Feeds:
Pos
Komentar

DIA MAHA HALUS, MAHA MELIPUTI SEGALA SESUATU

Selama ini orang merasa bingung untuk menerangkan ayat bahwa Dia Maha Halus. Al Latiff. Apa-Nya yang Maha Halus?, sehingga orang lalu menyimpulkannya bahwa Yang Maha Halus itu maksudnya adalah Dia Maha Lembut kepada ciptaan-Nya. Lalu Al Latiff dipakai hanya untuk dijadikan Wirid atau ucapan dzikir secara berulang-ulang, Ya Latiff…, Ya Latiff…, Ya Latiff, dengan harapan si pembacanya bisa dimudahkan rezkinya, atau terhindar dari bencana yang sedang menimpa pada suatu daerah atau kaum.

Begitu juga untuk memahami ayat bahwa Dia Maha Meliputi. Selalu saja orang mengatakan bahwa yang meliputi itu adalah Kekuasaan-Nya, atau Ilmu-Nya, atau Pengetahuan-Nya. Tidak ada yang berani mengatakan bahwa Yang Maha Meliputi itu adalah Dzat-Nya atau Diri-Nya. Itu karena takut terperosok kedalam Pahaman Wahdatul Wujud yang tidak diterima oleh Syarak. Tetapi bukankan Kekuasan-Nya, Ilmu-Nya, Pengetahuan-Nya melekat dengan Dat-Nya atau Diri-Nya?. Ini yang membingungkan orang untuk menjelaskannya.

Ada memang yang berani mengatakan bahwa Yang Maha Meliputi segala sesuatu itu adalah Allah Sendiri. Ayat yang paling populer untuk ini adalah: “Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu”. (QS.Fushshilat (41):54). Artinya, Allah meliputi Alam semesta, Allah meliputi diri makhluk apapun juga, termasuk diri manusia. Inipun sulit diterankan tanpa terperosok kedalam pahaman Wahdatul Wujud.

Betapa tidak, untuk membuktikan kenyataan atau keadaan bahwa Dia Maha Meliputi segala sesuatu itu harus dicari dengan melalui riyadah-riyadah atau latihan-latihan tertentu. Dan latihan yang paling populer untuk ini adalah dengan merasakan GERAK atau bisa juga merasakan GETARAN (VIBRASI).

Mari kita ulas sedikit disini. Untuk merasakan Gerak, bisa dilakukan dengan terlebih dahulu mengamati sesuatu yang bergerak atau bisa juga dengan melakukan aktifitas bergerak itu sendiri dalam keadaan tubuh dirilekskan.

Gerak yang paling mudah diamati dalam waktu yang cukup lama adalah dengan mengamati gerak turun naiknya nafas. Inilah pintu masuk yang paling banyak dipakai dalam berbagai tradisi meditasi hindu/budha dan tradisi dzikir dalam tarekat pada tingkat advance. Karena ia dilakukan hanya dengan mengamati saja gerak turun naiknya nafas itu untuk beberapa saat.

Ini adalah pengalih fokus, pengalih perhatian yang sangat mudah. Dengan mengamati gerak turun naiknya nafas, maka kita otomatis akan bisa melupakan apapun juga selain gerak turun naiknya nafas itu sendiri. Inilah salah satu cara untuk melupakan segala permasalahan yang cukup powerfull dan banyak dipakai orang sekarang ini dalam berbagai tradisi meditasi hindu, budha, tarekat, atau dzikir jalan wali-wali.

Untuk lebih memfokuskan lagi ingatan atau pikiran pelaku meditasi kepada gerak turun-naiknya nafas itu, ada juga yang menambahkan lagi ucapan-ucapan tertentu, misalnya Ooomm…, oomm dengan irama monoton bernada minor dan agak menggetarkan suara, atau suara aahh…, aahh…, aahh… seiring dengan gerakan keluarnya nafas dari paru-paru. Sedangkan pada pelaku dzikir dalam praktek dzikir tertentu bisa menambahkan pula ucapan Huu…, huu…, atau Hu Allah…, Hu Allah…. Misalnya, saat mengamati keluar nafas dibarengi dengan ucapan Huuuu, lalu saat nafas masuk kembali ke paru-paru dibarengi pula dengan ucapan Allah…

Tetapi jarang sekali yang mengetahui bahwa ada satu masalah besar disini, yaitu walaupun ucapannya Huu, atau Allah, ingatannya malah kepada GERAK. Ya…, ingatan fokus kepada gerak naik turunnya nafas, bukannya kepada Allah. Artinya walaupun saat itu pikirannya sudah kosong dari segala permasalahannya, namun pikiran, atau minda, atau hati rohaninya tidak ada penjaganya. Ini masalahnya. Minda yang kosong tanpa penjaga seperti inilah yang sangat disukai oleh syaitan. Ia akan memprovokasi pelaku meditasi atau dzikir itu untuk mengatakan bahwa diujung nafas itu ada Diri Sejati, atau ada yang menyebutnya Ruh (diri rohani). Kemudian syaitan itu menambahkan pula RASA seakan-akan, si pelaku dzikir atau meditasi itu yang merasa sudah menemukan diri sejatinya atau diri rohaninya, bisa pula tenggelam di dalam Diri Alam semesta, atau Diri Kosmik, atau diri PEPADANG. Dan selangkah lagi, jadilah sipelaku meditasi atau dzikir itu merasa menjadi orang yang tercerahkan secara paripurna. Ia telah merasa menjadi Avatar, Guru Sejati, Guru Mursyid, yang mendapatkan bimbingan dari Diri Kosmik, diri Pepadang, atau Tuhan bagi orang yang beragama. Lalu iapun menjadi orang yang populer, orang yang diagung-agungkan oleh para murid atau pengikutnya.

Hal yang hampir sama dilakukan pula oleh perilaku meditasi atau dzikir yang fokus untuk MERASAKAN GERAK atau VIBRASI. Mereka akan memulainya dengan bergerak, atau berjalan. Bisa bergerak atau berjalan secara berputar-putar di tanah lapang yang luas sambil memandang bintang-bintang dilangit. Lalu lama kelamaan mereka seperti bisa merasakan bahwa bukan hanya tubuh mereka saja yang bergerak, tetapi bintang-bintang yang dilangit itu juga bergerak berlawan arah dengan gerakan berputarnya tubuh mereka. Pergerakan tubuh mereka dengan bintang-bintang itu seperti menyatu dan serasi. Kemudian mereka mulai melakukan afirmasi (meyakini) bahwa sebenarnya bukan mereka yang bergerak, tetapi mereka MERASA hanya DIGERAKKAN oleh sebuah tenaga Raksasa. Tenaga yang mampu menggerakkan diri mereka dan alam semesta. Lama-lama mereka akan merasa tersedot keatas seakan sedang berjalan keluar dari tubuh mereka yang sedang digerakkan itu. Atau mereka bisa pula berguling-guling ditanah seperti tidak tertahankan. Inilah salah satu efek ekstasis yang mereka cari-cari. Inilah yang sering dinamakan orang sebagai MEDITASI GERAK.

Pelaku tarian sufi ala Rumi sebenarnya juga mengalami hal yang hampir sama dengan pelaku meditasi gerak ini. Cuma caranya saja yang berbeda. Pelaku tarian sufi ala Rumi ini menambahkan pula irama tepuk gendang dan nyanyian (suara) ketika mereka melakukan gerak berputarnya. Tetapi efek ekstasi yang dirasakan pelakunya sama saja dengan pelaku meditasi gerak.

Prosesi meditasi vibrasi atau getaran juga sama seperti ini. Mereka mulai dengan posisi duduk tertentu, tubuh rileks sempurna. Tidak bergerak. Mereka memfokuskan ingatannya kepada sebuah daya atau kekuatan atau getaran yang mereka rasakan ada di dalam dada mereka. Lalu mereka mulai merasa-rasakan bahwa getaran itu bisa menggetarkan tubuh mereka, lalu tubuh mereka bergerak-gerak mengikuti getaran itu. Getaran seperti Ini boleh disebut sebagai Getaran Pribadi. Lalu ketika getaran pribadi itu mereka yakini bisa disinkronkan dengan getaran Alam, maka jadilah mereka bisa bergerak sesuai dengan getaran alam yang mereka yakini ada itu. Kalau dia seorang pesilat, maka ia akan bisa bergerak seperti orang yang sedang bersilat. Ia bisa bersilat menurut berbagai macam gerakan sesuai dengan afirmasi atau keyakinan mereka. Ada silat harimau, silat Prabu Siliwangi, dan sebagainya.

Tentu saja kalau ini diulas bisa menjadi sangat panjang sekali. Tetapi tujuan kita bukanlah untuk mempelajari semua itu. Kita hanya ingin melihat bagaimana sulitnya untuk memahami tentang ayat yang berkenaan dengan Dia Maha Meliputi segala sesuatu kalau tidak dimulai dengan ilmu yang Makrifatullah yang mumpuni.

Nanti dalam bab Dzikrullah (cara Tasawuf Jalan Nab-Nabi), kita akan melihat pula betapa pentingnya kita menjaga INGATAN kita, pikiran kita, minda kita itu untuk selalu diisi dengan satu penghuni saja, yaitu Ingatan kepada Allah. Sebab minda yang penuh diisi dengan ingatan kepada Allah itu akan menjadikan minda atau hati itu dijaga oleh Allah sendiri. Sehingga nantinya yang populer adalah Allah Swt.

Mari kita lanjutkan…, sebelumnya kita sudah membahas bahwa dalam MENCIPTAKAN makhluk, Allah hanya mengawalinya dengan mentajallikan sedikit Diri-Nya Yang Maha Halus. Maksudnya adalah Maha Halus terhadap Diri-Nya Yang Maha Besar.

Lalu hanya dan hanya didalam Diri-Nya yang Maha Halus itulah semua ciptaan berada. Itulah ciptaan Wajibul Wujud (Dzat-Nya) dan ciptaan Mumkinul Wujud (Lauhul Mahfuz). Ilmu ini adalah untuk menekan dengan tegas bahwa semua ciptaan ini hanya berada di dalam sedikit Diri Allah Yang Maha Halus saja. Sehingga keagungan, kemulyaan, kerahasian, kesucian, dan kehormatan Allah tetap terjaga dan tidak tercemari oleh anggapan dan persepsi makhluk.

Tetapi ketika kita berbicara tentang Yang Maha Halus DI DALAM Lauhul Mahfuz itu sendiri, maka yang dimaksud dengan Maha Halus itu adalah wujud yang Maha meliputi segala sesuatu karena saking halusnya. Saking kecilnya tanpa ia bisa dibayangkan atau dirasakan. Yang Maha Halus ini hanya bisa dibandingkan dengan materi yang paling kecil, yaitu atom, atau Quarks, atau Lepton, atau partikel-partikel elementer lainnya, atau bahkan lebih kecil dari gaya-gaya yang sudah diketahui oleh scientist seperti gaya grafitasi, gaya nuklir kuat, gaya nuklir lemah, gaya electomagnetic. Yang Maha Halus itu lebih kecil, lebih halus dari semua itu…

Begitulah Yang Maha Halus yang dimaksudkan. Ia meliputi segala materi sampai kepada bagian yang paling kecil dari materi itu, Ia meliputi segala energi, segala gelombang, segala getaran. Semuanya, segala sesuatu, diliputi oleh Wujud Yang Maha Halus ini. Tanpa ada ruang yang tersisa sedikitpun.

Hal ini seumpama air yang meliputi keseluruhan Es Batu ataupun Gunung Es. Tidak ada bagian dari es batu atu Gunung Es itu yang tidak diliputi oleh air. Seperti juga karet atau getah yang meliputi seluruh sendal jepit. Seperti kayu atau sedikit pohon yan meliputi seluruh meja dan kursi. Seperti tepung yang meliputi seluruh bagian dari berbagai macam kue. Begitulah perumpamaan dari makna Maha Halus yang Maha Meliputi segala sesuatu.

Maka dalam pandangan Hakekat, Dzat-Nya lah yang Maha Halus dan meliputi segala macam ciptaan, baik materi, energi, gelombang, getaran, dan string menurut fisika kuantum, yang semuanya kita ringkas saja menjadi Ciptaan Mumkinul Wujud. Dzat-Nya yang maha meliputi semuanya.

Sedangkan dalam pandangan Makrifat, Wajah-Nya lah Yang meliputi segala sesuatu, meliputi Dzat-Nya dan juga sekaligus meliputi segala macam ciptaan Mumkinul Wujud. Yang Maha Halus itu melingkupi, meresapi, menekan Dzat dan Ciptaan dari segala penjuru. Karena semuanya memang berada DIDALAM liputan Yang Maha Halus itu. Ini mudah sekali kita untuk memahaminya.

Bersambung

DIA YANG AWAL, DIA YANG AKHIR

Begitu juga untuk memahami ayat yang menyatakan bahwa Dialah Yang Awal, dan Dialah Yang Akhir. Bagaimana mau menjelaskannya, padahal dalam kunci pembuka ilmu makrifatullah diawal-awal kita sudah tahu bahwa Dia tiada ada Awal dan tentu saja juga tiada Akhir. Sulit untuk dijelaskan.

Tetapi dengan berdasarkan Ilmu Makrifatullah Jalan Nabi-Nabi, pertanyaan itu bisa kita jawab dengan mudah. Yang BERAWAL itu adalah ciptaan, karena ada awal tentu saja ciptaan itu JUGA BERAKHIR.

Maka dalam Pandangan Hakekat, awal dari ciptaan adalah Dzat-Nya. Dari Dzat barulah tercipta Lauhul Mahfuz. Karena Lauhul Mahfuz ini adalah ciptaan, tentu ada akhirnya. Maka akhir dari Lauhul mahfuz adalah Dzat-Nya.

Sedangkan dalam padangan Makrifat, awal dari ciptaan adalah Tajalli Yang Maha Halus, lalu Yang Maha Halus bermanifestasi atau menyamar menjadi Ciptaan (Wajibul Wujud (Dzat) dan Mumkinul Wujud (Lauhul Mahfuz)). Ketika Lauhul Mahfuz dan Dzat-Nya musnah, maka semua kembali kepada Yang Maha Halus.

Jadi, dalam pandangan makrfita, semua berasal dari Yang Maha Halus, dan akan kembali kepada Yang Maha Halus. Sedangkan Yang Maha Halus itu sudah sedikit bagian yang Maha Halus dari Diri Allah Yang Maha Besar. Sehingga disini barulah ungkapan INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAJIUN bisa dipakai. Semua dari Allah dan semua akan kembali kepada Allah juga. Tetapi kembalinya semua makhluk itu hanya ke dalam sedikit diri Allah Yang Maha Halus saja. Dengan begitu, kemulyaan, kehormatan, kesucian, kesempurnaan, kemaharahasian Allah tetap terjaga dengan rapi. Tiada yang mengetahui-Nya. Laisa kamistlihi Syai’un.

Dari sinilah nanti kita baru bisa paham kenapa harus ada KIAMAT KEDUA, dimana seluruh Lauhul Mahfuz, mulai dari 70 tirai Nur, Arasy, Lapisan air, Sidratul Muntaha, Syurga dan seluruh penghuninya, akan musnah saat terbuka sedikit Tirai Nur ketika Kiamat kedua terjadi. Begitu sedikit tirai Nur terbuka, maka cahaya Dzat yang diluar Lauhul Mahfuz akan kelihatan seperti bulan mengambang. Keagungan cahaya Dzat yang diluar itu akan memusnahkan Lauhul Mahfuz dengan segala makhluk yang ada didalamnya. Artinya, syurga dengan seluruh penghuninya juga akan musnah, karena makhluk memang harus ada akhirnya.

Sedangkan pada saat Kiamat pertama terjadi, hanya 7 lapis langit (HEAVENS) dan bumi-bumi yang ada diangkasa lepas (the universe) saja yang musnah. Sidratul Muntaha, Lapisan Air, Arasy, dan 70 Tirai Nur Masih ada.

Kemudian, sebelum hari berbangkit, barulah diciptakan PARADISE (SYURGA). Yang luasnya seluas langit dan bumi yang telah musnah tersebut. Syurga itu siap untuk menampung seluruh ciptaan (manusia, jin, malaikat, hewan, tumbuhan, dan lain-lainnya) yang telah memainkan peranannya masing-masing dalam panggung Ilahi selama kehidupan mereka di alam dunia.

Semuanya akan hidup di dalam Syurga itu selama MILYARAN tahun. Sebuah kehidupan yang sangat lama sehingga dikatakan seperti hidup selama-lamanya, ABADA, KHALADA. Tetapi selama-lamanya itu tetap hanya sesuai dengan ukuran umur makhluk. Tetap ada akhirnya. Sebab yang BAQA hanyalah Allah. Dialah tiada Awal dan tiada Akhir. Sedangkan makhluk ada Awal dan pasti ada Akhir pula.

Ketika terjadi Kiamat kedua, semua Ciptaan Mungkinul Wujud (syurga dan semua penghuninya, termasuk Arsy dan 70 tirai nur) musnah dan kembali menjadi Dzat. Lalu barulah kemudian Dzatpun akan musnah pula. Karena Dzat ini memang juga adalah ciptaan, yaitu ciptaan Wajibul Wujud. Dzat musnah, maka kembali yang Wujud hanyalah Yang Maha Halus.

Jadi, pada kiamat kedua, Ciptaan akan musnah dan kembali kepada Wajah Yang Maha Halus. Bagi ciptaan, yang Awal adalah Wajah Maha Halus, dan Yang Akhir juga adalah wajah Yang Maha Halus. Sedangkan Wajah Yang Maha Halus adalah tiada awal dan tiada akhir karena Dia adalah sedikit Yang Maha Halus dari Wujud Diri Allah Swt, Yang Tiada Awal, dan Tiada Akhir. BAQA.

Nanti pada bagian pembicaraan tentang Sandiwara Ilahi, hal ini akan dibahas lebih detail. Misalnya, proses kematian, bagaimana tentang alam barzah, kiamat pertaman, alam mahsyar, kampung akhirat, syurga dan neraka, dan kiamat kedua, Insya Allah.

Sederhana bukan?


Bersambung

Akan tetapi, Alhamdulillah, melalui Ilham Laduni yang diberikan Allah Swt kepada Arif Billah Ustadz Hussien BA Latiff, yang memperkenalkan Tasawuf Jalan Nabi-Nabi melalui pendekatan Dzatiyah, atau pendekatan Yang Maha Halus, maka hal yang sulit diatas sungguh menjadi mudah dan menyenangkan. Betapa tidak, melalui pandangan Hakekat atau pandangan Makrifat, Dia Yang Dzahir dan Yang Bathin itu menjadi Cristal Clear, sebening kristal. Bisa diterangkan dengan mudah.

Kita juga jadi bisa paham bahwa karena hanya Dia Yang Dzahir dan Dia pula Yang Batin, maka tentu saja ciptaan secara otomatis tidak wujud dan tidak mempunyai kepemilikan. Tidak ada wujud antara atau wujud pertengahan. Hanya satu wujud saja. Esa.

Maka dengan berbekal ilmu yang sangat sederhana ini, ketika Allah berkata bahwa Dialah Yang Dzahir, kita dapat menjawabnya langsung dalam kedua macam pandangan. Yaitu Pandang Hakekat atau Pandangan Makrifat. Langsung saja. Tidak sulit.

Kita tidak perlu berlama-lama seperti lamanya orang yang memakai tradisi Tasawuf Jalan Tarekat dan Wali-wali yang harus terlebih dahulu berproses untuk “mematikan dulu dirinya sebelum mati melalui dzikir-dzikir tertentu”, untuk kemudian berharap ia mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya, siapa batin yang ada pada diri manusia. “Oh…, batin saya ternyata Allah. Karena batin saya adalah Allah, maka zahir saya juga tentu Allah”. Karena Allah berfirman “Aku yang dzahir, Aku Yang Batin”, maka benarlah aku sudah tiada, yang ada adalah Allah”. Iapun merasa bahwa Allah sudah beremanasi (menyusup) kedalam dirinya. Sehingga keluarlah kata-kata syatahat dari mulutnya: “aku adalah Allah, Allah adalah aku”, dan lain-lain.

Sedangkan dalam pengertian Tasawuf Jalan Nabi-Nabi, kalau kita melihat dalam padangan Hakekat, maka Yang Dzahir itu maksudnya adalah Lahul Mahfuz (Sifat) yang terkeluar, menyeruduk keluar, muncul, bermanifestasi dari Dzat yang merupakan Yang bathin dari sifat itu. Dan itu hanya kecil saja, sedikit saja, halus saja terhadap Kemahabesaran Allah Swt.

Begitu juga, kalau dalam padangan Makrifat, Yang Dzahir itu adalah Dzat dan Sifat yang terkeluar dari Wajah Yang Maha Halus. Sedangkan Dia Yang Bathin maksudnya adalah Wajah-Nya Yang Maha Halus saja, bukan Allah Yang Maha Besar, yang menjadi batin dari ciptaan.

Karena Sifat, Dzat, dan Wajah Yang Maha Halus itu Dia yang punya, Dia yang memiliki, maka tentu saja dia berhak mengatakan bahwa yang dzahir dan yang bathin itu adalah Dia. Ada satu kewujudan saja sebenarnya, yaitu kewujudan Yang Maha Halus yang bermanifetasi menjadi Dzat, dan Dzat bermanifetasi menjadi Lauhul Mahfuz (Sifat).

Sama halnya bahwa saya bisa mengatakan kuku saya, jari saya, mata saya adalah saya sendiri. Maka jangan coba-coba untuk mencabut kuku saya, memotong jari saya, mencungkil mata saya. Saya akan marah dan akan mempertahankannya sekuat tenaga. Karena itu adalah saya.

Oleh sebab itu, ketika Al Quran mengatakan: “Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar, (Al Anfal (8): 17”, maka kita bisa paham dengan mudah, bahwa Allah sedang berbicara tentang Hakekat atau Makrifat dari semua perbuatan ciptaan yang ada di dalam Lauhul Mahfuz

Itulah sebabnya Rasululllah Saw tidak berani menjawab dan berkata-kata ketika Beliau dicela, “bagaimana seorang Rasulullah Saw bisa membunuh umat Beliau sendiri”. Beliau Diam saja. Lalu turunlah ayat diatas. Barulah kemudian Beliau Saw berkata, “wahai kaumku, Allah Swt berfirman: Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar, (Al Anfal (8): 17”. Nabi Muhammad Saw diselamatkan oleh Allah Swt.

Jadi Beliau Saw BUKAN berkata: “Bukan aku yang membunuh, tapi Allah yang membunuh, bukan aku yang melempar, tapi Allah yang melempar”. Beliau bukan berkata begitu, walaupun Beliau Saw sudah tahu Hakekat dan Makrifatnya.

Beliau hanya diam dan menunggu Wahyu untuk menjawab pertanyaan rumit tersebut dengan jawaban seperti jawaban diatas. “Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar, (Al Anfal (8)”. Clear, bersih. Ini adalah wahyu, bukan kekata Rasulullah Saw sendiri.

Sedangkan dalam hal kerohanian, nanti akan kita bahas dalam bab Dzikrullah, meditasi transenden itu tidak sudah ada artinya sama sekali kalau kita sudah paham bagaimana cara mengingat Allah (dzikrullah) yang sebenarnya…

DISINI
Bersambung

DIA YANG DZAHIR DAN DIA YANG BATHIN

Tanpa melalui Ilmu Makrifatullah, kita juga tidak akan pernah bisa menerangkan bahwa Dia Yang Dzahir dan Dia Yang Bathin ini tanpa kita tergelincir ke dalam Pahaman Wahdatul Wujud atau Nur Muhammad. Pasti. Sejarah sudah membuktikannya selama seribu tahun lebih. Kalaupun ada yang tidak tergelincir, itu hanya sedikit sekali.

Begitu juga kalau mau membicarakannya dalam tatanan ilmu Syariat. Nyaris tidak ada yang mau membahasnya karena takut akan jatuh kepada pahaman seperti pahaman Wahdatul Wujud atau Nur Muhammad juga, yang tentu saja sangat ditentang oleh Ilmu Syarak. Oleh sebab itu melalui ilmu syariat, tidak ada yang berani membahas ayat Dia Yang Dzahir dan Dia Yang batin ini sampai jelas dan terang benderang.

Bagaimana mau membahas Dia Yang Dzahir, sementara pada tatatan yang dzahir itu kita hanya bisa melihat ada manusia, hewan, tumbuhan, ada gunung, ada lautan, ada bintang-bintang, atau dalam pandangan manusia modern (saintis) saat ini, ada pula atom, ada proton, ada electron, ada netron, ada partikel elementer (Quarks, Leptons, dan sebagainya). Bagus memang. Njlimet dan scientific sekali. Namun masih ada pertanyaan, dari manakah asal muasal dari partikel elementer dan gaya-gaya yang menahan semua itu berada pada tempat dan susunannya untuk membentuk materi?

Makanya kemudian muncullah Ilmu medan Kuantum, yaitu sebuah ilmu yang mencoba menerangkan bahwa ada SATU medan Kosong yang di dalamnya segala materi dan energi terasa menyatu, oneness, nothing, kosong. Jadi alam semesta ini dikatakan hanya Dan dari kekosongan itulah segala materi akan terkeluar atau terjadi.

yang diikuti pula oleh meditasi transendental yang katanya berguna untuk mengakses masuk ke dalam medan kuantum itu.

Untuk masuk kedalam medan kuantum itu, maka diperlukan meditasi yang dikembangkan oleh Maharishi Mahes Yogi. Meditasi transendental ini sangat banyak diadopsi oleh praktisi-praktisi kebatinan, mistik, spiritual dari berbagai kalangan, kepercayaan, dan agama di zaman sekarang ini. Walau bagaimanapun, toh apada akhirnya khirnya akan sama saja dengan Wahdatul Wujud juga. Tetapi dalam terminologi yang lebih modern, yang tidak lagi mengenal Tuhan.

Namun, sebagus apapun penjelasan terhadap semuanya itu, maka dalam pandangan Tasawuf Jalan Nab-Nabi, yang dijelaskan itu tetap masih belum menyentuh HAKEKAT, apalagi menyentuh MAKRIFAT. Ia masih membahas tentang SIFAT saja. Artinya itu sama saja dengan kita masih berputar-putar hanya membahas indahnya “ukiran meja jati Jepara” dengan segala tetek bengeknya.

Dengan terfokus kepada melihat “ukiran” keja itu, berarti kita masih belum sampai melihat bahwa meja itu sebenarnya (hakekatnya) hanyalah kayu jati saja. Dan kayu jati itu berasal dari dahan atau gelondongan pohon jati (makrifat dari meja jati). Sebab kalau sudah melihat Hakekat, apalagi Makrifat, maka tidak akan ada lagi perbantahan. Karena yang dilihat adalah satu saja. Yaitu kayu (hakekat), atau gelondongan (makrifat). Tidak ada lagi ukiran-ukiran, rupa-rupa, umpama-umpama.

Sehingga bagi orang-orang yang sudah dapat melihat pada Hakekat atau Makrifat disebalik segala ciptaan (Sifat), maka ia akan tersenyum saja, senyum makrifat, melihat orang-orang saling berebutan membahas Sifat yang memang tidak akan ada habis-habisnya.

Begitu juga, kalau dalam pembicaraan Ilmu syariat, mau dibahas bahwa Dia Yang Bathin, bagaimana mengatakannya agar tidak mengikuti pandangan Wahdatul Wujud atau Nur Muhammad. Itu yang rumit dan pelit. Kebanyakan orang dalam ilmu syariat hanya sampai dengan mengatakan bahwa yang batin di dalam diri manusia itu adalah Ruh. Dimana Ruh itu adalah tiupan Ilahi dan ia akan kembali kepada Allah. Paling hanya sampai disitu.

Sedangkan dalam tradisi meditasi transendental, yang terkenal dengan istilah masuk atau meniti ke dalam diri, mengenal diri sejati, self, yang harus didapatkan dengan bergerak dari pikiran gelombang Beta ke Gelombang Alfa, Teta, atau Deta, diperlukan usaha untuk menghentikan liarnya pikiran penganutnya dalam bermeditasi. Untuk itu mereka mengucapkan berulang-ulang kali mantra-mantra seperti; Aing, Aim, Shiring, Sham, disamping ada juga dengan mendengarkan suara musik dengan frekuensi tertentu, dan sebagainya. Bahkan orang Islam yang mengikuti praktek meditasi ini ikut pula mewiridkan mantra itu, dan mendengarkan alunan frekuensi musik itu. Inilah fenomena New Age Movement yang melanda dunia sekarang ini, yang seakan-akan tidak bisa diimbangi kalau tidak mau dikatakan diatasi oleh umat Islam.

Bersambung

DIA MAHA BESAR, MAHA TINGGI, MAHA LUAS,

Kalau sebelum ada apa-apa, hanya Dia saja Yang Ada, tidak ada apapun bersama-Nya, bagaimana bisa Dia mengatakan bahwa Dia adalah Maha Besar, Maha Tinggi, Maha Luas?.

Kalau, Dia mengatakan Bahwa Dia adalah Maha Besar, Maha Tinggi, Maha Luas, tentu harus sudah ada pembanding-Nya. Maha Besar, Maha Tinggi, Maha Luas terhadap apa?. Kalau kita diberitahu bahwa gurun pasir Sahara adalah sangat luas, sangat besar dibandingkan dengan sebutir pasir yang ada di gurun pasir itu, maka dengan sangat mudah, tanpa kita harus berpikir lagi, kita akan membenarkannya. “Ya betul”, kata kita spontan. Begitu juga ketika kita diceritakan bahwa Samudera Hindia adalah sangat luas dan sangat besar dibandingkan dengan setetes air asin yang ada di dalam samudera itu, dengan tersenyum kita akan mengiyakannya. “Lah Iya lah”, kita kita sambil tersenyum.

Maka pembanding sesuatu Yang Maha tentu harus Yang Maha juga, tetapi Maha yang sebaliknya. Lawan banding dari Maha Besar, Maha Tinggi, Maha Luas, adalah Maha Kecil, Maha Rendah, Maha Temeh, Maha Remeh, yang kemudian kita lipat saja dalam istilah Maha Halus (Al Latif).

Disinilah peran dari Ilmu Makrifatullah Jalan Nabi-Nabi terlihat sangat penting. Bahwa Ilmu ini bisa menjelaskan hubungan antara Pencipta dengan ciptaan-Nya dengan sangat indah, anggun, tanpa sedikitpun mengurangi Kehormatan, Kesucian, Keagungan dan Kemulyaan-Nya, dan juga tanpa menimbulkan anggapan tentang adanya dua kewujudan. Karena yang kita bandingkan itu tetap berada di dalam Diri-Nya. Bahwa semua ciptaan adalah manifestasi dari Sedikit Diri-Nya Yang Maha Halus (Al Latiff) yang tentu saja berada di dalam Diri-Nya Yang Maha Besar.

Inilah pintu Makrifatullah yang sangat penting untuk dipahami. Pintu Kun. Bahwa Allah Swt berfirman Kun kepada sedikit Diri-Nya Yang Maha Halus, lalu Yang Maha Halus itu bermanifestasi menjadi Dzat dan Sifat. Lihat penjelasan tentang ini diawal-awal artikel ini.

Dengan adanya Yang Maha Halus, yang bermanifestasi menjadi semua Ciptaan (Wajibul Wujud dan Mumkinul Wujud), walaupun ciptaan itu, kalau kita lihat dengan mata kepala (panca indera) kita, adalah sangat luas, sangat tinggi, sangat besar, nyaris tak diketahui batasnya, namun SEBENARNYA, kesemuanya itu hanyalah terzahir di dalam Wujud atau sedikit Diri Allah Yang Maha Halus saja. Artinya ciptaan itu juga adalah Maha Halus saja terhadap Allah Swt.

Kalau semua ciptaan ini, termasuk ruang (the universe) dan masa, hanyalah Maha Halus saja bagi Allah, maka barulah kita bisa menyadari bahwa benarlah Allah Swt adalah Wujud Yang Maha Besar. Kita jadi terkejut dan mulut kita ternganga tatkala kita menyadari bahwa Allah Swt adalah Wujud Maha Besar, Maha Luas, Maha Tinggi. “Ough…”, atau “Allahu Akbar”, ungkap dengan mulut tercekat. Ya…, dengan adanya ciptaanlah kita baru bisa paham bahwa Allah Swt, Sang Pencipta, adalah Maha Besar, Maha Tinggi, Maha Luas, terhadap semua makhluk ciptaan-Nya, yang hanya maha halus, setitik noktah saja, dibandinkan dengan Allah Swt.

Angkasa raya yang tadinya kita sangka sangat luas dan sangat besar ini, ternyata hanya berada didalam sedikit Diri-Nya Yang Maha Halus saja. Inilah yang membuat kita nantinya terperanjat, jatuh terduduk dengan berlinangan air mata.

Insya Allah, kalau kita sudah dipilih oleh Allah untuk menjadi orang-orang Allah, maka Allah berkenan pula menurunkan RASA terhadap JALAL-NYA ini. Kita akan bisa MERASAKAN Kemahabesaran, Kemahaluasan, Kemahatinggian Allah Swt ini. Rasa ini adalah ciptaan juga. Rasa ini diterima oleh RUH. Pusat dari Ruh ini adalah di dalam dada, di hulu hati. Lalu RUH mengantarkan atau mendukung rasa itu menyebar keseluruh tubuh kita. Rasa itu seakan bisa mekar memenuhi tubuh kita, maka tubuh kitapun bisa jadi menggigil seperti orang kedinginan. Nanti dalam bab mengenal Anasir diri, kita akan bahas lebih lanjut tentang Ruh dan rasa ini.

Ketika rasa itu menyentuh mata kita, mata kitapun bisa basah berlumurkan air mata. Tatkala Rasa itu mengalir menyentuh lidah dan pita suara kita, lidah kitapun jadi kelu, yang keluar hanya isak tangis bahagia saja. Teramat bahagia malah. Dan…, ketika Rasa itu masuk ke dalam Minda (hati rohani) kita, maka minda kita seperti dipenuhi dengan satu penghuni saja, yaitu Ingatan kepada Allah. Inilah yang disebut dengan DZIKRULLAH.

Ruh yang berpusat di dalam dada kita, dekat ulu hati, bisa pula seperti ingin naik keatas menuju kepala kita, ingin meloncat keluar. Kalau Rasa Jalal-Nya ini muncul begitu kuatnya, maka saat itu mata ketiga kita akan bisa terbuka. Ini akan dibahas dalam bab Dzikrullah, insya Allah…
Bersambung

DIA YANG TIADA AWAL, TIADA AKHIR, ESA, MAHA SUCI.

Pada permulaan Allah SWT saja yang ada dan tiada apa pun bersamaNya, Sahih Al Bukhari, Vol. 9, 381 (1987).

Sesungguhnya Allah SWT telah sedia ada sebelum wujudnya segala sesuatu dan sebelum wujudnya zaman dan tempat, Muhammad Said Ramadhan Al Buti, Keyakinan Hakiki, 124 (1996)

Inilah kunci ilmu makrifatullah yang sangat penting. Sebelum Dia menciptakan makhluk, maka hanya Dia saja Yang Ada. Tiada apapun yang menyertai-Nya, termasuk kekosongan sekalipun.

Karena Dia tiada Awal, tentu saja Dia juga tiada Akhir. Dia akan senantiasa Ada, Wujud. Karena mustahil sesuatu Yang Tiada Awal akan mempunyai akhir. Tidak mungkin.

Ini juga bermakna bahwa Dia Yang Tunggal, ESA, tidak berbilang. Dia Maha Suci dari segala persepsi, dari segala perumpamaan dan perupaan. Kalau ada yang bisa mempersepsikan Dia walau hanya dengan mengatakan sekedar istilah KEKOSONGAN saja, itu artinya sudah tidak mensucikan Dia lagi. Dia sudah dikotori dengan kekosongan itu. Karena Dia bukanlah KEKOSONGAN. Tetapi bagaimana keadaan-Nya yang sebenarnya diberitahukan-Nya Sendiri di dalam Al qur’an sebagai LAISA KAMISTLIHI SYAI’UN. Tidak ada sesuatupun yang serupa dan seumpama dengan-Nya. Maha suci dari segala persepsi. Tidak ada bandingan. Tidak bisa dikenali. Titik.

Laisa kamistlihi syai’un juga bermakna bahwa Dia adalah Maha Rahasia. Dia tidak bisa dikenali melalui panca indera manusia. Ini bermakna bahwa:

a. Dia tidak bisa dicari-cari dan dilihat dengan mata, karena Dia memang bukan cahaya, rupa dan bentuk yang bisa dideteksi oleh retina mata.
b. Dia tidak bisa dicari dan didengar melalui telinga, karena Dia memang bukanlah frekuensi suara yang bisa menggetarkan sel-sel rambut di dalam telinga.
c. Dia tidak bisa dicari-cari melalui lidah, karena Dia memang bukanlah rasa asin, asam, manis, gurih yang bisa dikecap oleh lidah yang bisa melelehkan air liur.
d. Dia tidak bisa dicari-cari melalui hidung, karena Dia memang bukanlah partikel kimia yang mempunyai bau yang bisa dicium dan diendus-endus melalui hidung.
e. Dia tidak bisa dicari-cari melalui sentuhan tangan dan kulit, karena Dia memang BUKAN materi, daya, tekanan, atau getaran yang bisa menggetarkan dan dirasakan oleh reseptor syaraf yang ada di tangan, atau kulit yang ada di seluruh tubuh.

Oleh karena itu, tidak ada informasi dalam bentuk apapun yang tersimpan di dalam memori kita saat kita berbicara tentang Allah Swt. Artinya, memori kita KOSONG dari RUPA dan UMPAMA, seperti memori yang dimilik oleh seorang bayi yang baru lahir. Disinilah nanti letaknya kekeliruan umat manusia dalam upaya membicarakan tentang bagaimana cara mengenal dan cara berhubungan dengan Allah Swt. Mereka mencoba mempersepsikan dan merupakan Allah Swt seperti halnya merupakan dan mempersepsikan makhluk saja. Mereka beranggapan bahwa cara manusia berhubungan dengan Allah adalah sama seperti cara manusia berhubungan dengan makhluk lainnya. Melalui panca indera juga.

Hal ini terjadi karena mereka tidak mempunyai Ilmu yang cukup dan memadai untuk bisa menjelaskan bagaimana HUBUNGAN antara Pencipta dan Ciptaan setelah Allah Swt menciptakan makhluk-Nya. Kebanyakan manusia melihat hubungan antara Allah Swt dengan ciptaan-Nya adalah seperti halnya hubungan antara satu makhluk dengan makhluk lainnya saja. Seakan-akan MINIMUM ada DUA KEWUJUDAN. Bahkan dalam beberapa agama dan kepercayaan, kewujudan Tuhan itu bisa tiga, atau lebih.

Misalnya, dalam agama Nasrani, mereka sampai kebablasan (dalam perspektif pandangan Ahli Sufi) dengan mengidentifikasi Tuhan itu ada tiga kewujudan, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak, Tuhan Roh Kudus, dan dengan bersusah payah pemukan-pemuka agama mereka berusaha menjelaskannya kepada umatnya. Dan sampai sekarang tidak ada seorang pun yang bisa menjelaskannya sampai mudah dimengerti. Oleh sebab itu, ketika mereka beribadah dan berdoa, mereka harus merupakan Tuhan itu dalam rupa gambar atau patung Yesus Kristus yang mereka anggap itu bisa merepsentasikan Tuhan bagi mereka.

Dalam pahaman Wahdatul Wujud, hal seperti itu terjadi juga. Karena dalam mengenal Allah mereka memulainya dari mengenal diri terlebih dahulu, lalu kemudian barulah mereka merasa bisa mengenal Allah. Artinya dalam pahaman ini mereka mulai dari adanya dua kewujudan (Insan dan Allah), lalu mereka berusaha meleburkan insan kedalam Allah. Sehingga akhirnya mereka keluar dengan persangkaan dan persepsi bahwa insan adalah Allah, Allah adalah insan. Atau ada juga yang menyembunyikannya dalam ungkapan yang lebih halus, seperti yang zahir adalah insan, dan yang batin adalah Allah, dan sebagainya.

Begitu juga dalam Pahaman Nur Muhammad. Bahwa Insan adalah Nur Muhammad, Nur Muhammad adalah Nur Allah. Nur Muhammad adalah Sifat Allah, dan Allah adalah Dzat. Tidak terpisah Sifat-Nya dengan Dzat-Nya. Seperti Ahmad adalah Allah, Allah adalah Ahmad. sehingga akhirnya insan itu ya Allah juga. Ini sama dengan Pahaman Wahdatul Wujud, tapi agak berbelok-belik sedikit.


Bersambung

MENGENAL ALLAH MELALUI AYAT-AYAT MAKRIFATULLAH

Seringkali kita baca atau dengar orang-orang bercerita tentang usahanya yang sangat heroik dalam mencari Tuhan. Di dalam agama Islam usaha yang sangat sering dijadikan orang sebagai sarana untuk menjumpai Tuhan adalah dengan datang ke Mekkah untuk Ibadah Umrah, apalagi Ibadah Haji. Seakan-akan mereka ingin mencari Tuhan di depan Ka’bah, di tempat Sa’i, di Padang Arafah, di Hijir Ismail, atau di Raudah (masjid Nabawi). Bahkan mereka berusaha mencari Tuhan ditempat-tempat yang dulu pernah dipakai oleh Rasulullah dalam keadaan keadaan darurat atau dalam masa-masa penggemblengan Beliau. Misalnya di gua hira, di Gua Tsur, di gua tempat Rasulullah bersembunyi ketika Beliau luka-luka dalam Perang Uhud, dan sebagainya. Makanya ada yang melakukan Umrah dan Haji itu berkali-kali, seakan-akan Tuhan yang mereka cari itu masih belum ketemu-ketemu juga. Namun tentu saja ada juga yang melakukannya murni hanya karena ibadah.

Bagi mereka yang belum sempat Haji atau Umrah, tetapi mereka merasa belum menemukan yang dicarinya dalam ibadah-ibadah mereka, yaitu menemukan Tuhan, maka banyak juga mereka yang mencari Tuhan melalui jalan mistik. Mereka mulai menelusuri tempat-tempat yang dianggap oleh banyak orang sebagai tempat keramat, mulai dari gua-gua, gunung-gunung, lembah-lembah, kuburan-kuburan tua, candi dan petilasan raja-raja kuno.

Ada juga yang mendatangi berbagai tuan guru, mursyid, tetua, kiyai, orang sakti dan punya karomah, untuk kemudian melakukan berbagai laku dan ritual yang bagi orang biasa itu aneh dan berlebihan (kalau tidak mau dikatakan sangat berat dan melelahkan). Seperti aktivitas menyiksa diri, atau meditasi-meditasi dalam tradisi Hindu / Budha. Misalnya kumkum (berendam) di sungai-sungai atau telaga, puasa yang aneh-aneh, zikir dan wirid ratusan ribu kali, uzlah (meditasi atau tirakatan) di gua-gua, berputar-putar dilapangan, tidak tidur sampai pagi, dan sebagainya.

Namun sebanyak itu orang yang melakukannya, hampir sebanyak itu pula orang yang gagal untuk menemukan Tuhan dengan cara-cara seperti itu. Yang mereka temukan umumnya malah diri mereka sendiri yang kemudian telah menjadi Tuhan itu sendiri. Kemudian mereka merasa menjadi sakti, merasa menjadi avatar, menjadi Maha Guru baru yang kemudian mengajarkan pula tradisi yang didapatnya mereka itu kepada orang-orang yang juga mencari-cari Tuhan seperti yang dia lakukan dulu.

Salah satu hasil dari proses mencari Tuhan melaluit tradisi mistik ini adalah, murid-muridnya tidak perlu lagi menjalankan ibadah-ibadah yang diajarkan oleh syarak. Misalnya, para muridnya itu cukup diam dan hening saja. Ia mulai memasuki proses mistik itu dari mengamati alunan nafas. Katanya diujung nafas itu ada diri sejatinya manusia. Setelah merasakan menemukan diri sejati, lalu diri sejati itu katanya biasa pula terhubung dengan diri sebenar diri yang menyemesta, diri semesta atau diri kosmik. Ya…, WW juga sebenarnya.

Nanti dalam bagian dzikrullah, akan kita bahas kenapa mereka bisa seperti itu. Sebagai pembuka, yang barangkali bisa membuat air liur meleleh, adalah bahwa saat mereka sudah sampai di base camp, naik minimal sejengkal diatas ubun-ubun, saat itu mereka naik dengan kekosongan, sehingga tidak ada yang melindungi mereka dari syaitan yang akan memberikan mereka motivasi tentang “ana khairu minhu, saya lebih baik dari kamu”. Sebab syaitan itu memang adalah sangat pakar dalam memotivasi umat manusia untuk menjadi sombong terhadap sesama…

Disinilah salah satu kelebihan tasawuf jalan Nabi-Nabi berada. Bahwa dengan berbekal Ilmu makrufatullah yang sangat gamblang, maka pengenalan kepada Allah itu bisa langsung dirujuk kepada sumber utama umat Islam, yaitu Al Quran. Di dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menerangkan tentang Allah Swt (ayat-ayat makrifatullah). Namun tanpa berbekal Ilmu yang sangat gambalang, maka ayat-ayat itu sangat sulit untuk dimengerti dan dijelaskan. Diantara ayat-ayat makrifatullah itu adalah:

Dialah:
• Yang Tiada Permulaan
• Yang Tiada Akhir
• Yang Maha Suci
• Yang Maha Esa

• Yang Maha Besar,
• Yang Maha Luas,
• Yang Maha Tinggi

• Yang Zahir
• Yang Batin
• Yang Awal
• Yang Akhir

• Yang Maha Halus
• Yang Meliputi segala sesuatu

• Yang Maha Melihat, Maha Mendengar,
• Yang Maha Mengawasi, Maha Mengetahui.
• Yang Maha Berkuasa.

• Yang kemanapun kamu memandang disitu Ada Aku (Wajah-Ku).
• Yang bersamamu dimanapun kamu berada
• Yang lebih dekat dari urat lehermu

• Yang Istiwa diatas Arsy-Nya
• Yang berada diatas Langit.

Sampai disini
Bersambung

Jadi untuk sementara, sebelum melanjutkan pembahasan ke tingkat yang lebih lanjut, dapatlah kita simpulkan:

a) Untuk aktifitas BERBICARA, MEMBAHAS, dan MELIHAT tentang KEWUJUDAN ciptaan yang berada di dalam Lauhul Mahfuz, maka kita hanya boleh sampai pada kewujudan Wajah Yang Maha Halus saja. TITIK. Sampai di Maha Halus. Segera berhenti. Kalau tidak kita pasti akan sampai kepada Wahdatul Wujud.

b) Sedangkan untuk aktifitas menghormati, memulyakan, menyembah, shalat, berdoa, dzikrullah, kita tidak memakai Pandangan Makrifat lagi. Itu hanya untuk awal saja, kalau kita masih mau memakainya. Sebab Pandangan Makrifat itu adalah untuk kita berinteaksi dengan segala cipptaan yang ada di dalam Lauhul Mahfuz. Sedangkan untuk shalat, do’a, dzikrullah, artinya berinteraksi dengan Allah Swt, maka yang kita pakai adalah MINDA, PIKIRAN. Bukan pandangan (mata atau mata hati). Yaitu cukup dengan INGATAN saja. Mengingat Allah (dzikrullah). Inilah salah satu sarana kita (disamping beramal shaleh) untuk berhubungan langsung dengan Allah Swt, yang laisa kamistlihi syai’un. Kita cukup ingat Allah (DZIKRULLAH), lalu sampaikanlah segala prosesi shalat dan doa itu kepada Allah yang sedang kita ingat. Detailnya nanti akan dibahas dalam bab Dzikrullah dan Ibadah.

c) Karena dari sisi Allah kewujudan hanya ada Kewujudan-Nya sendiri, karena di dalam Lauhul Mahfuz (Sifat) juga berasal dari Dzat-Nya, dan Dzat-Nya berasal dari sedikit Diri-Nya Yang Maha Halus, maka tentu saja semua yang ada di dalam lauhul Mahfuz itu otomatis adalah Milik-Nya. Kita jadi terhalang, malu, tidak berkutik untuk mengatakan sesuatu itu adalah milik kita. Kita jadi tergigit lidah untuk mengaku wujud dan mengaku memiliki berbagai hal yang ada pada diri kita.

Al Ghazali mengungkapkannya dengan sangat baik, bahwa: Orang yang mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya niscaya sudah pasti ia mengenal bahwa ia TIADA mempunyai WUJUD bagi dirinya. Imam Ghazali, Ihya Ulumiddin Bk. 7, 427 (1981). Dan sekaligus tentu saja ia juga tidak memiliki apa-apa. Zero…, sifar…, nul.
bersambung

KEADAAN YANG SANGAT PENTING (Pivotal)

Telah hilang kesifatan (LM) dan kehakikian (Dzat). Maka hilang pulalah segala kewujudan dan kepemilikan makhluk. Yang ada tinggal hanya sebenar kenyataan (Wajah Yang Maha Halus). Karena semuanya nyata-nyata adalah Kewujudan dan Kepemilikan Yang Maha Halus, yang otomatis tentu saja juga menjadi Kewujudan dan Kepemilikan bagi Allah Swt.

Kemanapun kita memandang, sekarang yang ada hanyalah Wajah-Nya. Apalagi kalau kita sudah bisa pula merasakan bahwa kita TERNYATA SELALU diamati, dilihat, dimata-matai, dan diawasi oleh Allah melalui Wajah-Nya itu. Ditambah lagi dengan menyadari kenyataan bahwa apa-apa yang selama ini kita kira itu adalah milik kita, ternyata semuanya adalah milik-Nya (yang berada di dalam sedikit Diri-Nya Yang Maha Halus). Ini yang sangat menggoncangkan. Ini yang menampar dan meluluh lantakkan harga diri kita di depan-Nya. Takut, malu, tak berkutik, bahagia, dan segala macam rasa yang lainnya berbaur satu menjadi sebuah gegaran makrifatullah.

Gegaran (Pukulan atau tamparan) Makrifatullah inilah nantinya yang bisa menjadi Pivotal Point (TITIK BALIK yang sangat penting dan utama) bagi seseorang untuk mengalami perubahan ektrim dari yang semula penuh dengan karakter FUJUR menjadi orang yang berkarakter TAQWA. Perubahan itu seperti diberikan, diturunkan untuknya. Dengan mengherankan, tiba-tiba saja Ia berubah menjadi orang yang lebih banyak diilhamkan tentang ketaqwaan (Faal hamaha taqwaha).

Misalnya, dalam hal hubungan dengan sesama makhluk, orang yang tadinya berperilaku penuh keangkaramurkaan, sumbu pendek, sering mencela, atau dalam istilah-istilah tasawuf yang sangat umum beredar ditengah masyarakat saat ini disebut sebagai nafsul ammarah, atau nafsul lawwah, atau nafsul mulhamah, berubah menjadi menjadi seseorang yang berkarakter dan berperilaku lembut, tenang, dan penuh dengan kasih sayang, yang disebut juga Nafsul Muthmainnah atau yang lebih lagi. Perubahan itu bukan saja yang berkenaan dengan hablum minan nas, hubungan dengan sesama manusia, tetapi juga hubungan dengan sesama ciptaan yang lainnya. Karena semua ternyata berasal dari sumber yang sama, yaitu Dzat-Nya, semua berasal dari sedikit Diri-Nya Yang Maha halus. Bahkan nanti kualitas hubungan dengan sesama makhluk akan bertambah hebat lagi setelah kita membahas tentang AF’AL Allah Swt.

Dan yang lebih penting lagi, gegaran (goncangan) makrifatullah ini pulalah yang akan menjadi Pivotal Point bagi seseorang dalam melakukan DZIKRULLAH dan BERIBADAH kepada Allah Swt, sebagai dua aktifitas utama bagi seorang Ahli Sufi setelah Ia bermakrifatullah. Artinya, semakin sedikit gegarannya, maka makin semakin lemah pula titik balik yang dicapainya dalam dzikrullah dan beribadah.

Sebaliknya, semakin kuat, semakin intens, semakin bergelora gegaran yang didapatkannya, maka kualitas Dzikrullahnya juga semakin tajam. Minda nya menjadi penuh hanya dengan ingatan kepada Allah. Inilah Dzikrullah yang sebenarnya. Ibadah-ibadah sunnahnya pun akan ia laksanakan seperti dulu sahabat-sahabat Rasulullah melakukannya. Malam hari ia bisa bersengkang mata untuk shalat malam, dzikrullah, membaca Al Quran. Siang hari ia bisa mengikat perut dengan berpuasa, menebar kasih sayang dengan sesama, dan lain sebagainya.

Ditempat kerja ia akan bekerja dengan semangat 45. Karena ia sudah tahu bahwa tatkala ia menemukan masalah yang berat, ya sudah punya alamat untuk meminta pertolongan dan bantuan. Begitu masalah berat datang menyambanginya, ia langsung Naik (mengingat Allah), Serahkan (segala masalah), dan Tunggu (jawaban-jawaban dan bantuan-bantuan dari Allah dengan cara-cara yang tak terduga). NST (Naik, Serah, Tunggu), inilah istilah lain untuk DOA bagi ahli sufi.

Dengan begitu, maka terjawablah dengan mudah pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh para sahabat sehabis mengikuti seminar. Misalnya: kenapa saya masih sulit untuk dzikrullah?, kenapa saya masih sulit untuk mendirikan ibadah-ibadah sunnah?, kenapa saya masih gelisah dan banyak bertanya tentang makrifatullah, dan sebagainya?. Ketiga pertanyaan itu sekarang bisa dijawab. Bahwa itu karena sahabat belum sampai mendapatkan gegaran (pukulan makrifatullah) yang mantap. Sahabat belum sampai melambaikan bendera putih tanda sudah menyerah total terhadap kehendak Allah (Islam).

Sahabat masih berada pada tahap yang baru menerima ilmu saja tentang makrifatullah menurut Tasawuf Jalan Nabi-Nabi ini. Sahabat belum sampai pada tahap Ilmul Yakin. Ilmu yang sudah merubah keyakinan. Kalau belum ilmul yakin, bagaimana akan bisa mencapai Ainul Yakin?. Apalagi untuk mencapai Haqqul Yakin. Karena pukulan Mahrifatullah itu adalah realitas dari keyakinan yang sudah tidak dapat berubah lagi (Haqqul Yaqin).

Belum sampainya sahabat kepada Ilmul yakin itu, masih sampai di taraf ilmu saja, biasanya disebabkan oleh karena sahabat masih kuat memegang ilmu lama yang sudah sahabat geluti dan amalkan selama ini. Ilmu lama yang sudah mendarah daging dan berkarat di dalam pikiran sahabat. Ia telah membuat memori yang sulit untuk ditundukkan atau diubah. Seakan-akan sahabat DITAHAN untuk tetap berada ditatanan ilmu lama tersebut. Itu artinya juga, ilmu baru ini tidak diperkenankan oleh Allah untuk berjodoh dengan sahabat.

Sahabat akan bertanya dan bertanya, sahabat akan membandingkan dan mencari titik persamaan antara ilmu yang baru ini dengan ilmu sahabat yang lama. Beberapa sahabat senior juga begitu dulu. Tetapi itulah uniknya ilmu ini. Ia tidak bisa ditambah-tambahi dengan paradigma berpikir ilmu lama yang sudah ada. Apalagi nanti kalau sudah masuk ke dalam pasal Dzikrullah, ia lebih tidak bisa digabungkan, disandingkan, dan dileburkan lagi dengan dzikir-dzikir seperti yang ada di tarekat dan jalan wali-wali sekarang ini.

Karena ilmu ini memang ilmu untuk zaman sekarang dan untuk zaman mendatang, dimana ilmu tasawuf lama (jalan Wali-wali dan Tarekat) sudah terseok-seok untuk melintasi zaman. Namun begitu, ilmu tawawuf jalan Nabi-Nabi ini bisa ditelusuri bahwa ia ternyata melanjutkan Ilmu yang dulu dibawa oleh Imam Al Gazali sekitar 1000 tahun yang lalu, ketahap ilmu yang berikutnya. Ilmu yang akan dipakai dizaman sekarang dan di zaman mendatang. Dimana umat manusia sudah berpendidikan dan berperadaban yang lebih tinggi dari zaman sebelumnya.

Insya Allah seribu tahun setelah ini, akan datang pula Arif Billah yang berikutnya yang akan membawa Ilmu ini ketingkat yang lebih tinggi lagi. Begitu seterusnya, dan seterusnya sampai nanti diturunkan Al Mahdi – Al Mahdi yang akan memimpin umat manusia membawa kembali syaitan dan teman-temannya yang tinggal di angkasa lepas untuk beriman kembali kepada Allah. Kisah ini akan kita bahas nanti pada bagian lain.

Ya…, pemikiran umat manusia saat ini sudah sangat berkembang. Tasawuf jalan wali-wali & tarekat, dan juga pengajaran Islam berdasarkan ilmu Syariat model lama sudah tidak memadai lagi bagi mereka, sehingga banyaklah mereka, yang notabene adalah kebanyakan umat islam pula, lari ke jalan agama baru yang diistilahkan sebagai New Age Movement. Sebuah gerakan yang sulit dibendung oleh ulama-ulama tasawuf jalan wali-wali / tarekat serta ulama-ulama syariah, kecuali dengan mengatakan mereka adalah SESAT dan akan MASUK NERAKA.

Tetapi ancaman-ancaman itu sudah tidak mempan lagi bagi mereka. Karena ternyata dengan memraktekkan berbagai meditasi ala NAM (dengan berbagai variannya) yang intinya adalah menemukan keheningan dalam keramaian ternyata lebih berkesan bagi mereka karena mudah untuk melakukannya, dan tidak membutuhkan ibadah-ibadah yang tadinya mereka rasakan berat tapi hambar nggak ada rasanya.

Paling-paling, bagi mereka yang tadinya berstatus ustad, atau paling tidak yang paham tentang agama Islam, tetapi mereka juga sudah merasakan sedikit manfaat dari meditasi ala NAM ini, maka merekapun mencoba mengadopsi cara-cara meditasi cara NAM ini dengan menambahkan istilah-istilah agama Islam. Maka jadilah mereka mendakwahkan Islam yang bernuansakan NAM.

Tetapi Insya Allah, melalui tasawuf jalan Nabi-nabi, semua permasalah yang berkenaan dengan NAM ini bisa dijawab dengan tuntas, begitu juga persoalan-persoalan yang diajukan oleh para atheis, free thinker, dan islamophobia lainnya bisa dijawab dengan sangat mencerahkan.

Sebagai tambahan yang membuat sahabat bisa bimbang adalah, nanti dipertengahan jalan, sahabat juga akan dilanda kekhawatiran (kalau tidak mau dikatakan ketakutan), terutama bagi sahabat yang sebelumnya sudah bertaraf guru (mursyid), yang punya banyak pengikut, yang dihormati dan dielu-elukan oleh murid-muridnya dan masyarakat banyak, bisa menjadi tidak terkenal lagi.

Ya…, para sahabat yang sudah populer sebelumnya, menjadi tidak populer lagi. Karena ternyata di dalam ilmu ini, yang POPULER adalah Allah. Bukan para sahabat semua. Sehingga yang menjadi pokok pembicaraan yang tadinya adalah tentang kemuliaan guru mursyid, wali-wali, karomah-karomah, kehebatan dzikir ini dan dzikir itu, heroiknya perjalan rohani para salik, seketika itu juga berubah menjadi pembahasan segala hal yang berkenaaan dan bertujuan untuk menjaga Kebesaran Allah, mempertahankan kehormatan Allah, mengabarkan Kemulyaan dan Keagungan Allah. Inilah Makrifatullah. Lalu ia tenggelam dalam ibadah-ibadah sunnah, terutama dzikrullah, yang seakan sudah menjadi wajib baginya, selain melakukan ibadah-ibadah wajib tentunya.

Bahkan Ustadz Hussien BA Latiff, yang memperkenalkan ilmu ini, suatu saat pernah mewanti-wanti kami: “saya mengajarkan ilmu ini kepada kalian adalah untuk mempopulerkan Allah, saya hanya sahabat kalian yang ditugaskan oleh Allah sebagai Arif Billah untuk mengantarkan ilmu ini kepada kalian, kepada dunia. Ilmu yang mempopulerkan Allah. Maka kalian juga jangan berharap untuk jadi populer dengan ilmu ini. Yang populer adalah Allah”. Sebuah peringatan yang sangat menyentuh sekali.

Makanya pada suatu saat nanti sahabat akan dengan mudah kehilangan segala kemegahan penghormatan yang sudah sahabat dapatkan sebelumnya itu. Tiba-tiba saja sahabat sudah berubah menjadi orang biasa. Teramat biasa. Jadi orang yang tidak dikenali, seperti tidak dikenalinya Uwais Al Qarni di zaman Rasulullah Saw dulu.

Akan tetapi tetap masih ada hal yang sungguh menggembirakan. Bahwa tatkala sahabat sudah kehilangan segala-galanya seperti diatas, namun ternyata diantara para sahabat yang ilmu ini sudah mendarah daging baginya, bisa terjalin persahabatan yang tulus, persahabatan yang diuntai karena saling mencintai karena Allah. Persahabatan yang memunculkan rasa rindu tatkala berjauhan, dan merekahkan keceriaan tatkala berdekatan. Aneh memang. Apakah sahabat yang lain juga merasakan seperti yang saya rasakan ini?.


BERSAMBUNG

Dan anehnya, seakan-akan ada hubungan yang erat antara rasa yang ada di dalam dada kita itu dengan mata kita, tiba-tiba saja mata kita meleleh. Cair. Entah dari mana datangnya air itu. Pelupuk mata kita mulai dibanjiri oleh air bening yang turun menetes deras tak bisa dihentikan. Bisikan-bisikan kita tadipun sudah berubah pula menjadi isak tangis keharuan. Seakan-akan ada sebuah kegembiraan yang amat sangat yang menjalari seluruh tubuh kita. Bahwa kita sudah bertemu Tuhan kita, yang selama ini kita cari-cari. Kita nikmati saja keadaan seperti itu untuk beberapa saat…

Setelah agak redha, mulailah kita berbisik kembali untuk mengembalikan segala rasa syukur kita kepada-Nya. “Terima kasih ya Allah, Engkau telah memberikan kesempatan kepada hamba untuk mengenal dan melihat wajah-Mu melalui ilmu makrifatullah ini”. Terima kasih ya Allah…, alhamdulillah…, alhamdulillah… cukup berbisik saja atau bahkan hanya di dalam hati kita saja. Sama saja.

Lalu kemudian, adukanlah, serahkanlah, lepaskanlah, segala permasalahan yang selama ini mengganggu kita, yang melekat di dalam pikiran kita dan membuat perasaan kita selalu galau dan kacau: “ Ya Allah tolong saya…, Ya Allah tunjuki saya…, Ya Allah ambillah beban saya…, dan berbagai penyerahan lainnya”. Serahkanlah segala permasalahan berat yang selama ini kita junjung dan pikul. Semua orang pasti punya.

Saat itulah rasa bahagia, lapang, plong yang turun akan diantarkan oleh Ruh kedalam dada kita. Saking bahagianya, air mata kitapun akan jatuh bercucuran. Sungguh bahagia. Air mata kita yang keluar itu seakan-akan bisa meluruhkan atau melarutkan segala macam permasalah kita itu. Seperti luruh atau larutnya karat-karat yang ada di sebatang besi di dalam cairan ASAM. Karat itu meleleh kedalam cairan asam itu. Lalu tinggal batang besi yang kembali bersih dan berkilau.

Begitulah yang terjadi di dalam Minda atau pikiran kita. Pikiran kita yang tadinya butek, runyam, rumit, kotor, banyak sampah, yang membuat kita sulit tidur, sedih, malu, kasar, pemarah, suka membenci, temperamental, tiba-tiba saja dengan sangat mengejutkan berubah menjadi bersih. Dan yang sangat mengejutkan lagi, perasan kitapun menjadi tenang dan penuh rasa kebahagiaan. Bahagia karena serasa beban-beban kita yang selama ini kita junjung dan pikul, menjadi hilang, lenyap tak berbekas. Sehingga perilaku dan karakter kitapun akan berubah dengan sendirinya. Hal ini, perubahan-perubahan ini, akan terasa pula bagi orang-orang dekat kita yang selama ini ada disekitar kita.

Mereka jadi terheran-heran dengan perubahan kita. Berubah drastis 180 derajat. Dari kasar menjadi lembut (bukan tangan patah); dari pemarah jadi sabar, dari merungut dan selalu bertanya mengapa, mengapa, menjadi ikhlas dan redha; dari yang suka mencela, bergunjing, dan berkata kasar menjadi banyak diam dan duduk berduaan dengan Allah seperti yang dilakukan oleh Uwais Al Qarni.

Dan manfaat yang terbesar dan sangat mengejutkan adalah, kita akan menjadi begitu bersemangat dalam beribadah, termasuk ibadah yang sunah-sunnah. Ini sangat mengherankan sekali. Nanti mengenai ibadah ini akan kita bahas dalam bagian tersendiri.

Pantaslah Uwais al Qarni ini pernah berkata: Saya kira tidak ada seseorangpun yang sudah mengenal Tuhannya akan merasa suka untuk bersenang-senang dengan yang lain selain Tuhannya. Hj Zainal Ariffin Abbas, Ilmu tasawuf, 276-277 (1991)

Inilah kualitas keimanan bagi orang-orang yang sudah mengetahui kebenaran. Al quran menyatakan:

Ketika DIPERLIHATKAN kepada mereka tanda-tanda dari Yang Maha Penyayang, mereka lalu TERSUNGKUR dan SUJUD SAMBIL MENANGIS. Maryam (Mary) 19:58

Engkau melihat mata mereka mencucurkan AIR MATA disebabkan KEBENARAN YANG MEREKA KETAHUI, sambil mereka berkata: Wahai Tuhan kami, kami beriman, oleh itu tetapkanlah kami bersama-sama orang-orang yang menjadi saksi. Al Maidah (5):83.


Bersambung