangkan Allah sendiri tidak berawal dan tidak berakhir.

Yang tidak kalah pentingnya adalah, dengan mengetahui bahwa apapun yang terjadi pada setiap ciptaan, apakah itu SEBAB atau AKIBAT, apakah itu BAIK atau BURUK, maka semua kejadian itu pada hakekatnya dilakukan oleh Dzat-Nya semata-mata. Dzat-Nya yang patuh melaksanakan apa-apa yang sudah tertulis di dalam Lauhul Mahfuz berupa Qada dan Qadar untuk menzhahirkan berbagai SIFAT yang berbeda-beda.

Inilah cikal bakal bagi kita untuk bisa memahami Rukun Iman yang ke-6, yang akan sangat sulit kita pahami tanpa kita melihatnya dari sudut pandang Ilmu Makrifatullah. Sebab dengan cara pandang seperti inilah, kita baru bisa terbebas dari keterikatan kita dengan berbagai kejadian baik yang kita lihat, kita baca, kita dengar, maupun yang kita alami. Karena dengan pandangan seperti ini, kita benar-benar sudah menjadi tidak wujud. Yang wujud adalah Dzat-Nya semata-mata. Dan Allah bebas berbuat apa saja terhadap Dzat-Nya.

Begitulah selanjutnya, dengan mengenal Dzat sebagai Hakekat dari semua ciptaan. Dimana Dzat itu meliputi semua ciptaan, maka dengan sangat mudah kita akan bisa mengenal maksud dari ayat-ayat atau hadist makrifatullah yang lainnya.

Misalnya:
Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?, Al Mulk (67):14;
Allah sentiasa Meliputi akan tiap-tiap sesuatu, An Nisa (4):126;
Dan Allah jualah yang memiliki timur dan barat, maka ke mana sahaja kamu menghadap di situ ada wajah (Dzat) Allah, Al Baqarah (2):115;
Dia bersama kamu di mana sahaja kamu berada, Al Hadid (57):4;
Kami lebih dekat kepadanya dari urat nyawanya, Qaaf (50):16;
Anak adam melukaiKu dengan mencaci Masa kerana Masa itu adalah Aku, Sunan Abu Dawud Vol. 3, 1452 (1990), dan sebagainya.

Semua ayat-ayat makrifatullah tersebut diatas adalah mengacu kepada Dzat-Nya yang sedikit saja. Oleh sebab itu, maka bagaimanapun juga kita, yang katanya bisa, berjalan lurus menuju Allah, maka yang akan kita jumpai itu hanyalah Dzat-Nya yang sedikit saja. Tidak lebih.

Jadi…, kita TIDAK akan pernah bisa berjumpa dengan Allah kalau kita HANYA mencoba untuk MENJALAN-JALANKAN RUH kita, atau Jiwa kita, atau Ruh Suci kita, atau apa sajalah namanya, seperti yang dipakai dalam kebanyakan ajaran tasawuf seperti yang telah diterangkan diatas. Karena kemanapun kita berjalan atau mengarah, maka yang akan kita temukan hanyalah Dzat-Nya yang sedikit saja. Mau dinamakan apa saja yang kita capai dalam memperjalan-jalankan RUH kita, apakah itu alam Ghaib, alam yang Maha Ghaib, dan sebagainya, maka yang kita temukan itu maksimum hanyalah Dzat-Nya yang sedikit saja.

Karena banyak kita umat islam ini yang TERSILAP dalam bermakrifat, dan kita mendirikan ibadah-ibadah kita diatas fondasi makrifatullah yang tersilap itu, maka pengaruh dan manfaat dari ibadah-ibadah yang kita lakukan itupun menjadi sangat kecil sekali kalau tidak mau dikatakan tidak ada.

Akan tetapi, insyaallah untuk dimasa-masa yang akan datang, dengan berbekal ilmu makrifatullah yang lebih mudah dan sederhana, seperti yang diajarkan oleh Ustadz Hussien BA Latiff, umat Islam akan kembali menemukan kejayaannya seperti dizaman-zaman awal islam dulu tumbuh dan berkembang.

Untuk memudahkan kita dalam memahami Perbandingan ketiga alternatif paham tersebut diatas, saya telah mencoba untuk menyederhanakannya dalam bentuk tabel seperti berikut:

DZAT-WAHDATUL (2)

Nur muhammmad (2)

Bersambung

 

Read Full Post »

Sekarang marilah kita lihat sebuah contoh tentang bagaimana ilmu tasawuf yang umumnya ada saat ini mengajarkan kita untuk mencari hakekat diri kita dan kemudian baru setelah itu kita bisa bermakrifat kepada Allah.

Pertama kali yang diajarkan kepada kita adalah untuk BERDZIKIR dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang lama, sampai pada suatu saat kita akan bisa dengan sendirinya menemukan HAKEKAT diri kita. Siapa diri sejati kita. Who Am I.

Setelah kita bertemu dengan diri sejati kita, Hakekat diri kita, yang konon katanya adalah RUH SUCI, yaitu Jiwa kita yang sudah suci bersih dari segala kotoran, maka Ruh Suci itulah nantinya yang akan bisa kembali kepada Allah, bisa berbicara dengan Allah, dan mendapatkan Ilham dari Allah. Karena memang Ruh Suci itu diangap sebagai PERCIKAN dari Allah sendiri. Ia berasal dari Allah. Ia adalah Ruh Allah sendiri yang ditiupkan kedalam tubuh kita. MIN-RUHI. Sehingga dengan begitu ada pula orang yang menganggap bahwa Ruh Suci itu bukanlah ciptaan Allah, tapi percikan Ruh Allah sendiri yang diberikan Allah kepada manusia.

Untuk menguatkannya, berbagai ayat dan hadist pun ditambahkan. Dengan berbekal itu, hakekat manusia itu dibahas dan dicari dengan sangat bersemangat sekali. Akan tetapi bahasan dan pencarian itu tetap berdasarkan filsafat-filsafat yang telah berkembang ditengah-tengah masyarakat sejak berbilang zaman yang lalu. Kemudian, ketika hakekat manusia itu digabung dengan hakekat dari semua ciptaan, maka muncullah kesimpulan akhir yang sangat berbeda-beda. Perbedaan hasil akhir inilah yang kemudian melahirkan berbagai Paham atau filsafat dalam aliran Tasawuf.

Misalnya, pada filsafat WAHDATUL WUJUD muncullah pandangan bahwa hakekat semua ciptaan adalah ALLAH sendiri. Ciptaan adalah Allah, dan Allah adalah ciptaan. Ciptaan adalah wujud yang dzahir, sedangkah Allah adalah wujud yang bathin. Tiada terpisah antara yang dzahir dengan yang bathin. Jadi tidak terpisah antara makhluk dengan Allah. Disebalik semua ciptaan adalah Allah. Yang menggerakkan nafas kita ini adalah Allah langsung, yang mengerakkan tubuh kita ini adalah Allah langsung.

Makanya orang yang berpegang pada filsafat wahdatul wujud ini seringkali merasa bingung, “saya ini makhluk atau Allah sih, saya ini Allah atau makhluk sih”, tanya mereka membatin. Sebab kadangkala dia merasa seperti bisa berkuasa dan kadangkala pula dia merasa seperti tidak bisa berkuasa terhadap dirinya. Dia terombang ambing dalam sebuah ketidakpastian yang sangat menyakitkan. Dia merasa tersiksa.

Maka untuk menghindar dari rasa tersiksa itu, muncullah kemudian berbagai usahanya yang sangat aneh-aneh untuk memfanakan dirinya agar dia bisa merasa TIDAK WUJUD sehingga ia menjadi tidak tersiksa lagi. Sebab kalau dia sudah FANA, maka (katanya) yang tinggal hanya Allah sendiri. Dan itu dilengkapinya pula dengan ayat; “kullu man ‘alaihaa faanin wayabqaa wajhu rabbik, semua yang ada dibumi akan FANA, dan yang tetap BAQA (kekal) Wajah Tuhanmu…”, Ar Rahman 26-27.

Namun upaya untuk menjadi FANA itulah yang seru. Saya sudah melatihnya dengan berbagai cara dan metoda selama belasan tahun, seperti yang telah saya ceritakan dalam bagian terdahulu. Tetapi sampai saya akhirnya meninggalkan cara dan metoda itu, saya tetap merasa masih BELUM bisa menjadi FANA.

Ada memang yang mengaku sudah sampai menjadi FANA, tapi anehnya adalah ia masih bisa berkata-kata. Dan ketika dia berkata-kata itu dia mengaku pula: “perkataanku ini bukanlah dari ku, tapi Allahlah yang berkata-kata; perbuatanku ini bukanlah dariku sendiri, tapi perbuatan dari Allah; marahku ini bukanlah dariku sendiri, tapi marahnya Allah; dan sebagainya”. Masak sih kalau Allah yang berkata-kata, kalau Allah yang berbuat, kalau Allah yang marah, kualitasnya hanya semelikitik begitu. Terlalu kecil.

Pertanyaan selanjutnya, kalau Allah yang menjadi hakekat dari semua makhluk, lalu makrifatnya apa?. Masak Allah lagi?. Hakekatnya Allah, makrifatnya Allah. Ya nggak nyambunglah. Pasti bingung jadinya. Makanya ada yang merasa bahwa kalau di dalam shalat seakan-akan dia merasa bahwa dirinya yang diluar menyembah dirinya yang di dalam. Atau ketika dia merasa dirinya sudah menjadi diri yang universal, diri yang luas, maka dia merasa bahwa dia menyembah dirinya sendiri. Membingungkan sekali keadaan dan suasana yang dialaminya. Sehingga tidak jarang setelah itu dia tidak akan shalat lagi. Karena dia merasa seperti menyembah dirinya sendiri.

Atau kalau ada yang masih shalat, maka shalatnya itu tak lebih dari usahanya untuk mendapatkan rasa tenang dan bahagia saja. Dan untuk mendapatkan hal itu selalu harus ditandai dengan adanya TERASA getaran DI DALAM DADANYA. DERR. Dan getaran itulah, katanya, yang menandakan bahwa RUH nya telah bersambung dengan Allah. Kalau tidak ada DERR nya, maka ia akan sangat gelisah dan ketakutan sekali. Karena saat itu seakan-akan Allah sudah menjauh darinya. Lalu dia akan melakukan berbagai aktifitas tadzkiyatunnafs lagi agar ia dapat kembali merasakan getaran rasa sambung itu. Lagi…, lagi…, dan lagi…

Keadaan seperti ini pulalah yang telah saya alami selama bertahun-tahun lamanya. Dan ternyata saya tidak kuat untuk menahannya, sehingga sayapun meninggalkan cara-cara ini secara total sejak bulan Februari 2014 sampai sekarang.

Pada filsafat NUR MUHAMMAD lain lagi. Walaupun cara latihan dan aktifitas yang dilakukan hampir sama saja dengan filsafat WAHDATUL WUJUD, yaitu DZIKIR sebanyak-banyaknya dan dalam waktu yang selama-lamanya, namun perbedaan utamanya adalah dalam hal memahami HAKEKAT dari semua ciptaan.

Di dalam faham ini, yang menjadi HAKEKAT dari semua ciptaan adalah NUR MUHAMMAD. Bukan Allah seperti dalam faham Wahdatul Wujud. Sebelum Firman KUN Allah terlebih dahulu menciptakan Nur Muhammad dari setengah Dzat-Nya sendiri. Lalu setelah itu barulah Allah berfirman KUN kepada Nur Muhammad itu. Dan dari Nur Muhammad itulah kemudian tercipta semua makhluk. Jadi menurut paham ini, semua ciptaan ini adalah berasal dari Nur Muhammad.

Pertanyaannya sih simple saja, Hakekat dari Nur Muhammad itu sendiri apa?. Asal usul dari Nur Muhammad apa?. Masak Nur Muhammad ada tanpa berasal dari sesuatu. Kan nggak mungkin. Selama masih bisa dipertanyakan begitu, maka Nur Muhammad itu belumlah bisa dianggap sebagai hakekat dari seluruh ciptaan.

Akan tetapi, karena telah terlanjur menganggap Nur Muhammad adalah hakekat dari semua ciptaan, maka segala aktifitas penganut paham ini akan ditujukan untuk menemukan Nur Muhammad itu. Penganutnya akan mencoba menghubungkan diri mereka dengan Nur Muhammad itu melalui proses rabithah dan proses lamunan lainnya.

Sebelum beribadah mereka terlebih dahulu harus membayangkan wajah guru mereka. Guru merekapun dibayangkan sedang terhubung dengan gurunya…, …, sampai ke Nabi Muhammad Saw. Mereka harus yakin bahwa mereka merasa bisa terhubung sampai ke Nabi Muhammad Saw, dengan harapan bahwa suatu saat nanti mereka juga bisa melihat Allah seperti Nabi Muhammad SAW melihat Allah di waktu peristiwa isra’ mi’raj dulu. Padahal apakah Nabi bisa melihat Allah atau tidak disaat peristiwa isra mi’raj itu, masih terjadi silang pendapat para ulama. Ada yang mengiyakan, ada yang menidakkan, dan ada pula yang netral. Semuanya lengkap dengan dalil-dalilnya pula.

Aktifitas UTAMA yang harus kita lakukan kalau kita menganut paham Nur Muhammad atau paham Wahdatul Wujud ini adalah kita harus BERDZIKIR sebanyak-banyaknya. Dan berdzikir disini lebih cocok disebut sebagai WIRIDAN. Karena aktifitasnya memang lebih banyak dengan cara menyebut-nyebut (nama) Allah dari pada mengingat Allah. Sehingga urutan prosesnya adalah: SYARIAT-TAREKAT-HAKEKAT-MAKRIFAFAT.

Bagaimana caranya, silakan saja lihat di youtube. Disana banyak sekali tersedia teknik-teknik untuk wiridan atau dzikir untuk mencapai makrifat, seperti dzikir nafas, dzikir goyang-goyang, dan berbagai dzikir tarekat lainnya.

Begitu pentingnya akitfitas berdzikir ini kita lakukan, bahkan sampai-sampai dikatakan bahwa kita tidak akan pernah bisa mencapai makrifat kepada Allah kalau kita tidak berdzikir menurut cara atau tarekat tertentu. Menakutkan sekali.

Bersambung.

Read Full Post »

HAKEKAT DARI SEMUA CIPTAAN.

Mengenal HAKEKAT dari segala ciptaan adalah sebuah TITIK AWAL yang sangat penting (WAJIB) bagi siapapun juga agar supaya setelah dia bisa BERMAKRIFAT dengan MUDAH. Sebab setelah mengenal hakekat, kita hanya tinggal selangkah kecil saja lagi untuk bermakrifat kepada Sang Pemilik Hakekat. Kita tidak butuh usaha ataupun bahasan apa-apa lagi untuk bermakrifat.

Kalau kita sudah mengenal Hakekat dari Semua Ciptaan ini dengan betul dan tepat, maka dengan tak terbantahkan lagi kita akan mengenal pula bahwa Sang Pemilik dari Hakekat itu adalah Allah SWT. Dan mengenal Allah SWT sebagai pemilik hakekat itulah yang dinamakan sebagai MAKRIFATULLAH.

Tanpa mengenal hakekat dari semua ciptaan terlebih dahulu, maka kita akan sangat kesulitan untuk bermakrifat kepada Allah SWT. Kita akan kesulitan dalam mengenal Allah. Padahal segala macam peribadatan yang akan kita lakukan fondasi utamanya adalah pada pengenalan kepada Allah SWT (makrifatullah) itu. Tidak bisa tidak. Keliru bermakrifat, maka keliru pula peribadatan yang akan kita lakukan.

Masalahnya adalah, JALAN yang tersedia di depan mata kita saat ini, untuk mengenal hakekat dari semua ciptaan ini agar kita bisa bermakrifat kepada Allah SAJA, sungguh sangat sulit dan beragam sekali.

Ada jalan yang penuh dengan teka teki silang seperti: Allah wujud tapi tidak bertempat. Allah dekat tapi tidak bisa disentuh. Allah wujud, tapi tidak bertempat dan tidak berwaktu. Mbulet begitu pembahasannya saja setiap saat. Akhirnya muncul kesimpulan, hakekat dan makrift tidak perlu dibahas. Cukup jalankan saja dzikir ini dan itu sampai tua dan beruban.

Ada pula jalan berliku yang harus kita lakukan terlebih dahulu agar kita bisa BERJUMPA dengan Allah. Misalnya dengan cara kita berusaha MEMPERJALAN-JALANKAN RUH atau JIWA kita LURUS menuju Allah. Katanya sih itu perjalanan spiritual. Atau bisa pula dengan cara seolah-olah kita bisa menyambung-nyambungkan RUH kita dengan Allah. Atau ada pula yang membuat kita harus sampai berangan-angan atau menyadar-nyadarkan diri kita seperti sedang berada di alam ghaib. Pokoknya aneh-aneh saja aktifitas yang harus kita lalui dan lakukan. Katanya sih itu agar kita bisa FANA dihadapan Allah.

Akan tetapi, sekarang ini ada sebuah jalan alterntif yang sangat mudah tersedia melalui jalan ILMU PENGETAHUAN seperti yang diajarkan oleh Arif Billah Ustadz H. Hussien BA Latiff. Jalan melalui ILMU PENGETAHUAN ini memang jauh lebih mudah dan lebih tinggi tingkatannya dari pada jalan-jalan yang berdasarkan lamunan dan latihan-latihan yang tidak jelas asal-usulnya seperti diatas. Cara yang Beliau ajarkan jauh lebih sederhana dan lebih mudah dari latihan-latihan tadzkiyatunnafs berdasarkan buku-buku tasawuf lama yang bercerita tentang berbagai perjalanan rohani dari pengarang kitab-kitab tersebut.

Saya sendiri sudah menjalani ke tiga cara tersebut diatas dengan sangat intens. Dan saya merasakan bahwa melalui JALAN ILMU PENGETAHUAN seperti yang diajarkan oleh Ustadz Hussien BA Latiff adalah jalan yang tercepat, terpenak, dan termudah bagi saya, dan juga bagi banyak sahabat saya yang lainnya. Karena Allah SWT sendiri memang sudah menjamin tingginya derajat ILMU PENGETAHUAN dibandingkan dengan cara-cara lamunan dan halusinasi yang banyak beredar saat ini. Mari kita simak ayat-ayat berikut ini:

1.“… Allah SWT akan meninggikan orang-orang yang BERIMAN diantaramu dan orang-orang yang diberi ILMU PENGETAHUAN beberapa derajat…”, Al Mujadilah (58):11.

2.“… Jika kamu MENGETAHUI dengan PENGETAHUAN YANG YAKIN, niscaya kamu benar-benar akan MELIHAT NERAKA JAHIIM..”, At Takathur (102):5-6.

3.“… Adakah sama antara orang-orang yang MENGETAHUI dengan orang-orang yang TIDAK MENGETAHUI…?, Az Zumar (39): 9.

4.“… Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah ULAMA (orang yang BERILMU)…”, Fathir (35): 28.

5.“… Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada memhaminya kecuali orang-orang yang BERILMU…”, Al Ankabut (29): 43;

6.“… Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam SHADRAH (DADA atau KESADARAN) orang yang diberi ILMU”, Al Ankabut (29): 49.

7.Bukan hanya diantara sesama manusia saja orang yang berilmu di tinggikan derajatya oleh Allah SWT, tetapi syaitanpun mengakui bahwa: “satu orang FAQIH (yang BERILMU) adalah lebih berat bagi syaitan daripada 1000 orang ABID (ahli ibadah)”, Sunan Ibnu Majah Bk. 1, 179 (1992).

Dan disinilah letak kesalahan saya dulu dalam beribadah dan dalam mengikuti beberapa pelatihan spiritual yang saya lakukan selama belasan tahun. Bahwa semuanya saya lakukan dengan TANPA ILMU. Semuanya nyaris hanya coba-coba dan ikut-ikutan orang. Saya melaluinya seperti sedang meraba-raba di dalam gelap gulita. Apa kata guru, saya ikut saja. Padahal guru-guru saya itupun boleh jadi juga masih dalam tahapan meraba-raba juga. Makanya selama itu pula saya seperti dihinggapi oleh berbagai rasa tertekan, rasa tidak nyaman, dan rasa bosan yang sulit untuk saya hilangkan.
Mari kita lihat sejenak beberapa usaha umat manusia untuk mengenal jati dirinya, untuk mengenal hakekat dari dirinya sendiri dan juga semua ciptaan.

Selama ini banyak orang yang mencari, membahas, mendefinisikan tentang apa itu hakekat manusia, apa itu hakekat alam semesta, atau bahkan apakah gerangan hakekat dari semua ciptaan ini. Namun semua bahasan itu umumnya tidak pernah bisa sampai pada titik akhir yang tidak bisa dipertanyakan lagi. Sebab hakekat memang maknanya adalah kita harus sampai kepada titik akhir pembahasan tentang ASAL-USUL YANG SEBENARNYA dari sesuatu yang kita pertanyakan asal-usulnya itu.

Misalnya kalau saya ditanya berasal dari mana, maka saya bisa menjawab bahwa saya berasal dari BUKITTINGGI, SUMATERA BARAT. Jelas asal saya. Sehingga orang yang sudah sudah tahu dimana Bukittinggi itu berada tidak akan bertanya-tanya lagi. Ooo…, Bukittingi. Ya sudah PAHAM saja. Kalau saya ditanya lagi, paling yang ditanyakan adalah dimana alamat lengkap saya. Siapa tahu yang bertanya itu masih tetangga saya yang sudah tidak berjumpa sejak sekian puluh tahun yang lalu.

Begitulah, banyak yang membahas dari mana asal-usul manusia ini. Ada yang membahasnya dari sudut pandang FALSAFAT bahwa manusia adalah makhluk hewani yang berakal. Atau sudut pandang POTENSI manusia bahwa manusia adalah hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi dengan sendirinya di alam semesta. Atau manusia adalah makhluk ekonomi, makhluk yang tidak bisa lepas dari orang lain, makhluk yang memiliki jiwa yang mana jiwa itu merupakan hal yang esensisal dari diri manusia dan kemanusiaannya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa manusia ini berasal dati TIADA, kemudian menjadi ADA dengan sendirinya. Aneh-aneh saja jawabannya. Yang ditanya apa, jawabannya entah apa pula.

Ada pula memang yang sudah menjawabnya dengan membawa-bawa ajaran Islam, misalnya Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah SWT. Dan ia telah mencantumkan pula ayat berikut ini:

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani menjadi segumpal darah, menjadi segumpal daging yang diberi bentuk dan yang tidak berbentuk, untuk Kami perlihatkan kekuasaan Tuhanmu.”Q.S. Al-Hajj ayat 5.

Dan itu bisa pula ditambahkan dengan ayat:

Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (al Mu’minuun 14), dan ayat;

“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kepadanya RUH (CIPTAAN) -NYA dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. As Sajdah ayat 7-9, dan ayat;

“Dialah yang menciptakanmu dari satu diri”, Q.S. Al-A’raf 189,

Tapi dengan jawaban-jawaban yang seperti itu, akal manusia zaman sekarang biasanya masih belum cukup puas. Masih akan muncul pertanyaan: Diciptakan dari apa, dimana diciptakan, kapan diciptakan, bagaimana proses penciptaannya?. Sementara itu teori revolusi dengan perlahan tapi pasti seperti menarik-narik kita untuk meragukan teori penciptaan itu. Sebab secara kasat mata memang terlihat adanya sebuah proses evolusi yang selalu berubah setiap saat yang mengantarkan terciptanya berbagai makhluk pada waktu tertentu. Sementara ulama syariah dan tasawuf juga seperti telah kehabisan peluru untuk mempertahankan teori penciptaan oleh Allah untuk melawan dan mematahkan teori evolusi tersebut.

Bersambung.

Read Full Post »

Older Posts »