2/8 Shalat – Berdiri
Umumnya diri manusia berada pada posisi ini, yakni dirinya adalah jasmaninya (shadr – dada). Dirinya berada di alam yang bisa diindrai, yaitu alam al mulk wa asy syahadah. Jasmani terdiri atas tubuh yang dilengkapi dengan organ seperti otak, jantung, kulit, mata, kemaluan, telinga, lidah, hidung dan lain-lain. Anasir yang menyusun tubuh ini adalah sama dengan anasir alam semesta, yang menurut Qur’an diwakili oleh unsur tanah. Perwujudan di alam ini bisa dikenal dengan menggunakan panca indra. Ini adalah posisi diri yang sadar yang bersifat informatif, namun belum memiliki penilaian.
Bersinggasana di posisi ini kita memiliki dorongan (hawa) atau reflek yang senantiasa bersemangat karena didorong oleh naluri / perintah / amar untuk dipuaskan. Pada tahapan ini, aktifitas kita didorong oleh semangat untuk mendapatkan kepuasan jasmaniah, seperti makan, minum, syahwat dan lain-lain. Intinya adalah adanya dorongan untuk mempertahankan kenikmatan hidup, berkembang biak dan mencari keselamatan diri atau dengan kata lain adanya dorongan emosi (ghadhab) dan dorongan ambisi (syahwat). Karena dorongan jasmani dalam mencapai kepuasan tanpa mengenal aturan dan moralitas, maka disebut dengan diri yang memerintahkan kepada kejahatan (An nafs al amarrah bi al-suu’).
QS Yusuf 12: 53, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan (an nafs al amarah bi al suu’),kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kita secara fitrah atau secara reflek akan mencintai dunia dan berjuang mati-matian untuk mendapatkannya. Sehingga dikatakan bahwa kita seperti binatang ternak bahkan lebih rendah daripada itu, yakni seperti golongan reptilia yang tidak memiliki kecerdasan emosi dan intelektualitas, tidak peduli apakah telurnya menetas ataukah anak-anaknya selamat atau tidak? Kesadaran kepada Tuhan baru akan muncul ketika mereka ini diambil kesenangannya sehingga mengalami frustasi dan ingat kepada Tuhannya karena membutuhkan pertolongan-Nya.
Sang diri yang terikat pada jasmani (shadr), bilamana mendapatkan pencerahan (cahaya Ilahi), kemudian muncul kesediaan untuk menyembah kepada Allah, Tuhan semesta alam, akan melakukan penyerahan diri dengan cara berdiri, untuk melawan dorongan fitrah tanah yang selalu ke bawah.
QS Al An’aam 6: 79, “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama (sikap) yang benar dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Seringkali, kita ketakutan akan segala dosa dan kesalahan kita, sehingga timbul sangkaan bahwa Allah marah dan benci kepada kita. Ternyata sangkaan tersebut tidak benar berdasarkan hadits berikut:
Dari Anas Bin Malik ra, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, Allah berfirman:
“Wahai anak Adam, sesungguhnya selama kamu berdoa dan mengharap kepadaKu, Aku memberi ampunan (maghfirah) kepadamu terhadap apa yang ada padamu dan Aku tidak mempedulikannya.
Wahai anak Adam, seandainya dosamu sampai ke langit, kemudian kamu minta ampun kepadaKu, maka Aku memberi ampunan (maghfirah) kepadamu dan Aku tidak mempedulikannya.
Wahai anak Adam sesungguhnya apabila kamu datang kepadaKu dengan kesalahan sepenuh bumi, kemudian kamu menjumpai Aku dengan tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu, niscaya Aku datang kepadamu dengan ampunan (maghfirah) sepenuh bumi.”””
Dan juga hadits berikut:
Abu Hurairah ra berkata bahwa Nabi saw bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, “Aku menurut sangkaan [zhanniy] hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya apabila ia ingat kepada-Ku. Jika ia ingat kepada-Ku dalam dirinya [fi nafsihiy], maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku [fi nafsiy]. Jika ia ingat kepada-Ku dalam kelompok, maka Aku mengingatnya dalam kelompok orang-orang yang lebih baik dari kelompok mereka. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari-lari kecil.” [1]
Oleh karena itu, sambil berdiri, ingatlah kepada Tuhan dalam dirimu, sebagaimana disebutkan dalam QS Al A’raaf 7: 205, “dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
Marilah kita lakukan meski kita mulai dari sekedar sangkaan (zhan) sedang bertemu Allah atau dilihat Allah, sebagaimana disampaikan dalam QS Al Baqarah 2: 45-46, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang menyangka, bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
Bersikaplah berserah diri untuk hadir ke hadirat-Nya, tunduk kepada Yang Maha Besar (Allahu Akbar), sehingga seluruh tubuh kita menerima Allah sebagai Tuhan kita. Berserah dirilah kepada-Nya dengan menyebut nama-Nya (yaa Allah atau Yaa Rabb) dalam diri kita.
Lakukanlah dengan kesungguhan dan serahkan diri kita kembali kepada Allah, niscaya tubuh kita akan terangkat berdiri. Apa pun yang muncul, baik itu bosan, gatal, pikiran lari kesana kemari, serahkan kepada Allah dengan menyebut Allah … Allah … Allah. Insya Allah semuanya akan musnah dan yang ada hanyalah kesambungan dengan Allah. Bahkan dikisahkan dalam hadits, beberapa sahabat Nabi saw meminta dicabut panah yang menancap di tubuhnya ketika sedang shalat.
Untuk membuka kesambungan dengan Allah, kita perlu memutar kunci iftitah, agar pintu gapura Al Fatihah terbuka, hingga kita bisa melangkah menelusuri jalan lurus shiratal mustaqim. Telusurilah jalan lurus shiratal mustaqim menuju Allah dengan puja kita melalui bacaan Qur’an.
Teruslah mengembalikan diri, sampai muncul dorongan untuk merunduk, menghormat – ruku’.
Bersambung
Deka on Behalf of HCS
Read Full Post »